Chapter 2

2065 Words
    Seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu rumah seseorang. Sesekali kakinya melangkah ke sana kemari seolah menyimpan penuh kekhawatiran. Tangannya mengetuk-ngetuk pintu yang ada di depannya. Sudah beberapa menit berlalu, namun tak ada yang keluar membukakan pintu. Namun, di saat ia hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba ... ceklek ... ternyata pintu itu sama sekali tidak terkunci. Tanpa berpikir panjang, ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah itu.     "Bu! Kenapa Ibu kemari?" tanya seorang pria yang sedang menuruni tangga dengan wajah tak kalah tegang bersama degup jantung yang seketika merusuh. Ia juga merutuki dirinya sendiri, untung saja yang datang adalah ibunya, bukan maling. Bagaimana bisa ia lupa mengunci pintu? Ah, mungkin gara-gara bayi itu.     "Ke mana saja kau seharian ini? Mengapa kau tidak menemui Tuan Gilbert dan mengapa kau tidak mengangkat telepon Ibu?" Alih-alih menjawab, wanita paruh baya itu malah balik bertanya. Kekesalan tercetak jelas di raut wajahnya yang masih terlihat cantik di usianya yang tak muda lagi.     Aditya hanya bergeming mendengar pertanyaan sang ibu. Mungkin alunan musik yang begitu keras di mobil tadi membuatnya tidak menyadari bahwa ibunya meneleponnya.     "Ada apa, Bu? Mengapa wajah Ibu terlihat begitu khawatir?" tanya Aditya sambil mendekati ibunya dan mempersilakannya duduk.     "Lupakan masalah Tuan Gilbert sejenak. Besok kau harus menemuinya dan meminta maaf padanya. Tapi, sekarang kau harus temani Ibu. Ayahmu kolaps dan Ibu akan membawanya ke Singapura malam ini juga," jawab ibu Aditya.     Wajah Aditya memucat, raut kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya tatkala mendengar kondisi sang ayah yang memburuk. Seburuk apa pun sikapnya, ia tetap menyayangi kedua orangtuanya. Apalagi hanya dia anak satu-satunya yang menetap di Indonesia. Ketiga kakak laki-lakinya menetap di luar negeri untuk mengurus cabang condotel ayahnya. Wajar jika sekarang ibunya memintanya untuk ditemani ke Singapura.     Andai saja hal mengerikan beberapa tahun lalu tidak terjadi, mungkin Aditya takkan terjebak dalam castil yang dikelilingi benteng es yang dibangunnya. Entah kapan benteng itu mencair, pria itu sendiri tidak tahu, yang pasti jauh di dalam lubuk hatinya, pangeran es itu berharap suatu hari ada bintang yang dengan murah hatinya memberikan kehangatan yang bisa mencairkan bentengnya yang tak mampu dicairkan oleh matahari.     Aditya beranjak dari tempat duduknya. "Baiklah, aku akan siap-siap."     Jerit tangis bayi tiba-tiba menggema hingga menggemparkan seisi rumah. Siapa lagi kalau bukan ulah malaikat kecil yang sedang ada di kamarnya. Bayi itu seolah ingin memublikasikan kehadirannya di mata ibu Aditya. Padahal sejak tadi bayi itu sedang tidur terlelap dengan nyaman.     "Bayi siapa itu?" Sontak ibu Aditya tersentak tatkala mendengarnya.     Aditya diam membisu. Ia lupa kalau di rumahnya sedang ada bayi yang entah milik siapa.     Lagi, jeritan itu semakin keras, membuat ibu Aditya semakin bertanya-tanya, sedangkan Aditya hanya terdiam—mematung—tak tahu harus berbuat apa.     "Apa ini, Dit?" tanya ibu Aditya ketika pandangannya tidak sengaja melihat secarik kertas yang sudah diremas—yang  ditinggalkan ibu bayi itu—di atas meja tamu.     Aditya ingin mengelak. Awalnya ia ingin mengatakan kalau bayi itu adalah bayi temannya atau tetangga yang dititipkan, atau mungkin bayi yang dibuang di depan rumahnya. Ya, bayi itu memang dibuang di depan rumahnya. Tapi, Aditya tidak bisa mengelak lagi. Surat itu jelas-jelas mengatakan kalau bayi itu adalah anaknya.     Tanpa menghiraukan Aditya yang sedari tadi hanya diam membisu, ibu Aditya langsung pergi ke sumber suara yang tak lain adalah kamar putra bungsunya.     Sesampai di kamar Aditya, pandangan wanita paruh baya itu jatuh pada seorang bayi kecil yang sedang menangis di lantai. Tak jauh dari sana Aditya membelalakkan matanya, seingatnya bayi itu tadi ada di atas tempat tidur. Tapi, mengapa sekarang ada di lantai? Jadi, ini alasan mengapa bayi itu menjerit begitu keras. Bayi itu terjatuh dari tempat tidur, karena ia tidak memberi penghalang.     "Cup ... cup ... jangan menangis lagi, Sayang." Dengan lembut ibu Aditya menggendong sang bayi dan memeluknya di pangkuannya, menenangkan malaikat kecil itu sampai kembali terlelap.     Sementara ibunya menenangkan bayi itu, Aditya hanya diam di luar kamar. Pria itu menyandarkan tubuhnya ke tembok dengan napas gusar. Pikirannya melanglangbuana mencari-cari alasan apa agar ibunya tidak marah.     "Dia tertidur," ujar ibu Aditya keluar dari kamar. Sontak membuat Aditya tersentak dari lamunannya.     "Ibu, aku bisa jelaskan semua ini. Bayi itu ... aku tidak tahu bayi siapa. Aku menemukannya di depan pintu. Tapi, akan aku pastikan kalau dia bukan anakku. Jangan percaya dengan surat tadi. Orang itu hanya ingin mencoba untuk menjatuhkanku dan perusahaan kita." Aditya menerangkan tanpa jeda sambil memegang kedua tangan ibunya itu, mencoba menyalurkan isi hatinya agar memeroleh kepercayaan ibunya. Ia tahu, di luar sana ia adalah pria b******k, tapi tidak jika ketika berhadapan dengan kedua orangtuanya. Pria itu bisa memanipulasi orangtuanya dengan sikap lembut dan manisnya. Benar-benar penjilat. Tapi, itulah Aditya.     "Apa yang sudah Ibu lakukan sehingga kau menghukum Ibu dengan hal yang memalukan seperti ini?" tanya ibu Aditya. Kepala wanita paruh baya itu menunduk. Tanpa sadar kristal bening jatuh di pelupuk mata indahnya.     Aditya tidak tega melihat ibunya menangis, lalu diusapnya kristal bening itu dengan ibu jarinya. "Bayi itu bukan bayiku, Bu. Ibu harus percaya padaku. Aku bisa membuktikannya. Aku akan mengembalikan bayi itu ke asalnya," jawab Aditya dengan lirih. "Ayo, ikut aku. Kita lihat siapa yang menaruh bayi itu di rumahku," tambahnya sambil menggandeng tangan sang ibu masuk ke dalam kamarnya.     ***     Rekaman CCTV itu diputar kembali. Aditya benar-benar melihatnya dengan sangat teliti, berharap mengetahui siapa yang menaruh bayi itu. Kemungkinan adalah ibu sang bayi.     "Ibu lihat, bayi itu ditaruh begitu saja," ujar Aditya seraya menunjuk layar laptopnya. Ia kemudian memerhatikan wajah yang menaruh bayi itu.     Namun, bukan seorang wanita yang Aditya lihat, melainkan seorang pria dengan pakaian serba hitam, lengkap dengan masker dan kacamata hitam, serta topi yang melekat pada kepalanya.     Orang yang membuangnya sudah memperhitungkan dengan matang sebelumnya. Ibu dari bayi itu pasti benar-benar tidak mau diketahui identitasnya dengan menyuruh orang lain. Bahkan dengan sialnya ternyata bayi itu ditaruh sekitar lima menit sebelum Aditya sampai ke rumah. Orang yang menaruhnya pasti memerhatikan kondisi si bayi.     Jika bayi itu terlalu lama berada dalam keranjang, pasti bayi itu akan semakin kesulitan bernapas atau udara dingin pasti membuat sang bayi sakit. Kalau ibu Aditya tidak datang, pasti Aditya sudah berhasil mengejar pelakunya.     Otak Aditya terus berpikir, mengapa ibu dari sang bayi tidak ingin diketahui identitasnya. Aditya tahu betul kalau wanita-wanita yang ia tiduri kebanyakan anak-anak dari kalangan atas, pasti itu akan membuat malu diri si wanita itu sendiri, mungkin itu alasannya. Tapi, bagaimana jika dugaannya benar? Jika bayi itu hanya alasan dari seseorang yang hanya ingin menjatuhkan reputasi keluarganya. Arghh ... Pikiran Aditya benar-benar kacau.     "Kenapa diam saja? Kalau kau tidak percaya, lakukan saja tes DNA dengan bayi itu." Ibu Aditya menyarankan.     "Maksud Ibu?" tanya Aditya dengan dahi yang berkerut tak mengerti.     "Bayi itu akan ikut ke Singapura. Ayo, sudah tidak ada waktu lagi. Ayahmu pasti sudah menunggu. Hasil tes DNA itu akan membuktikan kalau bayi itu adalah anakmu atau bukan," jawab ibu Aditya. "Ayo cepat!"     ***     Tak lama kemudian mereka pergi dengan pesawat jet pribadi mereka. Di pesawat, ayah Aditya berada di suatu kamar ditemani seorang suster, sehingga ia tidak tahu kalau ada bayi yang ikut bersamanya. Ah, Aditya benar-benar pandai menyembunyikan, bahkan ia bisa memanipulasi keadaan agar tak ada yang tahu bayi itu diam-diam ikut ke rumah sakit.     Sesuai rencana, sesampainya mereka di rumah sakit Aditya langsung menjalani tes DNA dengan bayi itu, sementara ayahnya mendapatkan perawatan, karena penyakit jantungnya. Ayah Aditya membutuhkan sebuah ring (stent) jantung.     Setelah menunggu lebih dari 24 jam, hasil tes DNA itu pun akhirnya keluar. Ya, tes DNA dengan menggunakan sampel darah memang menghasilkan data yang lebih cepat. Lagi pula tes ini ini hanya sekadar mengetahui kecocokan, bukan untuk beberapankasus, seperti kasus korban mati, pemerkosaan, atau kejahatan lainnya yang menyangkut urusan kepolisian yang membutuhkan waktu mencapai dua minggu, bahkan berbulan-bulan. Aditya tidak perlu prosedur lainnya, apalagi dengan uang yang mereka punya, sehingga mereka tidak usah mengantri.     Tangan Aditya bergetar hebat, tulang-tulang di tubuhnya terasa copot hingga tak mampu menopang tubuhnya. Ia butuh sandaran saat itu juga agar tidak limbung setelah membaca hasil tes DNA itu. Namun, belum juga ia mengatur deru napasnya yang masih terasa tercekik, pipi putihnya menjadi merah—benar-benar merah. Bukan akibat ia merona atau kepanasan, melainkan tamparan yang begitu keras melayang di pipinya akibat tangan halus sang ibu.     "Kau sudah tidak bisa mengelak lagi. Bayi itu memang bayimu. Bagaimana bisa kau bisa berbuat hal yang memalukan seperti ini? Perasaan, ibu dan ayahmu telah membanjirimu dengan didikan yang baik dan penuh kasih sayang." Deru napas ibu Aditya terlihat terengah-engah setelah meluapkan emosi yang meletup-letup. Malu—harga dirinya seolah sirna—karena ia tidak bisa menjaga anak bungsunya itu.     Ibu Aditya sadar betul, kalau anak bungsunya memang tidak sepenurut kakak-kakaknya. Aditya suka hura-hura, pulang malam, dan sedikit pembangkang. Tapi, ia tidak bisa habis pikir kepercayaan yang ia berikan kepada putra bungsunya itu ternyata sudah salah dipergunakan.     "Aku minta maaf, Bu!" ujar Aditya seraya bersimpuh di bawah kaki sang ibu.     "Bangun kau! Ibu muak dengan kelakuanmu," bentak ibu Aditya. Kaki tuanya menendang putranya hingga tersungkur.     "Aku mohon, aku minta maaf," lirih Aditya.     "Bangun! Sekarang, katakan pada Ibu. Siapa wanita malang itu?" tanya ibu Aditya sambil mencengkram bahu Aditya. "Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!" Suaranya seketika melirik dengan butiran bening yang terus berlinang.     Aditya menggeleng. Ia benar-benar tidak tahu siapa ibu dari anaknya. Ia tidak pernah melakukan hubungan itu tanpa pengaman. Seingatnya, ia tidak pernah menebar s****a dalam rahim wanita satu pun. Jadi, bagaimana mungkin bayi itu bisa hadir di dunia ini? Ah, ia jadi teringat akan ucapan James kalau pengaman itu tidak seratus persen berhasil.     Aditya memukul-mukul kepalanya, memikirkan bagaimana jika orang-orang tahu ia memiliki seorang anak yang lahir dari hubungan tidak jelas. Terlebih lagi kepada teman-temannya. Teman-temannya pasti akan tertawa puas mengejeknya.     "Mengapa kau menggeleng? Kau pasti ingat betul siapa wanita yang kau tiduri, ‘kan?" tanya ibu Aditya retoris dengan penuh emosi. Namun, Aditya lagi-lagi menggeleng. Pria itu benar-benar tidak tahu siapa wanita malang yang sudah ia hamili. "Jangan katakan kau melakukannya dengan lebih dari satu wanita."     Bunyi nyaring dari telapak tangan yang dilayangkan kini mendarat lagi di pipi mulus Aditya, membuatnya diam sambil menundukkan kepalanya. Ia memang sudah tidur dengan banyak wanita. Entah berapa, ia tidak pernah menghitungnya yang jelas lebih dari satu.     "Kau b******k, Adit! Sekarang pulang dan cari wanita itu sampai dapat!" teriak ibu Aditya sudah tidak bisa menahan emosi.     "Tapi, Bu," sanggah Aditya tak mau menuruti permintaan ibunya untuk bertanggung jawab.     Di saat yang seperti ini Aditya masih berpikir bagaimana jika ibu dari bayinya ternyata tidak pantas untuknya. Aditya tidak mau menikah hanya untuk bertanggung jawab atas kesalahannya. Bahkan jika bayi itu tidak hadir, ia masih belum ingin menikah. Ia masih ingin bisa bebas melakukan hal ia inginkan dan ia akan capai.     Bunyi nyaring itu terdengar kembali. Tamparan ketiga kembali mendarat di pipi Aditya. Kalau bukan malaikat tak bersayap dalam hidupnya yang melakukannya, Aditya mungkin sudah membalas tamparan itu.     "Ibu tidak mau tahu! Pokoknya kau harus menikahi wanita itu. Kalau tidak, kau akan dicoret dari keluarga Akyas ini," ancam ibu Aditya.     "Tapi, bagaimana jika wanita itu tidak mau?" tanya Aditya yang kini sudah mulai pasrah.     "Itu urusanmu. Terserah bagaimana caranya agar wanita itu mau memaafkan dan menikah denganmu," jawab ibu Aditya terdengar frustasi.     Aditya berdecih. "Memaafkan? Lucu sekali. Wanita itu pasti bukan wanita baik-baik hingga ia mau bermain denganku, Bu," ujarnya sambil tersenyum sinis.     Kini tamparan keempat sudah mendarat lagi di pipinya. Aditya sakit, bukan karena tamparan itu, tapi lebih tepatnya karena sang ibu yang melakukannya. Ibu yang selama ini menyayanginya dengan hati seputih salju, selembut kapas dan sehangat matahari. Ibu yang tidak pernah menyakitinya, bahkan ketika Aditya kecil berbuat salah. Ibunya itu pasti akan memperingatkannya dengan kata-kata lembut yang menyadarkannya. Tidak ada cubitan, pukulan atau tamparan seperti tadi. Hati pria itu benar-benar teriris, bagaikan sebilah pedang yang menyayat-nyayat hatinya.     Dengan langkah gontai Aditya kemudian melangkah pergi sesuai dengan perintah sang ibu. Ia tidak ingin berlama-lama beradu mulut dengan malaikatnya itu. Malaikat pelindungnya kini terasa malaikat penjabut nyawa baginya.     Sebelum Aditya kembali ke Indonesia, ia pergi ke suatu tempat terlebih dahulu. Bukan ke kamar di mana ayahnya dirawat, melainkan ke kamar bayi itu. Ya, bayi itu mengalami demam yang cukup tinggi. Mungkin akibat ia terjatuh cukup keras dari tempat tidur.     "Sialan kau, setan kecil. Ibumu salah jika memberikanmu padaku. Aku tidak akan menerimamu. Kau telah merusak ketenanganku," ujar Aditya mengahampiri box bayi tempat bayi itu berbaring. "Oh, tunggu dulu ... walau kau telah merusak ketenanganku, tapi aku akan memberikan ketenangan padamu." Aditya mendekati bayi yang sedang terlelap itu sambil menyodorkan kedua tangannya ke arah leher sang bayi dengan seringai iblisnya. "Tenanglah, baby!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD