Chapter 10

1053 Words
Pukul 3 pagi saat matahari entah berada di bagian dunia yang mana, pintu kamar asrama tempat Andini tidur diketok seseorang dari luar. Andini menggelayat sejenak, menyambung mimpinya kembali. Pintu diketok semakin kencang, semakin keras. Andini langsung bangkit dari tidurnya, melotot sebal ke arah pintu. "Aduh, siapa sih yang ga punya sopan santun ngetuk pintu kamar orang malam-malam, ibu ya?!" gumam Andini menduga-duga, nampaknya Andini lupa jika sekarang ia sudah tidak tinggal di rumah orangtuanya lagi. "Sebentar! Sebentar!" seru Andini yang masih setengah sadar, menggaruk-garuk kepalanya. Andini memutar kunci pintu, membuka pintu. Mengucek matanya. Menatap heran senior Nur yang berdiri di hadapannya saat ini. Andini langsung tersentak, baru ingat bahwa dia sudah tinggal di asrama sejak siang kemarin. "Ada apa, Kak Nur?" tanya Andini dengan suara yang kecil, sedikit serak. "Ayo tahajud!" ajak senior Nur dengan senyum tipisnya. Andini menatap heran senior Nur, seumur-umur, Andini tak pernah mengerjakan shalat sunah, jangankan ibadah sunah, ibadah wajib saja dilakukannya seperti ayam betina yang bertelur, kadang dilakukan, kadang tidak. Tunggu ibunya jadi raja hutan dulu, garang dan kuasanya yang membuat takut sekitarnya, baru Andini bergerak untuk salat. "Apa Kak?" tanya Andini, memastikan pendengarannya sedang bermasalah atau tidak. "Salat tajahud," jawab senior Nur, mengulangi, tak keberatan. "Eh?" Andini masih bingung, kenapa senior Nur mengajaknya salat tahajud? Bukankah salat sunah itu dikerjakan sendiri-sendiri. "Kenapa, Dek?" tanya senior Nur yang bingung melihat Andini bengong. "Harus, Kak?" Senior Nur tersenyum tipis. "Adek sudah bangun kan? Baiknya daripada tidur lagi, salat tahajud, setelah itu melakukan amalan lainnya, misal membaca ayat suci, dzikir, muhasabah diri sampai waktu subuh masuk," jelas senior Nur memberi anjuran dan nasehat yang baik. Kan Kakak yang membangunkan paksa aku, bathin Andini saat ini, tapi tak mungkin dia menyampaikan isi hatinya sekarang pada senior Nur, senior Nur sudah baik padanya. Tak tau diri namanya jika Andini membuat senior Nur tersinggung, apalagi maksud senior Nur itu baik. Andini memaksakan senyum. "Di mana, Kak?" "Di mushala asrama boleh, di kamar Adek sendiri juga tidak apa-apa. Kalau Adek mau ke mushala, ayo ikut sama Kakak! Tapi jika mau di kamar, juga tidak masalah, mumpung kamar Adek belum penuh sama barang penghuni lain yang kemungkinan datang hari ini," jelas senior Nur. "A... aku di kamar aja, Kak," jawab Andini menyeringai kecil. Berniat untuk melanjutkan kembali tidurnya. "Oh ya udah, ayo!" ajak senior Nur tiba-tiba. "Eh?" heran Andini, padahal dia jelas-jelas sudah menjawab akan salat di kamar, kenapa senior Nur yang ingin ke mushala asrama mengajaknya lagi? "Kamu perlu cuci muka dan wudu' dulu kan? Mushala dekat toilet kok, ayo barengan!" ajak senior Nur bersemangat, menjawab keheranan Andini. Andini menghela nafas diam-diam, memaksakan tawa kecil. "Hehe. Oh iya ya Kak, aku lupa." Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu. Andini mau tak mau keluar dari kamarnya sambil membawa sabun cuci muka, melangkah bersisian dengan senior Nur sambil sesekali menguap. Senior Nur hanya tersenyum tipis melihat Andini yang masih merasakan kantuk. Akhirnya, rencana Andini untuk kembali melanjutkan tidurnya, gagal. Andini dan senior Nur berpisah jalan setelah selesai mengambil wudu', Andini kembali ke kamarnya, sedangkan senior Nur langsung melangkah masuk ke mushala asrama. "Jangan tidur lagi ya, Dek," ingat senior Nur sambil melambaikan tangannya di bawah bingkai pintu mushala. Andini mengangguk pelan. "Inshaa Allah, Kak." Senior Nur tersenyum tipis mendengar jawaban Andini. Andini langsung berbalik, melangkah ke kamarnya, gara-gara mencuci muka dengan air kran dingin, kantuk Andini langsung hilang, Andini menghela nafas, dia tidak bisa melanjutkan mimpi indahnya tadi yang masih di dalam bayang-bayang saat bangun, kini mimpi itu sudah lenyap tanpa pamit. Sebagai seorang gadis yang terkenal dengan kebandelannya di SMP, kini Andini malah jadi gadis yang penurut, dia benar-benar melakukan salat tahajud. Selesai mengerjakan salat tak lupa berdzikir dan berdoa. Andini beranjak meninggalkan sajadah yang masih terbentang ke meja tempat kedua tas besar Andini berada, Andini hanya membuka satu tas berisi pakaian, sudah ia susun ke dalam lemari bersama setelah makan siang tadi. Sedangkan tas satunya yang berisi setengah pakaian dan setengah barang yang disuruh ibu Andini bawa, masih belum dibuka. Andini baru mulai membuka tas itu, mencari Al-Qur'an, entah kenapa Andini merasa hidayah datang padanya setelah melihat wajah bidadari senior Nur pagi-pagi buta. Andini mematung, beberapa saat kemudian mengacak-acak kembali isi tasnya. Seperti orang depresi kebanyakan, Andini memegangi kepalanya dengan kedua tangan, macam orang lupa ingatan juga. "Gawat, Al-Qur'an nya ketinggalan!" gumam Andini, melirik ke arah sajadahnya yang masih terbentang di antara dua tempat tidur tingkat 2. Andini menghela nafas, melepas mukenahnya, menggantung mukenah itu di gantungan balik pintu, mengambil sajadahnya, meletakkan lipatan sajadah di bingkai tempat tidur. Andini duduk diam di kasurnya sejenak, menghela nafas lagi. Andini bisa membayangkan ibunya yang berada di rumah saat ini sedang marah-marah, menyumpahi Andini di sana karena lupa membawa barang yang paling penting ke madrasah, yaitu kitab suci agamanya, Al-Qur'an. Tak mungkin pula Andini menghubungi ibu atau ayah atau pamannya untuk membawakan Al-Qur'an ke madrasah ini, dan mustahil ibu Andini bersedia membawakan Al-Qur'an Andini yang ketinggalan di meja belajarnya. Tak ada sejarahnya ibu Andini membawa barang penting putrinya yang ketinggalan di rumah, seperti halnya kotak bekal saat Andini SD, karena ada jam olahraga sehabis pulang sekolah, semua murid diperuntukkan membawa kotak bekal untuk makan siang, sayangnya setelah nasi dan lauk pauk terisi penuh di kotak bekal Andini, Andini malah lupa membawanya. Sampai di rumah Andini melihat kotak bekalnya sudah kosong, yang menghabiskan makanan di dalam kotak bekal Andini tidak lain adalah ibu Andini sendiri. Padahal wanita dewasa itu tau putrinya ada jam olahraga, bukannya membawakan bekal putrinya yang ketinggalan ke sekolah, dia malah menghabiskannya. Andini juga tidak bisa mengomel, dia selalu kalah dalam hal adu mulut dengan ibu tercintanya itu. Andini memilih melanjutkan tidur, tak sabar juga untuk bertemu dengan kedua teman sekamarnya nanti. Teman sekamar Andini harusnya ada 3 orang, tapi senior Nur memberitahu Andini bahwa kouta murid perempuan yang tinggal di asrama tahun ini sedikit, jadi tidak semua kamar dipenuhi oleh 4 orang murid perempuan. Pukul 5 pagi senior Nur kembali mengetok pintu kamar Andini, Andini bangun tanpa memaksakan diri lagi. "Salat Subuh, Kak?" tanya Andini sudah menduga. Senior Nur tersenyum tipis, mengangguk, bedanya kali ini senior Nur sudah menggunakan mukenahnya, pukul 3 tadi masih menggunakan kerudung. "Sebentar Kak," ucap Andini sambil melangkah masuk kembali ke dalam kamarnya. Andini mengambil mukenah, kembali keluar kamar, menutup pintu. "Ayo Kak." "Oh, sekarang Andini mau salat berjamaah di mushala?" tanya senior Nur riang. Andini mengangguk, mengucek matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD