2. Lucas Nolan Matthew

2651 Words
Helikopter hitam mendarat mulus pada helipad sebuah gedung apartemen. Pria dengan setelan jas mahal itu keluar begitu gagah, kacamata bertengger rapi pada hidung bangirnya, dipadukan dengan rahang tegas penuh bulu-bulu halus. Angin berembus kencang, membuat tatanan rambutnya sedikit berantakan. "Selamat siang, Pak Hendro!" sapanya dengan senyuman tipis, saling berjabat tangan dengan ramah. "Siang, Tuan Muda. Bagaimana kabar Anda?" "Baik, Pak. Kalau saya tidak salah dengar, kemarin istri Bapak dilarikan ke rumah sakit. Bagaimana keadaannya, apakah operasinya lancar?" "Sudah, Tuan Muda, sekarang dia sedang istirahat di rumah. Melakukan rawat jalan hingga sembuh total. Biasalah, dia selalu tidak betah berada di rumah sakit." Tersenyum senang dengan sikap Lucas yang begitu peduli kepada siapa pun. Hendro adalah tangan kanan mendiang ayahnya, sekarang masih bekerja dengan baik di perusahaan Matthew. Lucas sudah menganggap pria itu seperti pamannya sendiri. Hubungan mereka begitu dekat, sering sekaki Lucas bercerita kegelisahannya pada Pak Hendro. Selain bisa diandalkan dalam dunia kerja, pria itu juga sangat bijaksana menghadapi permasalahan hidup. Mungkin jika Pak Hendro memiliki seorang putri, akan dijodohkan dengannya. Lucas Nolan Matthew, putra pertama keluarga Matthew yang telah menjadi penerus sang ayah sejak beberapa tahun silam--setelah Geor Matthew meninggal dunia akibat serangan jantung. Lucas memiliki adik perempuan yang masih duduk di bangku kuliah, tinggal bersama ibunya di kediaman utama mereka. "Syukurlah. Bapak juga jaga kesehatan, jangan kelelahan kerja. Luangkan banyak waktu untuk keluarga, masalah kerjaan biar saya yang mengurusnya." Mengusap lengan pria itu, kemudian dipersilakan meninggalkan helipad menuju salah satu unit yang berada di lantai sepuluh. Lucas baru saja melakukan perjalanan mengunjungi sebuah proyek. Sengaja mengendarai sendiri helikopternya menuju pusat perbelanjaan terbesar ibu kota yang sedang melakukan pembangunan untuk menambah beberapa fasilitas di sana. "Hei, Dude. Gue nunggu lo dari tadi!" Andrew Abrisam, tidak lain dan tidak bukan adalah sepupunya sendiri. Mereka seumuran, tumbuh bersama sejak kecil. "Gue udah ngabisin daging di kulkas. Laper." Jangan heran kenapa Andrew bisa memasuki unit Lucas sesuka hati, mereka sudah seperti saudara kandung. Sering kali Andrew kabur dari rumah saat bertengkar dengan ayahnya, menginap di tempat Lucas dan selalu menghabiskan stok makanan di kulkas. Pria itu senang makan, pintar memasak juga. Lumayan bisa Lucas andalkan, dia yang beberes, sementara Andrew yang mengambil alih persoalan dapur. "Udah nggak kaget lagi, lo kan emang hobi ngabisin makanan gue." Lucas menaruh jas di kepala sofa, menggulung lengan kemejanya hingga siku. Dia bersandar lelah dengan deru napas dihela kasar. "Kenapa ke sini lagi? Bukannya baru kemarin baikan sama bokap?" Andrew tertawa renyah. "Nggak berantem, gue ke sini bawa informasi penting. Lo harus tahu!" "Apa? Kalau nggak penting banget, mending lo pulang. Gue bosen ditanyain Om Atha, anaknya kayak bocil suka kabur-kaburan nggak jelas!" "Nyokap lo kayaknya bakal ngadain sayembara." "Buat apaan?" "Nyariin lo jodohlah, memangnya apa lagi?" Lucas tertawa hambar, sama sekali tidak tertarik dengan lelucon Andrew. Nyonya Matthew memang sudah lama menyuruh Lucas menikah, sampai khawatir jika putranya tidak normal. Jangan heran, karena Lucas sendiri tidak pernah pacaran. Dia tidak tertarik menggandeng wanita meski kariernya sedang melejit. Berbeda dengan Andrew, pria itu pemain ulung soal wanita. Pacarnya tidak cukup satu, selalu bercabang seperti pohon. Katanya kalau satu, cepat bosan. Apalagi jika wanitanya terkesan manja dan posessif, Andrew kadang tidak berah. Tapi namanya pacaran saling menguntungkan, dia terima saja. Lumayan untuk menyenangkan diri disaat lelah bekerja. "Pulang, Ndrew, gue mau istirahat." "Gue serius, Lucas. Nyokap lo cerita ke nyokap gue, mau ngadain sayembara. Dia ngebet banget pengin punya mantu." "Lo pikir ini jaman apa pakai acara begituan? Kuno banget pikirannya. Gue belum berniat nikah sekarang, masih sibuk membangun gunung dan lembah!" jawabnya asal. "Serius, Ogeb. Kalau lo dijodohin sama cewek menye-menye gimana? Mending pilih sendiri." Lucas menaikkan bahu, tidak terlalu peduli. "Lo sih nggak mau pacaran, jadi dikira nggak normal. Apa kali aja lo beneran penyuka sesama jenis ya? Gilaa, ngaku nggak lo!" Lucas menatap jengah sepupunya yang tampak kurang ajar itu. Sebenarnya Andrew ini pintar, tapi akal sehatnya sering tidak bekerja. Hobi membuat Lucas naik darah. "Pulang atau gue seret sekarang juga?" "Jawab dulu, Lucas. Lo jangan bikin gue parnoan." "Gue normal, bangsatt!" "Terus kenapa nggak mau pacaran? Lo ganteng, lo tajir, siapa yang nggak kenal sama keturunan Matthew? Kalau lo membuka diri, gue jamin lo kayak lebah yang mengerubungi madu. Nggak ada wanita yang nolak lo." "Belum tertarik gue." Andrew menghela sebal, gemas ingin memukul keras kepala Lucas agar pria itu sadar dan segera mencari tambatan hati. "Umur lo udah berapa? Mau nunda berapa tahun lagi sih? Andai gue nggak pecandu wanita, bisa-bisa nyokap ngira kita pacaran. Habisnya lo nggak pernah pacaran, sementara gue selalu tinggal di sini. Ngeri-ngeri sedap juga!" "Baru dua puluh delapan, belum kepala lima. Masih terhitung muda." "Bercanda lo! Harusnya diusia sekarang kita udah menikah dan punya anak. Apa nggak kepikiran pengin punya bayi yang lucu? Gue aja mau, nanti gue cari dulu wanita baik-baik yang bisa gue jadiin istri--bukan lagi sekadar tempat singgah atau pemuass napsu." Lucas memijat pelipis. Dia sudah memiliki bayangan ke arah pernikahan, hanya saja belum menemukan wanita yang pas. Bukannya tidak mencari, tapi Lucas tidak senang dikejar. Dia lebih tertarik pada wanita pendiam dan tidak banyak gaya. Sejauh ini wanita yang dia temui semuanya kelihatan gilaa harta, kurang belaiann, bahkan ada yang rela menawarkan diri secara cuma-cuma. Bukannya luluh, Lucas malah ngeri sendiri. Wanita haus ranjang bukan seleranya, apalagi terkesan dominan. "Lo duluan aja, nanti gue sumbang katering." "Bukan gitu maksud gue, Lucas. Gue bakal seneng kalau lo yang nikah duluan. Gue lebih muda dua bulan dari lo, nggak boleh ngelangkahin," ucapnya sok bijak. Padahal pria itu sedang menahan tawa, setengah mengejek. "Cih, sok iya lo! Gue mau istirahat, apalagi yang mau lo bicarain? Kalau nggak ada, silakan pulang. Berisik banget dari tadi, bikin gendang telinga gue sakit." Andrew meremas bantal sofa, ingin menghajarnya. "Nggak ada. Lo selalu nggak minat gue bahas wanita, heran. Yang penting gue udah kasih tahu, lo bakal dijodohin. Jadi jangan kaget kalau nyokap lo punya beberapa kandidat wanita, tapi lumayan sih buat dimanfaatin. Seneng-seneng aja dulu, nanti kalau udah nikah baru fokus sama satu wanita. Saran bagus dari gue nih, harus lo ikuti." Menepuk bahu Lucas, tersenyum penuh ledek yang selalu membuat Lucas geli. Andai tidak sepupunya, mungkin sudah Lucas usir manusia seperti Andrew dari hidupnya. Kadang kekonyolannya bisa menjadi hiburan, tapi lebih banyak bagian yang kurang bermanfaatnya, termasuk sifat menyebalkan dia. "Oh iya, bayarin laundry gue satu minggu terakhir ya. Tadi gue bilang sama mbaknya besok kirim aja biaya tagihannya ke elo. Makasih, Lucas, moga rezeki lo makin lancar!" Melambaikan tangan, kemudian menghilang dari balik pintu utama. Lucas menggeram, memejamkan mata. Tidak keluarganya, sekarang Andrew juga lumayan menjadi sumber masalah. Kelakuannya tidak habis-habis. "Kebiasaan banget anak berudu satu itu!" Tidak hanya perihal laundry dan jasa kebersihan lainnya, Andrew juga sering memesan makanan atas nama dirinya. Katanya hadiah atau berniat mentraktir Lucas, tapi ujung-ujungnya Andrew tidak mau keluar duit. Sepupunya emang setidak waras itu, tapi Lucas tetap mau saja menerima Andrew tinggal di rumahnya. Apa saja yang pria itu lakukan, Lucas selalu tidak banyak bunyi. Kesabaran Lucas ternyata menjadi tambang emas untuk Andrew. Dia selalu senang memanfaatkan Lucas, karena pria itu kelewatan baik hati. *** "Abang ...!" Dari kejauhan, Mentari Arshavina Matthew berseru riang. Dia tersenyum lebar, mendatangi Lucas yang baru saja mampir ke kediaman utama. "Kok baru aja ke sini? Udah dari kemarin Mommy nyariin Abang," katanya terdengar manja. Mentari memeluk Lucas, senang menunjukkan rasa cinta kepada Abang kulkas dua pintunya. Usia Mentari dan Lucas terpaut cukup jauh, yaitu sepuluh tahun. Adik perempuannya itu baru saja memasuki bangku perkuliahan, sedang seru-serunya bergaul dan bermain dengan teman seusianya. "Mei, ayo dong. Geli pelukan mulu, kayak teletubies aja." Mendorong kening Mentari, menyuruh adiknya menjaga jarak. "Udah gedhe, jangan kayak bocah. Nggak usah manja kayak bayi, Abang geli." Mentari cekikikan, malah semakin menjahili Lucas dengan memeluk lengannya. Tidak mau melepaskan sampai Lucas berteriak meminta tolong pada Nyonya Matthew. "Mommy, liat anak satu ini. Bener-bener bikin emosi!" Mendorong Mentari, menyuruh anak itu menjauh darinya. Nyonya Matthew senang melihat kedatangan Lucas, mengecup pipi kanan dan kiri putranya. "Mommy kangen banget sama kamu, Sayang." Mencubit dagu Lucas gemas. Lucas bergidik ngeri. "Ish, Mommy sama Meimei sama aja. Bikin merinding!" cibirnya mengusap sisa kecupan ibunya. "Aku datang mau makan kue pie, tadi liat status Meimei, Mommy bikin pie berry." "Ada, Sayang. Ayo ke ruang makan, kita makan pie bersama." Menjamu putranya dengan penuh kasih, tahu sekali Lucas jika ibunya akan membahas sesuatu yang penting. Pasti tidak jauh-jauh dari wanita dan calon istri. Lucas sampai muak mendengarnya. Mentari duduk berhadapan dengan Lucas, menatap abangnya terus sejak tadi. "Kenapa, Mei? Ada yang salah sama muka Abang, kok natap mulu? Ada yang mau kamu pinta?" Mengulum senyum, lalu mengangguk cepat. "Abang, mau tas keluaran terbaru. Boleh?" "Tas kamu sudah memenuhi lemari, mau beli yang kayak gimana lagi? Nggak kamu pakai semua, ngapain beli terus. Andai sekali jalan-jalan kepake langsung sepuluh, boleh jadi. Tas yang terakhir Mommy belikan, baru sekali kamu pakai ke acara kantor Abang. Itu masih bagus, mau kamu ke manain?" "Abang, udah dipakai sekali itu tandanya nggak bisa dipakai lagi, kecuali tahun depan. Aku malu kalau pakai barang itu-itu mulu. Lagian tas bisa buat investasi, bisa dijual lagi, nggak bakal rugi kok." Lucas memutar bola mata, sering heran dengan kelakuan Mentari. "Jual aja semua tas yang ada di lemari, nanti Abang belikan yang baru." Mentari cemberut masam. "Abang, nggak bisa gitu. Biarin aja mereka menghiasi lemari. Dia berjejeran cantik di dalam sana, jadi pemandangan indah. Mereka udah punya tempat sendiri, tas, sepatu, pakaian, dan semua aksesoris aku." "Halah! Kamu emang hobi buang-buang uang. Nanti kalau udah kerja, baru tahu kalau cari uang itu susahnya minta ampun." "Oke, kita lupain dulu masalah tasnya. Abang udah punya pacar? Kapan nih niatnya mau kenalin ke aku sama Mommy?" tanyanya menaik turunkan alis, mengulum senyum. Jangan lupa, Mentari adalah komplotan Nyonya Matthew, merek sering bekerja sama mencarikan jodoh Lucas. "Ah, makasih, Mommy. Pie berrynya enak banget, ini potongan kedua aku. Nanti bikinkan aku choco marshmallow pizza, ya." "Boleh, nanti Mommy bikinkan banyak kue buat kamu. Abang mau nyemil matcha cookies di unit? Nanti Mommy bikinkan juga." "Boleh, Mom. Bikinkan aja, semua kue buatan Mommy enak." Nyonya Matthew duduk di samping Lucas, saling menikmati pie berry yang selalu berhasil menciptakan momen bahagia di antara mereka. "Abang, Mommy kemarin ketemu teman lama, namanya Bunda Esda. Dia pemilik toko kain paling besar di sini, memiliki beberapa cabang juga di luar kota. Ternyata Bunda Esda punya anak cewek yang udah besar. Baru aja selesai kuliah--usianya dua puluh tiga tahun, dia kerja di salah satu bank. Anaknya cantik banget, sopan, dan ramah." "Mom, cukup ya. Ini pasti nggak jauh-jauh dari perjodohan. Mau sampai kapan kayak gini? Aku nggak suka. Aku bisa nyari jodoh sendiri, masih berusaha mencari yang terbaik, Mom." "Serius Abang lagi nyari calon istri? Kuliat Abang sibuk kerja terus, nggak punya waktu bersenang-senang. Diajak Bang Andrew keluar aja nolak mulu, padahal biasanya aku ketemu Bang Andrew sama ceweknya di club. Seru tau, hiburan." "Eh, kamu ke club, Mei? Ini anak jauh banget pergaulannya. Jangan macam-macam, nanti Abang seret kamu dari sana kalau berani mabuk." Mentari menaikkan bahu, kembali diam dan sibuk dengan ponselnya. "Mau kenalan dulu sama Heera? Kali aja kamu suka, Bang. Kalau kalian cocok, bisa aja kita bicarain ke depannya gimana. Dicoba dulu, jangan langsung nolak. Usia kamu udah mau kepala tiga, nggak kepengin kayak temen-temen kamu yang udah punya keluarga kecil? Mommy makin tua, Bang, nggak selamanya sehat dan bisa nemenin kamu." "Rumah ini terlalu besar kalau cuman Mommy dan Meimei yang tinggalin. Andai Mommy punya mantu dan cucu, pasti ramai. Nanti ada suara tangis, teriakan, dan gelak tawa. Kamu juga jarang main ke sini, seneng banget di unit, ninggalin Mommy." Lucas menghentikan potongan pienya, menatap Nyonya Matthew. "Mom, aku bisa memilih wanitaku sendiri. Belum saat ini, tapi nggak terlalu lama lagi. Percaya aja, suatu saat aku bakal nikah. Lagian di sini ramai, banyak para pekerja. Kalau mau denger tangis, teriakan, sama gelak tawa, tinggal suruh Meimei yang lakuin. Dia juga bisa." "Abang mau ngelawak? Nggak lucu banget!" celetuk Mentari dengan wajah tidak berekspresi. "Aku udah besar, ngapain nangis nggak jelas, apalagi teriak-teriak, memangnya ini di hutan apa?" protesnya lagi tidak setuju. "Keburu Mommy mati baru kamy menikah, Lucas!" Jika Nyonya Matthew menyebut nama Lucas, berarti nada bicaranya mulai meninggi dan tidak main-main. "Mom, ngomongnya jangan gitu. Mommy berdoa aja biar panjang umur, bisa ketemu sama momen pernikahan aku. Kita semua tahu kalau aku nggak suka dijodohin, aku nggak suka juga sama cewek pecicilan." "Heera pendiam kok, dia gadis baik-baik. Anak rumahan, pintar masak juga." "Terima aja kenapa sih, Bang? Kalau Abang masih aja nggak siap menikah dan kasih cucu buat Mommy, kemungkinan aku yang bakal nikah muda. Aku siap kok." "Mei, jangan bercanda. Kamu masih kecil, pernikahan bukan hal yang mudah. Nikah nggak cuman buat mengubah status atau sekadar senang-senang, perlu bekal yang banyak. Nanti berantem dikit bawaannya pengin cerai, kebanyakannya gitu." Mentari menopang dagu, wajahnya nampak tidak terlalu setuju dengan pendapat Lucas. "Kalau akhirnya bercerai segampang kayak kamu bilang putus, mending nggak usah nikah dulu. Kamu aja masih manja, nggak bisa ngontrol emosi, seneng hura-hura. Mau di bawa ke mana rumah tangga kamu? Ujung-ujungnya kayak teman kamu itu. Ngebet nikah muda, eh nggak taunya malah cerai, alhasil anaknya ditinggal sama mamanya, dia kembali berlagak kayak remaja yang nggak punya tanggung jawab sama anaknya." Lucas mencecar habis-habisan. Dia tahu jika Mentari lagi berada di masa senang-senangnya bersama lelaki, tapi tidak untuk melangkah terlalu jauh. "Habiskan masa muda kamu dengan baik, biar nanti pas nikah nggak lagi bertengkar perihal kamu sibuk jalan-jalan atau lupa diri karena masih pengin mencoba hal baru." Nyonya Matthew menegur Mentari, setuju dengan Lucas. "Mommy nggak bakal kasih izin kamu nikah muda, Mei. Masak air aja sampe kekeringan, gosong wajan Mommy." Mentari menghela lelah, padahal dia hanya bercanda. Tapi jika disetujui, dia juga tidak menolak. "Terus Abang maunya gimana? Coba Abang pastikan ke Mommy, rencana nikah di usia berapa?" "Dua tahun lagi, mungkin?" "Lama banget, Bang. Apa nggak bisa tahun ini aja?" "Mom, aku nyari istri, bukan nyari jajan. Aku nggak mau menikah berkali-kali, makanya harus bener-bener cari wanita sesuai keinginan aku." Kue pie berry lucas sudah habis, dia menuang lagi jus jeruk ke dalam gelasnya. "Aku ke halaman dulu, Mom. Nyari angin." Nyonya Matthew akhirnya hanya bisa mendesah kecewa. Lagi-lagi obrolan mereka berakhir gantung, Lucas tidak pernah tertarik dengan perjodohan yang dia lakukan. Meski gadis yang dia carikan baik dan cantik, Lucas sama sekali tidak meliriknya. "Pusing, Bro?" Andre datang tiba-tiba, duduk di samping Lucas sambil tersenyum lebar. Dia menengadah, merasakan angin menerpa wajahnya, terasa sejuk dan menenangkan. "Kayak setann aja datang tiba-tiba!" "Gue punya kekuatan seribu bayangan, jadi bakal datang kalau lo lagi banyak tekanan." "Ini alasan kenapa gue malas main ke sini. Selalu tentang jodoh, gue sampai bosen dengernya. Kenapa Mommy nggak cari obrolan lain, biar gue betah. Di unit lebih enak, gue bisa istirahat lebih banyak setelah capek kerja. Di sini malah nambah beban pikiran." "Namanya orang tua, Cas, lo harus maklum. Nyokap lo sendirian, dia pasti takut nggak bisa liat lo bahagia." Tidak ada lagi sahutan dari Lucas, dia hanya diam sebelum akhirnya membahas topik lain. "Lo kalau liat Meimei di club, suruh dia pulang. Bisa-bisanya lo ketemu ade gue diam aja, nanti dia minum!" Memukul kepala Andrew ketika ingat ucapan Mentari di ruang makan tadi. "Udah gue usir, Cas, tetap ngeyel anaknya. Dia biasanya ramai-ramai, bareng temennya. Gue jagain dari jauh, lo tenang aja." "Gue ke kamar dulu, mau tidur." Menyerahkan gelas bekas jusnya kepada Andrew, melangkah tanpa banyak bicara. Andrew mengerang marah. "Dasar kulkas seribu pintu. Gue sumpahin lo cepat nikah!" Lalu berniat menyepak angin, malah kebablasan menyepak kaki kursi. Dia terduduk lemas menahan sakit dengan air mata terkucur. "Ngapain Bang Andrew di sana, nangkap katak kah?" Mentari mengerutkan kening, lantas jahil mengambil potret pria itu. "Bakal kukirim ke grup keluarga." "Dasar bocah tengil!" sumpah Andrew berusaha mengejar, tapi duluan Mentari bersembunyi di balik tubuh Nyonya Matthew. Dia berteriak meminta tolong, mengadukan jika Andrew ingin memukulnya. Mau tidak mau, Andrew terpaksa mengalah.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD