Bab 3 Malam yang Menelan Segalanya

732 Words
Malam turun seperti monster yang merayap dari balik jendela. Tidak peduli berapa kali aku memejamkan mata, kegelapan selalu menemukan celah untuk masuk. Menyusup ke dalam kepalaku. Menarikku kembali ke tempat yang ingin kulupakan. Tempat di mana napasku sendiri terasa seperti ancaman. Barbara sudah pulang. Dia menoleh beberapa kali sebelum menutup pintu, seolah takut meninggalkanku sendirian. Aku memaksanya pergi. Karena ada sisi lain dalam diriku yang tidak ingin dilihat siapa pun. Bahkan diriku sendiri. Aku duduk sendiri di ranjang. Nafasku berat, dadaku naik turun dengan ritme yang kacau. Ada detik-detik tertentu di mana aku tidak bisa membedakan mana suara jantungku dan mana gema ketakutan yang meraung-raung di kepalaku. Di kamar yang remang itu, aku tahu satu hal malam tak pernah datang untuk membawa tidur. Malam datang untuk mengingatkan hal-hal yang kubenci. --- Ingatan itu menghantamku tanpa peringatan. Aku kembali berdiri di depan pintu apartemen Jack. Pintu yang pernah membuatku gemetar, entah karena rasa cinta yang naif… atau karena firasat buruk yang tidak pernah kuhiraukan. Pintu itu selalu tampak seperti pintu biasa. Kayu coklat dengan gagang metal dingin. Bagi diriku sekarang, itu adalah pintu menuju neraka. Ketika Jack menarik tanganku malam itu, aku masih memanggilnya dengan nama yang lembut. Aku masih percaya dia akan berhenti jika aku bilang ‘tidak’. Aku masih percaya kasih sayang bisa menahan seseorang untuk tidak menjadi monster. Pada kenyataannya monster tidak bisa dihentikan oleh air mata. Ketika tubuhku jatuh ke lantai, aku ingat suara tawanya… pendek, rendah, meremehkan. Seperti seseorang yang baru mendapatkan barang mainannya kembali. Dia menyeretku ke dalam kamar, dan setiap gesekan lantai pada kulitku masih bisa kurasakan sampai sekarang. Tubuhku menggigil. Napasku memburu seperti binatang yang dikejar pemburu. Aku memeluk lututku sendiri, berharap kegelapan kamar bisa menenangkanku. Namun yang datang justru suara itu. Suara Jack. “Diam. Jangan bergerak.” Aku menutup telingaku keras-keras, tetapi suara itu tidak hilang. Suara itu bukan sekadar ingatan. Itu trauma yang menempel pada saraf seperti duri. --- Tidak ada cahaya malam itu. Tak ada harapan. Hanya rasa takut yang merayap dari ujung kaki hingga tenggorokan. Aku bangkit dari ranjang dengan langkah goyah. Langkah-langkahku terasa seperti memijak kaca. Kamar yang tadi terasa sempit perlahan berubah menjadi jurang gelap. Aku membuka lemari, mencari sesuatu, apa saja! Asal bisa menenangkan tanganku yang gemetar. Di sana, di balik baju-baju yang kusut, masih ada sisa-sisa yang dulu pernah menjadi pelarian. Plastik kecil. Dosa kecil yang pernah membawaku jauh dari rasa sakit. Meski akhirnya membawaku lebih dalam ke jurang. “Kamu… mau mati, Dri?” bisikku pada bayanganku sendiri. Tanganku terulur. Berhenti. Gemetar. Ada suara lain dalam kepalaku, lebih lembut, lebih familiar. ‘Kamu janji sama aku, Audrey…’ Suara Barbara. Tanganku terhenti. Dadaku sesak. Ada perang yang tidak terlihat di dalam diriku antara keinginan untuk kembali mati rasa, atau bertahan dengan rasa sakit yang membakar setiap detik hidupku. Aku jatuh terduduk di lantai. Hening kembali menyelimuti kamar. Dan untuk pertama kalinya, keheningan itu lebih menakutkan daripada Jack. --- Kupeluk tubuhku sendiri, mencoba meredakan gemuruh dalam kepalaku. Kupejamkan mata, berharap kegelapan bisa menenangkan. Tapi justru bayangan itu muncul lagi, wajah Mama. Senyumnya. Suaranya. Lalu bayangan itu perlahan digantikan oleh diriku sendiri… diriku yang lain… diriku yang patah. Aku memandang ke langit-langit kosong, air mata kembali jatuh tanpa permisi. “Kenapa hidupku seperti ini…” bisikku. Tidak ada jawaban. Malam tetap diam, seperti selalu seperti kehidupan ku yang senyap. --- Pukul tiga dini hari. Tubuhku menggigil tanpa sebab. Atau mungkin ada ketakutan yang menolak pergi. Aku bangkit, menyalakan lampu kecil di samping ranjang. Cahaya kuning redupnya menyebar pelan, memberi bentuk pada bayang-bayang di dinding. Bentuk yang seharusnya menenangkan, tetapi justru menambah rasa dicekik. Aku menatap cermin. Wajah pucat. Mata merah. Rambut kusut. Seolah melihat orang lain, bukan diriku. Seseorang yang telah kehilangan jiwanya di suatu tempat yang tidak bisa ditemukan kembali. Aku menyentuh permukaan cermin. Dingin. “Apa aku… masih bisa kembali?” Pertanyaan itu seperti menikam diriku sendiri. Jawabannya tidak pernah muncul. --- Ketika fajar hampir datang, tubuhku mulai melemah. Bukan karena rasa kantuk. Aku sudah lupa rasanya tertidur nyenyak. Dikarenakan kelelahan memerangi monster-monster dalam kepalaku. Aku kembali ke ranjang perlahan. Rasa sakit menusuk di seluruh persendian. Paru-paruku seperti menolak bekerja. Aku memejamkan mata untuk kesekian kalinya. Dan akhirnya, setelah malam panjang yang tak berbelas kasih, tubuhku menyerah. Kesadaran perlahan menjauh. Tetapi sebelum gelap sepenuhnya menelanku, satu hal terakhir terlintas dibenak ku, Aku tidak takut mati. Yang kutakutkan adalah hidup, jika hidup berarti mengulang malam ini selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD