Pagi di Bintan terasa terlalu tenang, seperti laut yang menyembunyikan badai di dasar. Audrey duduk di ujung ranjang, kaki ditekuk, dagu bertumpu pada lutut. Matanya bengkak, hal itu bukan dikarenakan menangis, melainkan karena malam-malam panjang yang tidak memberinya kesempatan untuk benar-benar beristirahat.
Barbara masuk perlahan, tidak seperti biasanya yang selalu mengetuk dengan keras dan memaksa pintu terbuka. Hari ini langkahnya lebih pelan, lebih hati-hati, seolah ia takut menyentuh udara yang rapuh di dalam kamar itu.
“Dri…” panggilnya lirih.
Audrey tidak menoleh. “Kamu di sini pagi-pagi. Seharusnya kamu ada kelas.”
“Aku bisa bolos sekali.”
“Kamu bakal kena marah dosenmu.”
“Tidak apa-apa. Aku senang menemani mu.”
Barbara mendekat, duduk di lantai, dan menyandarkan punggungnya pada sisi ranjang. Ia tidak bicara lagi. Hanya diam, menunggu Audrey bicara duluan jika dia mau. Audrey tahu pola itu. Barbara selalu memberi ruang, namun cukup dekat kalau Audrey mulai jatuh lagi.
Audrey meremas ujung selimut, napasnya tersengal. “Dia benar-benar mau datang, Bar? Ellen?”
Barbara mengangguk pelan. “Dia bilang sudah membeli tiket pesawat ke sini.”
Audrey menutup wajah dengan kedua tangan. Tangis yang sejak pagi ia tahan akhirnya pecah. “Kenapa sekarang… Kenapa waktu aku lagi kayak gini…”
Barbara naik ke ranjang, memeluk Audrey dari belakang. Pelukan yang hangat, tidak dapat dibedakan apakah itu pelukan sahabat atau seseorang yang sudah terlalu peduli untuk sekadar disebut teman.
“Karena kamu nggak boleh sendirian lagi,” bisik Barbara.
Audrey menggigit bibir, menahan sesak di dadanya. “Aku takut dia bakal benci aku. Takut dia lihat aku… hancur kayak gini.”
“Kalau dia benci kamu,” Barbara menatap Audrey dalam-dalam, “maka aku yang akan berdiri di depan kamu dan bilang dia salah.”
Audrey tertawa kecil, tawa yang hambar tanpa memiliki makna. “Sejak kapan kamu jadi pelindungku?”
“Sejak kamu mulai jatuh,” jawab Barbara, lembut namun tegas. “Dan aku nggak mau kamu jatuh sendirian.”
Audrey memalingkan wajah. Emosi yang berputar terlalu cepat membuat perutnya mual. “Kadang aku berpikir… kalau bukan karena kamu, mungkin aku udah nggak ada.”
Barbara menghentikan napasnya. Kata-kata itu seperti pukulan.
“Jangan bilang kayak gitu,” suaranya bergetar. “Kamu masih di sini karena kamu kuat. Bukan karena aku.”
“Tapi kamu yang selalu narik aku balik.”
Barbara menunduk. “Aku cuma… nggak mau kamu hilang.”
Mereka menghabiskan pagi itu dalam kesunyian. Namun, mereka bergelut dalam pemikiran yang tidak berujung.
---
Siangnya, mereka duduk di balkon kecil, ditemani segelas teh hangat. Langit cerah, walau begitu Audrey merasa jauh dari warna dunia. Barbara menatapnya sesekali, memastikan Audrey tidak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Kamu istirahat dulu,” kata Barbara.
“Aku nggak bisa.”
“Kamu butuh tidur.”
“Aku takut kalau tidur, aku balik ke tempat itu lagi.”
Barbara terdiam. Lalu tanpa berkata apa pun, ia menggenggam tangan Audrey. Hangat, stabil, seolah berkata ‘Aku ada di sini. Aku nggak akan pergi.’
Audrey menatap genggaman itu lama sekali. Ada rasa yang sulit dia kenali diantara nyaman, takut, dan sesuatu yang Audrey kira sudah mati dalam dirinya.
“Kamu kenapa baik banget sama aku?”
Barbara tersenyum, namun matanya sendu. “Karena aku tahu rasanya kehilangan diri sendiri. Dan aku nggak mau kamu mengalami itu sendirian.”
“Bar…” Audrey menelan ludah. “Kalau suatu hari aku nggak bisa sembuh… kamu bakal tetap di sini?”
“Kalau kamu nggak bisa sembuh,” jawab Barbara pelan, “Maka aku yang bakal belajar cara baru buat nyembuhin kamu.”
Audrey memejamkan mata, mencoba menahan air mata. Sekali lagi dia gagal. Barbara memeluknya tanpa ragu, membiarkan Audrey menangis di bahunya.
“Apa aku terlalu bergantung sama kamu?” tanya Audrey di sela tangisnya.
“Mungkin,” jawab Barbara jujur. “Tapi aku nggak apa-apa dengan itu.”
“Kamu nggak capek?”
“Capek.”
Audrey tersentak kecil. “Kalau kamu capek kenapa kamu masih…. ”
“Capek bukan berarti aku berhenti sayang.”
Kata itu, sayang jatuh seperti bom di d**a Audrey. Dia menegang, tidak tahu bagaimana harus merespons.
Barbara sadar itu. Ia menunduk sedikit. “Maksudku… aku peduli. Bukan yang lain.”
Sejujurnya, Audrey tahu, ada sesuatu di bawah kata-kata Barbara yang tidak diucapkan. Sesuatu yang membuat napasnya tertahan.
“Bar… kalau aku bilang…” Audrey berhenti. Suaranya serak. “Aku takut kehilangan kamu lebih dari siapa pun… kamu bakal mikir aku aneh?”
Barbara menatapnya lama. Sangat lama. “Enggak,” jawabnya. “Karena aku juga takut kehilangan kamu.”
---
Hari mulai gelap. Audrey dan Barbara masih duduk berdekatan, tidak bicara, hanya membiarkan angin sore menyentuh kulit mereka. Ada banyak hal yang belum diselesaikan trauma, kedatangan Ellen, dan bayangan masa lalu yang terus menghantui.
Namun untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Audrey merasa sedikit… lebih ringan.
Bukan karena rasa sakitnya hilang.
Melainkan karena ada seseorang yang bersedia memikul sebagian bebannya.
Seseorang yang tidak menjauh ketika dia paling hancur.
Seseorang bernama Barbara. Persahabatan dengan Barbara tidak bisa diukur oleh jarak dan waktu. Meskipun jarang berkomunikasi selama Audrey di Jakarta, namun Barbara adalah orang yang terdekat Audrey.
Dan Audrey tahu satu hal. Jika ia ingin kembali menjadi manusia, tempat pertama yang harus ia mulai… adalah tangan yang sedang menggenggam tangannya sekarang.