Benci dan Takut

1144 Words
Allen melirik gaya berpakaian Vega dari atas hingga bawah. Tanpa sadar membuatnya mengerlingkan mata disertai sudut bibirnya yang terangkat. “Apa aku tidak salah masuk ke pesta ulang tahun remaja?” Sindiran itu sukses membuat Vega melemparkan tatapan tajam dan membuat wanita itu mengepalkan tangannya selama beberapa saat. Irisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tawa yang hampir saja lepas karena perkataan Allen. Pikirnya, Allen terlalu berterus terang hingga mampu membuat sepupunya sendiri tersinggung. Diadem yang terpasang di atas kepala Vega memang terlalu mencolok dan tidak cocok untuk acara pertunangan mewah seperti ini. Meski wanita itu ingin terlihat berbeda dengan yang lain, namun penampilannya justru terbilang sangat berlebihan; norak. Seperti perkataan Allen, Vega bak seorang remaja yang tengah mengadakan pesta ulang tahun. Vega menghembuskan napas kasar. Sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak terbawa emosi. “Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu.” Sontak jawaban itu membuat Allen mendengus hingga akhirnya kembali membuka suara. “Di mana tunanganmu? Aku penasaran, seperti apa sosok pria yang mau menjalin hubungan dengan wanita seperti dirimu?” Allen memang sengaja mengejek. Melihat seseorang yang tersulut emosi adalah hobi yang menyenangkan baginya. Namun, tampaknya Vega berhasil menahan diri untuk tidak menarik kerah Allen. Karena biasanya, wanita itu sangat mudah bermain fisik kepada siapa pun yang membuatnya kesal. “Aku justru lebih penasaran, mengapa Irisa mau menikah denganmu?” Sembari menyunggingkan bibir, Vega memutarbalikkan pertanyaan Allen yang kemudian membuat pria itu bergeming dan menatapnya datar. Tadinya Vega berpikir untuk merobek mulut Allen dan menghajarnya, namun tampaknya sudah tidak perlu. Vega lantas memutar kepalanya ke samping, mencari keberadaan tunangannya yang sempat dia tinggal untuk menyapa. Senyumnya merekah seketika, dia lantas melambaikan tangannya kepada seseorang di antara banyaknya kerumunan. Seorang pria bersetelan jas putih berjalan gontai menghampiri mereka. Untuk sesaat, Irisa tertegun dengan mata yang sedikit membulat. Pria yang menjadi tunangan Vega ternyata adalah dokter di rumah sakit tempatnya bekerja—Loudy. Vega memeluk lengan Loudy dan bergelayut manja padanya. Loudy terlihat tidak nyaman, namun pria itu tidak mengatakan apa pun atau menjauh dari Vega. “Ini tunanganku, Loudy Ragraph. Dia adalah seorang dokter torakoplastik di Rumah Sakit Victoria.” Loudy mengulurkan tangannya ke hadapan Allen, mengajaknya untuk berjabat tangan. Namun, yang dia dapat hanya sebuah tatapan dingin. Sontak Loudy menarik tangannya kembali dengan senyuman tipis. Sebelumnya, Loudy dan Allen sudah pernah bertemu di rumah sakit. Hanya bertatap muka sebentar, tanpa ada pembicaraan. Di kala itu pun, Allen terlihat tidak menyukainya dan selalu menatapnya tajam. Loudy tak pernah berpikir bahwa dia memiliki kesalahan terhadap Allen. Cukup aneh baginya karena dia dimusuhi secara tiba-tiba oleh orang yang bahkan tidak dikenalnya. “Irisa, kau ada di sini?” Irisa mengukir senyum ketika Loudy mengajaknya berbicara. Sejujurnya dia masih tidak menyangka dengan pria di hadapannya ini. Pasalnya, tidak ada satu pun rumor kencan atau bahkan gosip mengenai acara pertunangan Loudy. Yang diketahui semua orang adalah ... bahwa Loudy tidak tertarik dengan wanita. Di Rumah Sakit Victoria, Loudy memiliki julukan malaikat. Seorang dokter yang ramah dan selalu tersenyum kepada semua orang. Irisa pun diam-diam mengagumi pria itu, meski pada akhirnya menyerah karena rumor tentang Loudy yang seorang gay. “Aku terkejut karena Dokter bertunangan tanpa memberitahuku dan perawat lain. Apa ini semacam rahasia?” “Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku pun terkejut karena melihatmu datang ke acara pertunanganku dan Vega.” Pasalnya, Loudy sama sekali tidak memberitahukan acara pertunangannya kepada pihak luar dan tentu saja karena pertunangan ini sangat mendadak. Namun, mengingat Vega mengundang beberapa wartawan, tampaknya acara pertunangan yang sebenarnya ingin dia sembunyikan justru harus terekspos ke publik. Allen yang sejak tadi diam mulai mengeraskan rahang. Dia marah karena melihat pria lain bersikap akrab terhadap Irisa, apalagi pria itu bisa membuat Irisa tersenyum. Ini kedua kalinya dia melihat keakraban mereka yang begitu memuakkan. Dengan gerakan kasar, pria itu menarik bahu Irisa dan mencengkeramnya erat. Terdengar rintihan kecil dari wanita itu, namun dia tak mengindahkannya. “Sayang, bukankah kau lelah karena permainan kita tadi? Akan lebih baik jika kau beristirahat di ruangan yang jauh dari kebisingan.” Irisa membelalakkan matanya terkejut dengan mulut yang sedikit terbuka. Rona merah menjalar di sekitar wajah dan telinganya. Sontak membuatnya memalingkan wajah ke arah lain sembari mengutuk dalam hati. “Vega, kau sudah menyiapkan kamar yang kuminta, bukan?” “A-ah, itu ... ya! Aku sudah menyuruh pelayan untuk menyiapkannya sesuai permintaanmu.” Vega mencoba untuk tidak gugup atau salah tingkah, namun kenyataannya lebih sulit untuk dilakukan dan malah membuatnya tergagap. Perkataan Allen memang tidak pernah disaring terlebih dahulu, selalu membuat orang lain sakit hati dan merasa dipermalukan. Meski begitu, tak terpikirkan olehnya jika Allen bahkan berani mengumbar privasinya sendiri. Pria itu mungkin tidak malu, namun wanita di sampingnya merasakan hal yang berbeda. Allen melirik Loudy sekilas melalui ekor matanya, sebelum akhirnya melenggang pergi dengan sudut bibirnya yang terangkat. Irisa adalah miliknya dan dia harus melindungi Irisa sebelum terkontaminasi oleh pria lain. *** Allen menghempaskan tubuh Irisa di atas sofa, membuat Irisa mengernyitkan dahi ketika dirasa punggungnya menabrak sandaran sofa dengan cukup keras. Sanggul rambutnya terlepas, terurai sepanjang d**a dan terlihat berantakan. Tanpa diduga, jari-jari Allen menyingkirkan helaian rambut yang menutupi setengah wajah cantik Irisa, menyelipkannya ke belakang telinga. Perlahan, jari-jarinya turun ke bawah hingga mencapai bibir wanita itu dan mengusapnya lembut. “Aku tidak suka melihatmu tersenyum kepada pria lain, sementara kau tidak pernah tersenyum padaku.” Allen mendekatkan wajahnya, mencoba untuk mencicipi bibir ranum yang terlihat begitu menggoda. Namun, dengan cepat Irisa segera memalingkan wajah sehingga dia hanya bisa mengecup pipi gembulnya. “Aku bukan budakmu, jadi aku bebas berbicara atau tersenyum kepada siapa pun.” Sebelah alisnya kemudian terangkat, begitu dia mendapat penolakan dan perlawanan yang berasal dari Irisa. Sebelumnya, wanita itu tidak pernah membalas perkataannya atau bahkan menolak sentuhannya. Melihatnya yang seperti ini justru membuat Allen lebih menyukainya dan tanpa sadar membuatnya terkekeh. “Kau memang bukan seorang b***k, tetapi kau adalah istriku. Kau tidak diperbolehkan menatap, tersenyum, atau berbicara dengan pria lain, selain diriku.” “Itu belenggu!” Irisa menjawabnya dengan sedikit berteriak, meluapkan emosi yang selama ini terpendam di dalam hati. Dia mungkin akan menerima konsekuensi akibat melawan perkataan Allen, namun dia tak peduli. Matanya bertatapan dengan mata Allen, membuat Irisa menahan napasnya sejenak dan berakhir menggigit bibir bawahnya yang sedikit bergetar. Menyadari mata Allen yang menatap bibir ranumnya secara terang-terangan, sontak Irisa pun segera melepaskan gigitan tersebut. “Apa kau membenciku?” Allen menggunakan kedua tangannya untuk mengurung Irisa di antara sofa dan dirinya, menjadikan wanita itu terpojok karena jarak mereka yang sangat dekat. “Atau ... kau takut padaku?” Tubuh Irisa menegang ketika Allen mulai berbisik di telinganya, yang tentu saja membuat dirinya pun harus menelan saliva-nya dengan susah payah. Pertanyaannya sangat mudah, namun sulit untuk dijawab dengan bibirnya yang terasa kelu. Jika menjawab dua pertanyaan mudah saja sudah membuat Irisa tidak berkutik, bagaimana dengan kutukan dan kata-kata kasar yang selama ini ingin dia teriakkan di depan wajah Allen?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD