Bab 4 Retakan yang Tak Pernah Sembuh

946 Words
Pagi datang seperti pukulan, bukan penyelamat. Cahaya yang menembus tirai tidak membawa hangat apa pun, justru sebaliknya. Cahaya itu menguak semua luka yang semalam bersembunyi dalam gelap. Tubuhku terasa berat, seolah ada batu besar yang ditekan ke dadaku. Nafas pendek. Kepala berdenyut. Dunia terasa terlalu terang untuk seseorang yang hampir tenggelam dalam kegelapan. Barbara belum datang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku merasa benar-benar sendirian. Hening kembali mengisi ruangan, namun bukan hening yang netral. Ini hening yang berbahaya, yang membuat pikiran buruk menjadi lebih sering berbisik. Aku duduk perlahan, menatap tangan sendiri. Jemariku gemetar. Ada pertanyaan yang terus menghantui. Siapa aku sekarang? Bukan Audrey yang dulu. Bukan anak yang ceria. Bukan adik yang dibanggakan. Yang tersisa hanya aku yang sekarang…. RETAK, penuh goresan yang tidak terlihat. Seseorang yang tidak bisa mencintai diri sendiri. --- Pintu diketuk tiba-tiba. Aku tersentak, jantungku berdegup keras seolah baru saja tertangkap melakukan sesuatu yang salah. Barbara masuk dengan senyum dipaksakan. “Pagi,” katanya pelan, menaruh kantong plastik berisi roti, buah, dan obat-obatan. Aku membalas dengan anggukan kecil. Tidak mampu lebih. Barbara menatapku lama. “Kamu kelihatan lebih buruk dari kemarin.” “Aku baik-baik saja.” “Kamu bohong.” Aku memalingkan wajah. Barbara duduk di tepi ranjang, matanya tajam tapi penuh rasa sayang. “Audrey… kamu harus ngomong. Kamu nggak bisa cuma diam kayak gini. Kamu pikir aku nggak takut lihat kamu makin hancur?” Aku ingin berteriak. Ingin mengatakan semuanya. Ingin menumpahkan rasa sakit yang melukai dari dalam. Tapi bibirku membeku. “Tolong jangan paksa aku,” bisikku. Barbara menghela napas berat. “Kalau kamu terus begini, kamu bisa mati. Kamu sadar itu?” Aku menutup mata. Kata ‘mati’ tidak membuatku takut dan itu yang paling menakutkan. --- Di kamar, Barbara mulai membersihkan meja, merapikan selimut, dan menata obat-obatan. Barbara melakukan semuanya sambil berbicara panjang lebar untuk mengisi udara yang hening. Tiba-tiba Barabara berhenti. “Audrey… kamu semalam pakai barang itu lagi?” Pertanyaan itu menusuk tepat di ulu hati. Aku membuka mata. “Enggak.” “Jangan bohong.” “Enggak!” suaraku meninggi tanpa sengaja. Barbara menatapku tanpa berkedip. Sorot matanya berubah dari khawatir menjadi patah hati. “Kamu mikir aku nggak tahu tanda-tandanya?” katanya dengan suara rendah. “Tanganmu gemetar. Matamu cekung. Suasana hatimu… naik turun. Kamu mau kembali mati di kamar ini? Itu mau kamu?” Aku ingin marah. Tetapi bukan pada Barbara, namun lebih pada diriku sendiri. “Bar…” suaraku pecah. “Aku cuma ingin… diam. Tenang. Berhenti merasa. Berhenti ingat.” Barbara maju dan memelukku tanpa menunggu izin. Pelukan yang hangat, namun pelukan itu justru membuatku menangis lebih keras. “Kenapa begitu susah, Bar…” isakku. “Kenapa semuanya terasa salah? Kenapa aku nggak bisa kembali jadi orang normal?” Barbara mengecup kepalaku pelan. “Kamu bukan nggak normal. Kamu trauma. Kamu sakit. Dan kamu butuh waktu.” Aku memukul dadanya pelan, bukan karena marah, lebih karena aku merasa putus asa. “Aku capek…” “Aku tahu.” “Aku benci diriku…” “Aku sayang sama kamu.” Kalimat itu membuatku terdiam. Barbara jarang menggunakan kata itu secara langsung. Dan meski itu bukan cinta romantis, ada kehangatan yang menusuk dalam. --- Siang itu, Barbara memaksaku makan. Setiap suapan terasa seperti perjuangan. Makanan itu bukan yang paling berat, melainkan tatapan Barbara yang jelas menunjukkan dia menyimpan sesuatu. Setelah beberapa menit, dia akhirnya bicara. “Audrey, aku harus kasih tahu sesuatu…” Jantungku kembali berdetak kencang. “Apa?” Barbara tampak ragu. Jemarinya meremas ujung bajunya sendiri, kebiasaan yang muncul hanya saat Barbara benar-benar gelisah. “Kakak kamu… Ellen… dia mau datang ke sini.” Aku membeku. Dunia seperti berhenti. “Enggak.” “Audrey…” “Enggak, Bar!” Aku berdiri terlalu cepat, hampir terjatuh. Napasku tercekat. Dadaku seperti diremas dari dalam. Ketakutan itu kembali datang seperti ada gelombang kedua yang lebih besar dari sebelumnya. “Aku nggak mau ketemu dia.” Suaraku gemetar. “Aku nggak siap.” Barbara bangkit dan menahan kedua bahuku. “Ellen cuma mau memastikan kamu baik-baik saja.” “BAIK-BAIK SAJA?” aku teriak. “Lihat aku, Bar!” Air mataku jatuh tak bisa ditahan. “Dia pergi. Dia hilang dari hidupku. Bertahun-tahun. Tanpa kabar. Tanpa peduli. Dan sekarang… sekarang dia mau lihat aku kayak gini? Mau lihat aku jadi bangkai hidup?” Barbara menahan tangisku. “Ellen nggak tahu, Dri. Dia pikir kamu yang ninggalin dia. Dia juga punya lukanya sendiri.” Aku membeku. “Apa?” “Dia… merasa kamu menghancurkan hidupnya.” Aku terdiam. Lama banget. Kalimat itu menusuk lebih dalam dari apa pun. Aku rasa, hatiku yang rapuh baru saja retak lagi. Barbara mendekat dan berkata pelan, “Tolong jangan lari dari dia. Kalian berdua terluka. Kalian berdua saling menjauh. Mungkin… ini saatnya kalian saling menemukan lagi.” Aku menatap Barbara. Pandangannya tidak memaksa, namun penuh harapan agar aku mau bertemu dengan dia. Dan untuk pertama kalinya sejak lama aku merasa takut pada sesuatu yang bukan Jack, bukan narkoba, bukan malam. Aku takut menghadapi kakakku sendiri. --- Hari itu berlalu dengan lambat. Setiap detik terasa seperti pasir yang turun satu per satu, memaksaku menunggu sesuatu yang sangat tidak ingin kuhadapi. Tubuhku gelisah. Aku mondar-mandir. Menggigit kuku. Menarik rambut. Duduk lalu bangun lagi. Barbara akhirnya pulang setelah berjanji kembali sore nanti. Dan kini… aku harus menunggu. Menunggu Ellen. Menunggu masa lalu yang ingin kuhilangkan. Anehnya, masa lalu terus mengejarku. Di sudut kamar, aku duduk sambil memeluk lutut, menatap lantai yang dingin. Dalam hening itu, aku sadar satu hal. Ada luka-luka tertentu yang tidak bisa diobati oleh waktu. Ada luka yang hanya bisa disembuhkan… dengan berani membuka kembali pintu yang selama ini kututup rapat. Pertanyaannya adalah… apakah aku sanggup?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD