Menjadi Pusat Perhatian

1101 Words
Membantunya? Sudut bibir Irisa terangkat, lalu berjalan mendekati gaun yang tergeletak di atas ranjang. Gaun berlengan panjang, namun bagian belakangnya terbuka sehingga mampu memperlihatkan punggung mulus pemakainya. Seketika wanita itu mendengus. Tanpa bertanya pun dia sudah tahu bahwa gaun tersebut pasti Allen yang memilihnya. Sudah banyak sekali gaun yang mirip seperti ini di almari, namun tidak pernah dia pakai sama sekali. “Kau bisa pergi dari kamarku. Lagi pula, aku sudah terbiasa tidak dilayani oleh pelayan.” Cukup aneh baginya karena tiba-tiba ada pelayan yang ingin membantu, padahal biasanya dia selalu diabaikan dan tidak dihormati oleh mereka. Meski Irisa sendiri tidak berharap mendapat pelayanan yang baik, namun dia tidak menyangka jika sosoknya yang sudah menjadi istri dari pria paling berpengaruh tersebut akan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Mungkin, mereka menganggap Irisa sebagai orang asing yang hanya menumpang hidup di sana dengan status ‘istri’. Orang yang bisa dengan mudahnya dibuang dan dilupakan, membuat mereka tak perlu menundukkan kepala atau bersikap sopan padanya. “Maaf, Nyonya, tapi saya akan tetap melaksanakan tugas saya. Jika tidak, Tuan Allen mungkin akan memecat saya.” Irisa menghela napas dan membiarkan pelayan tersebut memakaikan gaun. Wajahnya dirias dengan sedemikian rupa dan rambutnya disanggul, memperlihatkan leher jenjangnya yang indah. Alasan pria itu tidak menjamah lehernya adalah karena malam ini ada acara pertunangan sepupunya. Jika tidak, leher Irisa mungkin sudah penuh dengan tanda merah menjijikkan yang membuatnya ingin menguliti tubuhnya sendiri; saking jijiknya. “Apa kau pelayan baru di rumah ini? Bagaimana dengan pelayan yang biasanya menyiapkan gaunku?” Tubuh pelayan tersebut terlihat menegang, menundukkan kepala dan membisu. Padahal pertanyaan Irisa tidak begitu sulit untuk dijawab, namun tampaknya pelayan itu berpikir sebaliknya. “Tidak apa-apa, hanya ada kita berdua di sini. Kau bisa memberitahuku semuanya.” Setelah terdiam cukup lama, pelayan itu kemudian memutar kepala ke segala arah untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mungkin mendengar perkataannya. Sebab, dia dan pelayan lain dilarang untuk mengatakan apa pun yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. “Saya dengar, Tuan Allen memecat semua pelayan dan menggantinya dengan yang baru.” Sebelah alisnya terangkat ke dahi. Irisa tidak mengerti dengan sikap Allen yang tiba-tiba mengganti semua pelayan, padahal mereka sudah bekerja cukup lama untuk pria itu. “Apa mereka melakukan kesalahan?” “M-mereka dipecat karena mengabaikan Nyonya Irisa di rumah ini.” Seketika Irisa bergeming. Sejak kapan Allen peduli dengan hal-hal yang berhubungan dengannya? Bahkan, pria itu memecat semua pelayan yang sudah bekerja lama untuknya hanya karena mengabaikan Irisa. Wanita lain mungkin akan tersanjung dengan sikap Allen yang seperti itu, peduli terhadap istrinya. Namun, sayangnya, Irisa bukan orang yang akan dengan mudahnya tertipu atau luluh hanya karena hal sepele. Memecat semua pelayan yang mengabaikan Irisa? Bisa jadi, pria itu sudah bosan dengan para pelayannya dan memang ingin memecatnya. Namun, pria itu menggunakan nama Irisa sebagai alasan. Masuk akal! Menepis pikirannya, Irisa berjalan meninggalkan kamar dengan penampilan yang anggun. Para pelayan yang berpapasan dengannya sontak berhenti dan membungkuk hormat, membuat wanita itu mendengus karena menerima perubahan yang mendadak. “Tuan Allen sudah menunggu Nyonya di dalam mobil.” Sebelum melangkah lebih jauh, Irisa berbalik kepada pelayan yang membantunya berpakaian dan merias wajah. Pelayan tersebut terlihat sangat muda dan mungkin bisa dipercaya. Setidaknya dia harus mengetahui namanya. “Siapa namamu?” “Anne, Nyonya.” Seulas senyum terukir di wajah Irisa. Matanya mengobservasi wajah Anne dan menyimpannya di memori otak. Sejurus kemudian, wanita itu melanjutkan langkahnya menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Tampak Allen dengan setelan jas sudah menunggu di kursi belakang mobil. Irisa duduk di samping Allen, membuang wajah ke arah jendela. Untuk sesaat, dia nyaris terjerat pesona pria itu, namun segera ditepisnya jauh-jauh. “Jalan!” perintah Allen dengan suara baritonnya dan langsung dilaksanakan seketika. Selama perjalanan berlangsung, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Keduanya tampak membuang wajah masing-masing, membuat suasana di dalam mobil menjadi mencekam. Irisa bergerak tidak nyaman. Kulit punggung yang bersentuhan langsung dengan kursi penumpang membuatnya sedikit kedinginan, apalagi dengan AC mobil yang menyala. Berkali-kali dia mencoba untuk duduk tegak tanpa menyandar ke belakang, tetapi guncangan mobil membuatnya terdorong kembali. Menyadari hal itu, Allen mengangkat satu alisnya dan menatap wanita di sampingnya dengan bingung. Tampak tubuh Irisa yang sedikit gemetar, membuatnya mematikan AC dan menghidupkan pemanas mobil di saat yang bersamaan. “Apa kau patung? Setidaknya berbicaralah jika tubuhmu kedinginan.” Perkataan sarkasme itu tak membuat Irisa menoleh, pandangannya tetap fokus melihat ke luar jendela. Mengabaikan Allen dan berpura-pura tuli adalah hal terbaik untuknya. Lagi pula, mengapa pria itu peduli jika dia kedinginan atau tidak? Mengingat hubungan mereka bukan untuk saling memedulikan satu sama lain. Diamnya wanita itu membuat Allen semakin mengeraskan rahang. Jika wanita lain saling berlomba-lomba mencari perhatiannya, Irisa justru melakukan kebalikannya. Namun, itulah yang membuat Allen tertarik dan tidak menyerah untuk menaklukan Irisa. “Jalankan mobilnya lebih cepat. Rasanya aku akan membeku meski sudah menyalakan pemanas.” Seketika Irisa menoleh untuk sekadar melemparkan tatapan tajam, lalu memutar kepalanya kembali ke arah yang berlawanan. Dadanya sangat sesak karena harus berbagi udara yang sama dengan pria kejam di sampingnya, terlebih di dalam mobil yang memiliki sedikit ruang untuk bergerak bebas. Kelopak matanya turun, memblokir manik hijaunya dari segala pemandangan yang terlihat. Meski suhu di dalam mobil sudah tidak dingin, namun wanita itu tetap menyimpan kedua tangannya di depan d**a. Mendekap tubuhnya sendiri, menghindari sesuatu yang mungkin terjadi karena pria di sampingnya. Cukup lama terpejam, Irisa sontak membuka kelopak matanya begitu merasakan mobil yang ditumpanginya berhenti seketika. Tampak sebuah rumah bergaya Eropa dengan air mancur dan patung Dewa Yunani di halaman depan, membuatnya takjub dalam beberapa saat sebelum akhirnya pria di sampingnya berbicara. “Akan ada banyak orang di dalam sana. Meski enggan, kau harus tetap berada di sampingku.” Bukan hanya anggota keluarga, namun acara pertunangan ini mengundang sejumlah tamu penting seperti dewan direksi dari berbagai perusahaan dan mereka bahkan memperkerjakan wartawan untuk meliput acaranya hingga selesai. Entah seberapa banyak atau seberapa penting tamu yang hadir, Irisa berniat untuk tidak peduli. Kedatangannya di acara tersebut semata-mata karena keterpaksaan. Mengingat Irisa sudah menjadi bagian dari keluarga Castellar, dia diharuskan datang dan mendampingi Allen di acara pertunangan sepupunya. Setelah pernikahan, ini adalah kali kedua untuk Irisa berjalan di samping Allen sembari menautkan lengannya pada lengan besar yang diposisikan di sisi tubuh. Bak pemeran utama, kedatangan Irisa dan Allen menjadi pusat perhatian semua orang. Berbagai tatapan dan bisikan tertuju pada mereka. Tak jarang pula ada seseorang yang mengambil potret mereka secara diam-diam. Vega—sepupu Allen—berjalan mendekat sembari menarik sudut bibirnya. Di atas kepalanya terdapat sebuah diadem berwarna perak dengan batu ruby di tengahnya. “Ah, sepertinya kalian merebut semua perhatian yang seharusnya menjadi milikku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD