Chapter 11

1265 Words
Para murid perempuan di asrama setelah mengerjakan salat subuh, sudah langsung beraktivitas di dapur asrama, membuatkan sarapan untuk penghuni yang lainnya. Karena jadwal piket belum diperbarui, jadi yang piket memasak sarapan hari ini adalah para murid perempuan yang mau sukarela mengajukan diri. Senior Nur mengajak Andini untuk ikut membantu di dapur. Andini yang tidak bisa menolak permintaan senior Nur, mau tidak mau terpaksa ikut membantu di dapur. Nampaknya senior Nur lebih bisa mengandalkan Andini daripada ibu tercinta Andini sendiri. "Wah, kamu jago banget masaknya, Dek," kagum senior Nur melihat Andini sudah selesai membuat gulai ikan, setelah sendirian membersihkan puluhan ikan itu dari kotoran dan sisiknya. Tangan Andini bergerak cepat seolah sudah terlatih. Senior Andini yang lain pun tercengang, kagum melihat junior mereka yang ahli memasak ini, di mata senior kini, Andini sudah dicap sebagai seorang chef. Salah seorang senior bergerak ke kuali besar berisi gulai yang sudah dibuat Andini. Senior itu mengambil sendok makan, menyicipi gulai masakan Andini. "Woah pas!" serunya. Gulai Andini tidak hambar juga tidak asin, bumbu-bumbu dan garam yang dimasukkan dalam gulai itu pas takarannya. Senior itu langsung berbalik, menggenggam kedua tangan Andini erat-erat. "Kamu mau jadi pemimpin dapur?!" tanya senior dengan rambut disanggul rapi itu bersemangat, matanya dipenuhi kilatan-kilatan over protective. Andini menyeringai kaku, mana mau seorang Andini memilih sesuatu yang membuat dirinya terikat, Andini sangat tidak suka diberi tanggung jawab, dia mau hidup bebas sesuka hati. "Mau ya Dek?" tanya senior Andini itu kini nampak memelas, berkaca-kaca menatap Andini. Senior Nur menepuk pelan bahu Andini, membisikkan siapa senior yang sedang menggenggam tangan Andini dengan erat dan penuh harapan sekarang ini. "Senior kamu yang satu ini panggilan akrabnya Bibi, dia kelas 12, pemimpin dapur dari semester lalu," jelas senior Nur, singkat dan padat. Eh? Andini menatap bingung senior Bibi itu, apa nama aslinya memang Bibi? bathin Andini. Andini menghela nafas, lagi-lagi dia berurusan dengan orang penting di asrama, yang pertama senior Nur yang merupakan murid yang bertanggung jawab mengawasi asrama apabila pengawas asrama sedang tidak ada di tempat. Kali ini Andini harus berurusan dengan senior Bibi, pemimpin kepala dapur yang overprotektif padanya. "Bagaimana Dek!?" tanya senior Bibi tak sabaran, menghiraukan kebingungan Andini. Andini menggeleng pelan. "Ma... maaf Kak, Andini gak mau," jawab Andini to the point, tanpa basa-basi, tanpa mencari-cari alasan. Selintas ekspresi kecewa sempat terukir dari wajah senior Bibi, gadis 17 tahun itu tersenyum tipis. "Kenapa Adek ga mau?" Andini menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Karena merepotkan, Kak," jawab Andini santai, tak ada beban, sambil menyeringai kecil. Senior Bibi terdiam, pun senior Nur. Beberapa senior Andini yang berada di dapur tertawa kecil, gemas melihat adik kelas mereka yang sejujur itu pada seniornya. Biasanya junior di Madrasah itu pada kalem, kalau ada yang tabiat aslinya kocak dan gak ngertiin perasaan orang, tiba di asrama langsung kalem. "Tidak merepotkan sama sekali kok, Dek!" seru senior Bibi memberi argumen pribadinya. Bersikukuh agar Andini mau menggantikannya menjadi pemimpin dapur. Semua itu bukan dilakukan senior Bibi karena ia lelah menjadi senior dapur, tapi memang karena senior Bibi menganggap Andini lebih jago dalam hal masak memasak daripada dirinya. Tidak seimbang dan tidak adil bukan? Jika seorang pemimpin dapur kalah hebat dengan penghuni asrama lain? Begitu isi pikiran senior Bibi saat ini. Andini kembali menggeleng, bersikukuh juga dengan pendiriannya. Tak ada ceritanya Andini mau berkorban diri dalam hal yang tidak dia sukai. "Maaf sekali lagi Kak, tapi Andini tetap tidak mau." "Kenapa?" tanya senior Bibi kembali, padahal Andini sudah menjawab pertanyaan senior Bibi ini sebelumnya, yaitu merepotkan menjadi pemimpin dapur. "Kan tadi Andini sudah bilang, Kak, Andini tidak mau melakukan sesuatu yang merepotkan," jelas Andini dengan minyak muka serius. Senior Bibi menghela nafas. "Baiklah kalau memang itu mau Adek, Kakak tidak bisa memaksakan kehendak, Kakak," pasrah senior Bibi. Sejak kejadian di dapur itu, mulai ada senior yang mencap Andini sebagai junior yang belagu, sok hebat karena menganggap pekerjaan sebagai pemimpin dapur itu merepotkan. Esok lusa, kabar angin tentang Andini yang bersitegang dengan senior Bibi tersebar begitu cepat, padahal mereka tak benar-benar bersitegang. Kegiatan piket memasak sarapan itu berakhir, semua murid perempuan sudah duduk di meja makan, menyantap hidangan yang tersaji. Andini seperti biasa, duduk di samping senior Nur, mulai merasakan ada beberapa senior yang berbisik-bisik tentangnya. Andini hanya menghela nafas pelan, tak menyangka debutnya sebagai murid madrasah adalah debut terburuk dalam hidupnya. Senior Nur yang ikut menyadari kawan-kawannya yang membisikkan Andini, menoleh pada Andini, tersenyum tipis sambil membisikkan kata-kata yang membuat Andini jadi tenang. "Biarin aja, udah biasa itu orang julid, nanti-nanti juga bakal sadar sendiri mereka." Andini tersenyum tipis mendengar bisikan senior Nur, dalam diri Andini yang paling dalam, dia tak mempermasalahkan senior-senior yang sedang membicarakannya dengan berbisik-bisik seperti itu. Bukan Andini namanya jika harus tersinggung dengan perkataan buruk orang lain terhadapnya. Andini sudah biasa dikatai di SMP berkat pamornya sebagai siswi nakal dan jahil. "Kenapa Dek? Kok melamun gitu?" tanya senior Nur yang masih duduk di meja makan saat murid perempuan lainnya sibuk membawa piring-piring dan alat makan lainnya yang kotor ke tempat cuci piring. Andini hanya diam, masih kepikiran dengan kitab suci Al-Qur'an yang ketinggalan di meja kamarnya. Padahal Andini tau betul Al-Qur'an sangat diperlukan di madrasah ini, bahkan sifatnya lebih penting dari buku isi 40. Andini menghela nafas mengingat itu. Senior Nur masih menatap bingung juniornya itu, selintas kemudian senior Nur tersenyum tipis. "Andini!" seru senior Nur tiba-tiba. "Tadarus yuk! Di kamar kakak sama teman sekamar kakak lainnya!" ajak senior Nur lagi-lagi bersemangat. Andini menyeringai kecil. "Al-Qur'an aku ketinggalan di rumah, Kak," jelas Andini membuka bicara, menjawab kebingungan senior Nur yang melihat juniornya itu melamun, senior Nur sempat berpikir bahwa Andini sakit hati mendengar bisik-bisikkan penghuni asrama lainnya. Senior Nur menghela nafas. "Syukurlah." Memasang wajah lega. "Eh?" Andini menoleh, kaget sekaligus heran. Senior Nur tertawa kecil melihat wajah kaget Andini. "Hahaha bukan seperti yang sedang kamu pikirkan sekarang. Kakak tidak bermaksud lega mengetahui Al-Qur'an mu ketinggalan, hanya saja Kakak senang kamu tidak sakit hati atau menyimpan emosi atas kejadian hari ini." Senior Nur melambai-lambai tangannya, tertawa kecil. Kejadian hari ini yang dimaksud oleh senior Nur adalah kejadian senior Andini lainnya yang sibuk menggunjingkan dirinya. "Kalau begitu begini saja, Adek mau beli Al-Qur'an baru? Kakak akan temani ke pasar sebelum penghuni baru asrama datang. Mumpung sekarang masih jam 8 pagi, kita bisa sampai di asrama kembali jam 10an," saran senior Nur, memberi solusi atas masalah Andini yang membuatnya kepikiran. "Eh? Tidak apa Kak?" Senior Nur tersenyum tipis. "Tidak apa-apa dong! Memangnya kenapa?" tanya senior Nur balik. Andini menggeleng kecil. "Terima kasih, Kak." "Sama-sama." Senior Nur bangkit dari duduknya, menarik tangan Andini meninggalkan meja makan. Saatnya mereka siap-siap berangkat ke pasar, menemani Andini yang mau membeli Al-Qur'an baru. Andini tiba-tiba merinding, memegangi leher belakangnya. "Nampaknya ibu sudah tau kalau Al-Qur'an ku ketinggalan," gumam Andini dengan senyum kaku. Senior Nur yang sedang menutup pintu menatap heran Andini yang nampak ketakutan. Sedangkan di ujung bumi sana, di sebuah rumah sederhana di daerah elite yang selalu sepi, ibu Andini sedang mengomel, mendapati Al-Qur'an putrinya yang paling wajib untuk dibawa ke Madrasah malah ditinggalkan Andini di atas meja kamarnya. "Dasar itu anak satu! Udah ga di rumah, tapi masih bisa bikin orangtua kesal!" gerutu ibu Andini, menutup pintu kamar putrinya kembali setelah selesai mengganti gorden jendela. "Ada apa Dek? Dek?... Andini?" tanya senior Nur yang sejak tadi mengajak Andini untuk segera jalan, tapi Andini malah diam sambil memeluk dirinya sendiri. Tak kunjung mendapat tanggapan dari juniornya itu, senior Nur memilih untuk menepuk pelan bahu Andini. Andini tergelanjak. "I... iya Kak?" "Ada apa, Dek? Kok bengong lagi?" "Ah tidak ada apa-apa Kak, ayo jalan, Kak!" ajak Andini, menghapus bayang-bayang ibu tercintanya yang sedang mengomel dan menggerutu di rumah saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD