Theresa tak ingin melihat kebrutalan ini, tapi dia berada di tempat terbaik untuk menyaksikannya. Berulang kali dia memejamkan mata sejak pertumpahan darah dimulai.
Sorak sorai menggelegar dimana-mana, mereka makin ramai saat ada pihak yang tersudut.
Pertandingan baru berjalan sepuluh menit, tapi pria barbar bernama Devereux itu sudah hampir menumbangkan seorang peserta, Roderick Rude. Julukan pemimpin jahat tak lagi melekat di tubuh pria itu saat tergeletak di atas pasir penyerap darah ini.
Firio sendiri sudah dikepung lima orang, semua seperti punya dendam pribadinya, tapi dia selalu lolos dari cambukan, tebasan kapak, maupum sabetan pisau.
Theresa tak sanggup melihat. Saking ngerinya, dia terus meringkuk di ujung kurungan seraya menggaruk besi khusus yang melingkar di leher.
Sampai-sampai Abelard menaruh microphone, lalu menggoda, "Nona, sebaiknya kau tak terus menggaruknya, benda itu- bisa meledak loh."
Theresa menyingkirkan tangannya. "Mele-meledak? Kalian sudah gila?"
"Aku hanya bercanda, mana mungkin benda itu meledak dengan sendirinya. Bos kami yang memegang remote kendali, dia sedang menonton ini melalui HOLLproject, kalau ada yang tidak sesuai dengan aturan- dia yang akan memecet tombol itu dan- boooom- kepalamu hancur." Abelard menjelaskan itu dengan nada jenaka seperti mendongeng pada anak kecil.
Theresa melotot ngeri. Benda yang sudah mirip bom ini tak perlu menjeratnya untuk membuat ia tak bisa bernapas.
Namun dia masih menunjukkan keberaniaan saat berkata, "kalian pikir bisa lolos setelah melakukan ini semua?"
Abelard tertawa. "Ini luar dinding, Sayang, kau pikir kau sedang ada di mana? Tidak ada hukum yang mengikatmu disini- mungkin kau terbiasa hidup nyaman di balik dinding Adam, tapi kita disini adalah binatang liar- tak ada kedamaian disini."
"Kalian-"
"Itulah kenapa pemerintah kalian melarang berkeliaran di luar dinding terlalu lama, lihat- ini salahmu sendiri yang jalan-jalan ke distrik luar."
Aku tidak keluar dinding! Aku terjebak di masa barbar ini!, jerit Thereda dalam hati.
"Oh, dan lihat, para jagoanmu yang sedang memperebutkanmu, terutama distrik 222 itu, hebat sekali-" kata Abelard mulai menoleh ke arena lagi, dia menuding Firio yang berhasil lolos dari kepungan lima peserta lain. "Tahu begini, aku akan membeli taruhan untuknya."
Theresa sesak melihat pertandingan gila ini. Walaupun tak terlalu detail, tapi luka menganga akibat bilah kapak atau pisau di tubuh para gladiator tetap nyata.
"Ini mengerikan-" bisiknya merangkul diri sendiri. Ia tak henti-henti melihat Firio yang menerjang satu orang ke orang lain seperti binatang liar.
Abelar mengambil microphone lagi, kemudian meramaikan suasana dengan berteriak, "waktu sudah berjalan dua puluh menit dan lihatlah- apa jagoan kalian bertahan dan tak memalukan untuk dilihat?"
Distrik 202, Roderick Rude, tumbang, dipastikan kesakitan karena tusukan tepat di perutnya-
Sebagian penonton tertawa, sebagian lagi murka- tentu saja karena pimpinan mereka yang sekarat di atas pasir. Namun memang beginilah King's Colloseum, berani masuk selain harus berani mati, distrik itu harus berani menanggung malu. Mereka yang kalah akan ditertawakan, dan daftar urutan distrik terkuat pun bergeser pada sang pemenang.
Selama ini hanya distrik 210, diwakili Devereux, yang aktif ikut. Sekarang hampir setengah distrik luar dinding ikut kompetisi memperebutkan Theresa.
"Ah, Tuan 215, Villard Barnabas punya kemampuan bertarung unik ya?" komentar Abelard memperhatikan Villard sedang berkelahi dengan si distrik 213, Amias Albion.
Villard mampu menghindari cambuk besi dari Amias. Dia paling ahli menghindar ketimbang melawan, menunggu waktu yang tepat- lalu menyerang.
Berbeda dengan Devereux yang asal menyeruduk siapapun yang mendekat. Jika diibaratkan hewan, manusia satu ini mirip banteng, dan semua musuhnya tengah memperlihatkan kain merah.
Sorak sorai makin ramai-
Distrik 213, Amias Albion, akhirnya terkena pisau Villard. Bukan main-main, dalam sekali serang, tubuhnya dipenuhi luka goresan.
Abelard sampai melongo. "Sekarang kalian harus paham, kenapa harus menjauhi distrik 215. Mereka pasti ahli menguliti kalian sebelum dipanggang-"
Villard menyeringai ke korban selanjutnya. Meskipun Amias belum mati, dia hanya menggeliat kesakitan di atas pasir, mata si kaninal itu teralih pada sosok lain-
Distrik 218, Pharaoh Dryden, sang pembantai masal. Mengetahui julukan itu membuat darah liar Villard mendidih. Tidak ada yang boleh lebih mengerikan ketimbang distrik miliknya.
Abelard fokus ke si pemegang pedang dari dari distrik 217, Rei. "Oh, sepertinya agak sulit melawan pria itu ya, Tuan- Wolfman?"
Ya, samurai itu berakhir melawan Firio.
Tidak jauh berbeda dengan Villard, Firio juga terpaksa menunjukkan sisi buasnya. Sejak bayi dia dibesarkan di dalam hutan, tidak diragukan lagi kemampuannya dalam bertahan dari serangan apapun, sekalipun tebasan pedang-
Gerakan tangan Rei cepat, tapi dia sadar tak selincah gerakan kaki Firio.
Sementara itu, Abelard juga mengomentari ahli tinju mereka, "oh tidak- kita lewatkan dulu Tuan serigala itu, Tuan dari distrik 219, Almeric Rocky kita tumbang di tangan Tuan Devereux Dugo- tolong jangan buat dia mati."
Gelak tawa dan sorak gembira kembali menggelora dimana-mana. Setiap kali Devereux berhasil menyudutkan orang, dia selalu mengangkat tangan dengan bangga.
Dia bahkan menginjak punggung Almeric Rocky yang masih bernapas itu. Tumit kakinya sudah seperyi sebongkah besi yang meretakkan tulang rusuk.
"MATI SAJA!" teriaknya juga menjejak kepala pria itu agar tenggelam dalam pasir.
Abelard ikut tertawa. "Oh, tidak- distrik 219 pasti butuh pemimpin baru, dan kita juga harus menyiapkan petinju baru."
Pandangannya berubah ke arah peserta lain. "Oh tidak, dari tadi distrik 205 dan distrik 209 bentrok tanpa pemenang, Tuan Cassander dan Tuan Vane yang tampan, kalian sungguh sama-sama kuat."
Teriakan gembira kembali terjadi-
Theresa mual, ingin muntah. Dia memalingkan wajah, sudah tak kuat lagi, dia hanya melirik sekilas jika Abelard menyinggung kemampuan Firio menangani pedang Rei.
Firio, Firio, Firio, panggilnya dalam hati. Hanya itu yang terlintas di benaknya selama pertandingan terjadi.
Hingga sejam berlalu- hingga hanya tersisa lima orang yang masih berdiri, lainnya sekarat di atas tanah.
Distrik 205, Cassander Cephas.
Distrik 209, Vane Cadwallader.
Distrik 210, Devereux Dugo.
Distrik 215, Villard Barnabas.
Distrik 222, Porfirio Wolfman.
"Oh, sudah kuduga tuan Cassander dan Vane sama-sama kuat, bahkan sampai berhasil berdiri setelah satu jam lamanya bertarung tanpa henti-" komentar Abelard melihat dua sosok itu sama-sama kelelahan dan nyaris tumbang. "Sebaiknya kalian minum obat kuat setelah ini."
Tawa penonton terdengar.
"Firio," panggil Theresa lega melihat Firio yang belum terluka di arena bertarung itu. Senyumannya mengembang, bahagia bukan main. "Aku yakin kau pasti menang-"
Abelard mendengar ucapannya. Dia menyeringai sambil mengumumkan, "oh barusan aku mendengar kalau wanita cantik kita ini menginginkan Tuan distrik 222 yang menang. Uh, sepertinya kalian punya rahasia ya? Apa kau ingin membaginya dengan kami, Tuan Serigala?"
Sebagian orang tertawa, sebagian lagi berbisik-bisik. Sedangkan Thana malah dongkol, sejak awal dia muak dengan komentar gila Abelard.
Firio menjawabnya dengan santai, "ya, sudah jelas dia ingin aku menang, aku suaminya." Suaranya bisa keras berkat bantuan microphone kecil yang tertempel di d**a, sebagaimana peserta lain.
Villard meliriknya tajam, begitu pula dengan Devereux, aura kecemburuan menguar di antara mereka. Bisa dipastikan kalau keduanya kini benar-benar berhasrat ingin memiliki Theresa seutuhnya. Namun Cassander dan Vane tak bergeming, ya- mereka seperti hanya sekedar "ingin mengoleksi", bukan mendapat "cinta" wanita itu.
Suasana koloseum itu hening, tak ada suara apapun selama sepuluh detik.
Theresa pun tertegun, yakin sekarang ini Firio tidak salah bicara. Bagaimana bisa mengakui hal itu dengan sengaja? Apakah hanya untuk menunjukkan kuasanya atau memang hanya menganggapnya duplikat sang istri asli?
Ada perasaan bahagia sekaligus rasa sakit disini. Ini salah, ini bukan waktunya terbawa perasaan, tapi kenapa menyakitkan sekali? Lalu mengapa harus merasakan sakit?
Abelard kemudian memecah keheningan dengan berkata, "oh, kurasa kata itu juga kau ucapkan pada petugas kami, Tuan Serigala, sungguh man-"
"Dia memang istriku, dia milikku, dia satu-satunya yang kupunya sekarang, aku sangat mencintainya, jadi jangan harap bisa lolos setelah ini selesai-" Firio menatap Abelard dengan tatapan membenci. Ketimbang para gladiator, dia lebih menganggap orang dibalik penculikan inilah yang perlu dibantai.
Abelard takut seketika, tapi berusaha mengusai keadaan dengan memperingatkan, "bisnis adalah bisnis, Tuan, kau tahu itu, kau mengancam kami, maka istri manismu ini akan kami lempar ke tengah lapangan dan meledak seperti kembang api-"
"Ya, bisnis," ulang Firio menyeringai licik. Pandangannya kemudian mengarah pada sisa lawannya yang tangguh. "Kapan bisa mulai lagi?"
"Para gladiator, kalian harus bersantai dahulu sementara kami membereskan mayat- atau Tuan-tuan yang sekarat di atas pasir itu. Kalian bisa membunuhnya kalau ingin-"
"Malas," kata Devereux masih menyiksa tubuh Roderick dengan cara menginjaknya. "Para b******k ini sulit mati."
"Ya sudah, kalian boleh pergi-"
Cih, Firio ingin sekali merusak tempat ini, membakar semua, lalu memanggang kepala mereka di atas bara apinya. Namun lagi-lagi tatapannya mengarah ke balkon, ke balik jeruji besi, ke sosok yang ia cintai.
Dia memeriksa gelang di tangannya. Luar biasa, sama sekali tidak terluka, hanya berkeringat sedikit. Ini dibuktikan dengan statusnya yang masih sehat: 100%
Villard melewatinya seraya berkata, "kau targetku selanjutnya." Kemudian pergi ke dalam pintu masuk tadi.
Devereux pergi pula, diikuti Cassander dan Vane.
Abelard mengumumkan lagi, "baiklah semuanya, kita rehat dahulu ya- biarkan jagoan kalian minum, sebelum menggila lagi."
Beberapa petugas berpakaian dan bertopeng serba hitam keluar, lalu menyeret mereka yang tumbang.
"Oh iya Tuan Serigala, kau boleh menemui 'istri'mu ini loh," kata Abelard sebelum akhirnya menaruh microphone dan ikut pergi ke ruangannya.
Itulah yang akan dilakukan Firio, menemui sang istri kembali.
***