16| Scientist I War Is Coming

1641 Words
Tirai koloseum dibuka. “Selamat datang di King's Colloseum. Sekali penantang masuk, sulit untuk keluar hidup-hidup! Dan sebagai pembaca acara kalian hari ini, perkenalkan, namaku Abelard!” teriak si pembawa acara, pria gemuk yang tengah berdiri di balkon tempat piala berada. Dia berbicara di depan michopone-nya. Sorakan keras membahana. Ada ribuan orang yang sudah memadati stadion itu, dari distrik 201 hingga 222. Selain distrik 222, distrik lain punya penghuni yang lebih banyak. Mulut mereka terlalu lebar sampai mampu meneriakkan suara keras. Lebih gila daripada binatang liar manapun, baik pria ataupun wanitanya, semuanya haus tontonan berdarah. Tidak semuanya memakai mantel tebal, sebagian besar pria malah bertelanjang d**a— sekalipun cuaca pagi ini dingin sekali. Api jiwa mereka membara hingga kulit tak merasa dingin sedikitpun. Sebagian lagi hanya duduk dan makan makanan ringan seolah ini adalah pertandingan bola. “Sambutlah para penantang kita!” teriak Abelard kembali, suaranya makin lama makin keras, Theresa sampai minggir ke sisi lain demi jauh darinya. Lagu pengantar koloseum pun dikumandangkan dari berbagai arah. Bagi yang terbiasa mendengar ini, mereka akan semakin bersorak. Satu per satu para penantang maut itu keluar dari dalam pintu masuk. Mereka bertelanjang kaki dengan pergelangan tangan sudah terdapat gelang pengenal berupa logam hitam. Gelang itu layaknya layar yang menunjukkan status kesehatan tubuh sang pemakai. Ya, seperti milik Firio bertuliskan: Porfirio Wolfman, Distrik 222, Gladiator Code 0022209 100% Status darah tersebut akan menurun seiring dengan luka yang diderita si pemakai. Inilah kenapa Firio terus berwajah masam, dia memakai gelang seperti tengah bermain video game— dan orang-orang akan menertawainya kalau kalah. Inilah sirkus, dimana dia harus membayar untuk bermain di dalamnya. “Apa yang kulakukan sebenarnya?” tanya Firio pada dirinya sendiri. Ini bukanlah dia. Ya, dia mana mungkin berada di tengah arena pertarungan antar distrik dimana banyak sekali penonton. Mereka bersepuluh berjalan hingga tengah arena. Sesuai perintah, mereka harus tetap disana sebelum denting peperangan berbunyi. “KALAHKAN MEREKA, TUANKU DEVEREUX!” teriakan kompak dari penghuni distrik 210 yang memenuhi podium selatan. Jumlah mereka tak sampai seratus, tapi penampilan liar mereka paling menarik perhatian. Dari mulai tubuh, mereka semua berotot dan dipamerkan dengan hanya memakai celana pendek dari kulit binatang. Wajah mereka dicoreng tinta putih— demi mengesankan aura liar mereka. Sedangkan wanitanya sudah seperti penghuni hutan sejak lahir, penuh tindik dan kunciran rambut. Penonton distrik 222 hanya diwakili oleh Thana, dia diapit oleh penduduk dari distrik lain yang untungnya tak terlalu berisik. Meskipun demikian, dia tetap bersorak, “Firio! Menangkan Theresa!” Firio memalingkan wajah, ingin mengubur diri di dalam pasir. Bukan malu, melainkan muak menatap orang-orang gila yang akan menontonnya membantai orang. “Mungkin kalian sudah sangat mengenali wajah-wajah mereka, bukan? Mereka yang paling terkenal di distrik luar dinding— perkenalkan sepuluh pemimpin ini!” kata Abelard menuding mereka semua. Demi pertunjukan, para peserta menyambut sorakan penonton dengan riang, kecuali Firio dan sang pria dari distrik kanibal. “Padahal mau sekarat, banyak bicara,” gerutu Firio menatap lawan-lawannya yang memasang wajah sombong. “Kepala distrik 202, Tuan Roderick Rude, sang pemimpin jahat kita!” kata Abelard dengan lantang. Peserta yang bernama itu pun maju dan menyambut para penonton. Sosok pria bertubuh jangkung dengan s*****a belati panjang. “Akan kubantai para b******n ini untuk kalian!” teriaknya menatap lawannya. Hiruk pikuk kembali terdengar. Abelard melanjutkan, “dan kalian pasti kenal, pimpinan distrik 205, Tuan Cassander Cephas, si tangan besi!” Peserta itu melakukan hal yang sama dan ucapan yang hampir sama. “Tuan Vane Cadwallader, tuan tampan kita dari distrik 209 yang selalu terkenal selama ini —” kata Abelard dengan nada jenaka, yang jelas disambut jeritan histeris para wanita sekaligus. Pria yang dipanggil itu memang memiliki wajah rupawan, bermata biru cerah dan berambut pirang gelap. Tidak pantas jika menjadi pemimpin distrik liar, tapi itu dipatahkan oleh senyum liciknya yang sangat terkenal— mematikan. “Senyumannya melelehkan hati nurani kalian, bukan?” canda Abelard setelah melihat pria itu tersenyum. Gelak tawa terdengar bersamaan dari podium penonton. Hanya Thana yang tampak serius, tak terpengaruh apapun kecuali menatap balkon Theresa. Abelard terus mengenalkan para gladiatornya. “Dan Tuan favorit kita selama bertahun-tahun, pemenang kita sepuluh kali berturut-turut, raja barbar kita, Tuan Devereux Dugo, dari distrik 210.” Sorak paling meriah terdengar. “Pemimpin distrik 213 pun tak kalah ganas, Tuan Amias Albion, kita semua tahu dia berbahaya kalau memegang cambuk, bukan?” lanjut Abelard dengan intonasi yang menggoda para penonton wanita. Dia mengalihkan pandangan ke sosok kanibal di arena pertarungan.  “Dan para penonton, kalian mungkin takkan percaya, tapi pria yang memakai tengkorak manusia sebagai pelindung kepala itu benar-benar dari distrik terlarang kita, distrik 215— Tuan Villard Barnabas, bahkan mungkin kalian baru tahu wajahnya, bukan?” Keheningan terjadi selama beberapa detik, bahkan Thana ikut memicingkan pandangan kepada sosok itu. Selama ini di distriknya, hanya Firio yang pernah menatapnya langsung. Kesan pertama yang dia lihat adalah— pria itu tak seperti bayangannya yang penuh otot, gigi lancip, berwajah kejam dan kotor. Ya, pria kanibal itu seperti pria biasa yang bisa dibilang wajahnya — enak dipandang. Thana menepuk pipinya. Keriuhan kembali terjadi saat pria itu berkata, “mati kalian.” Itu adalah kata pertama yang mengintimidasi mereka semua, tapi sekaligus mengundang rasa penasaran. Apa yang akan dilakukan pria unik itu dengan dua pisaunya? Memang, dia memakai s*****a yang sama dengan Firio. “Kita jangan membahas distriknya ya— mereka tak bersahabat, bahkan kami tak menjual tiket pada mereka demi keamanan,” kata Abelard tertawa sendiri. Theresa semakin sedih, saingan Firio makin berat. Kening dan tangannya mulai berkeringat. Udara dingin tak bisa menepis butiran air keringat itu. Dia bukan berpikir bagaimana kalau Firio kalah, melainkan bagaimana kalau Firio terluka? Ia mengutuk diri sendiri, kalau saja dia punya tubuh yang sedikit terlatih, pastinya bisa melawan para penculik itu. Situasi mengerikan ini takkan terjadi. “Dan distrik 217, Tuan Rei sang samurai, bisakah kita memakai sebutan jaman prasejarah itu?” goda Abelard saat memperkenalkan pria berwajah Asia dengan rambut hitam, sehitam pupil matanya. Rei, pria itu, jelas berasal dari nenek moyang rakyat Asia. Dia menyunggingkan senyuman lebar, terlihat kejam, entah berapa banyak orang yang tertebas pedang yang ia bawa. “Selanjutnya Tuan dari distrik 218, Tuan Pharoah Dryden, si pembantai massal kita— dia terkenal tak kenal ampun, sebaiknya kalian menjauh dari kapaknya—” lanjut Abelard mengedipkan mata pada para penonton. Sosok Pharoah Dryden cukup berbahaya, hanya menatap matanya saja— sudah tampak banyak darah yang telah dia tumpahkan. “Tuan Almeric Rocky, pemimpin distrik 219, si selebritis kita juga ini— pemegang sabuk emas arena tinju King's Boxing, sebaiknya kalian melihat penampilannya minggu ini di ring tinju kami,” kata Abelard melihat pria bertubuh besar dengan kedua tangan telah terlapisi sarung tinju besi. Saat pria yang mungkin hampir menyentuh usia empat puluh itu mengangkat kedua tangan, teriakan penonton terjadi. Abelard mulai serius saat memperhatikan peserta terakhir. “Baiklah, penantang terakhir— kalian juga takkan percaya melihatnya disini, selain pemimpin distrik kanibal, disini juga ada sosok yang mengejutkan— perkenalkan semuanya Tuan misterius kita, ya— pria yang berpenutup kepala serigala putih itu— oh iya, Nona-nona, dia sangat tampan, bukan?” Semuanya hening, memperhatikan orang yang dimaksud. Firio terpaksa maju, tapi tak berniat melakukan apapun— dia masih ingin menyelam di bawah pasir. “Aku seperti anggota sirkus,” gumamnya pelan sekali. Di podium penonton, Thana mendengar  orang-orang di belakangnya mulai bercakap-cakap. Semuanya mencurigai kalau Firio adalah pemimpin distrik para penculik itu sendiri. “Siapa yang peduli, dia tampan, aku ingin dia menang,” ucap seorang wanita. Teman di sebelahnya menyahut, “kelihatannya dia kuat, tapi aku tadi sudah mengeluarkan semua uangku  untuk taruhan Devereux yang menang.” Abelard meneruskan, “dia adalah pemimpin distrik yang terkenal buas— tak tersentuh dan menjaga wilayahnya, siapapun yang masuk tanpa ijin kesana, bisa dipastikan takkan keluar lagi. Ya, ya, itu sarang binatang buas, apa kalian sudah bisa menebaknya?” Semua orang syok, dibandingkan rumor distrik kanibal, distrik buas adalah yang paling menarik dibicarakan. Semua warganya tak pernah terlihat oleh mata siapapun, kalaupun ada yang menyusup, pasti takkan pernah keluar hidup-hidup. Setiap orang di distrik 222 memang bagaikan bibatang yang muncul di balik kabut, menarik mangsa— lalu hilang. Bahkan saat melakukan transaksi penjualan hasil tambang, mereka tak pernah mau menunjukkan diri. Ada uang, maka barang tersedia di tempat tujuan. Theresa sendiri tertegun, memang benar— itu benar, kalau saja bukan karena Aisla, dia pasti sudah jadi makanan anjing. Dia baru sadar, ternyata reaksi orang-orang di podium ketakutan sekaligus penasaran. Bahkan dua orang tamu dari dalam dinding. Findlay dan Messalina, mereka langsung melongok demi mendapat pemandangan bagus, mereka tak menyangka melihat pemimpin distrik 222 secara langsung. “Benar, distrik 222, Tuan serigala buas kita, Tuan Porfirio Wolfman, kalian pasti baru tahu sosok bernama ini, bukan? Ya, aku juga baru tahu kalau kepala distrik kaya hasil tambang ini seorang pemuda tampan.” Abelard mengumumkan itu dengan keras. “Dia datang sendiri demi mendapatkan hadiahnya— pemandangan langka, bukan? Dia mau keluar wilayahnya!” Teriakan histeris menggelegar kembali, makhluk buas yang selama ini selalu menjadi misteri muncul dengan sendirinya. Jeritan wanita di belakang Thana tak kalah keras. “Ya, ya, kita sudah perkenalan dengan semua orang disini— mari kita mulai saja battle royal kita, hingga semuanya tumbang dan menyisakan lima orang,” kata Abelard kemudian. Ia juga menjelaskan, “jadi, Tuan-tuan sekalian, tidak aturan untuk kalian— silakan lakukan apapun, hingga satu jam pertandingan, dan kita lihat berapa yang bertahan untuk ke final. Seperti yang sudah kalian baca saat pendaftaran, jika kalian terbunuh, maka itu bukan urusan kami. Satu hal lagi, kalian diperbolehkan menyerah, dan lari masuk pintu khusus gladiator lagi— itupun jika lawan kalian menginjinkan, dengan kata lain— tak jalan keluar selain menang atau tumbang di arena.” Tak ada yang merespon. “Baiklah.” Abelard teesenyum. Denting peperangan pun berbunyi, dan mata-mata buas ke sepuluh makhluk buas ini saling memandang. Perang dimulai. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD