15| Scientist I My Theresa

1359 Words
Theresa sangat ingin menjerit sekencang yang ia bisa. Pemandangan di depan jauh lebih buruk ketimbang unjuk rasa anarkis. Tirai teater p*********n akan segera dibuka. Wanita ini berada dalam sangkar besi di area utara, tepatnya di dalam balkon bundar lengkap dengan pagar batuan pelindung jikalau ada serangan. Di balik pagar itu merupakan pemandangan arena yangterbaik. Ya, Theresa bahkan mampu melihat pasir di atas arenanya. Di deretan kursi yang ada di samping kanan balkon itu diperuntukkan bagi orang kaya penghuni dinding. Dan— hari ini koloseum kedatangan dua orang penghuni dinding yang bergelar bangsawan dari dinding Adam. Pria dan wanita. Mereka memakai seragam hitam ala militer, dan terlihat tangguh sekaligus antusias, terutama saat melihat sosok asing di kurungan. “Darimana mereka dapat wanita itu?” tanya si wanita muda mendongak ke arah balkon, ke kurungan besi Theresa. Teman prianya, pria yang hendak menyentuh usia empat puluh berambut pirang, malah tertarik dengan tubuh Theresa. Dia mendehem. “Kalau saja aku tak telat kemarin, aku ingin membelinya saja saat di rumah lelang— sayang sekali, dia sudah dibeli pihak koloseum.” “Astaga, Findlay. Bukannya kau sudah punya banyak istri? Mau lagi? ” “Aku mudah bosan, Messalina.” “Tapi sebaiknya jangan menyimpan banyak b***k wanita di mansionmu, karena itu melanggar kebijakan Neo.” “Tapi kalau wanita itu yang jadi istriku, aku rela membuang semuanya.” “Kejam seperti biasa, hatiku sakit sebagai wanita—” kata wanita bernama Messalina itu malah menahan tawa. “Kau harusnya baik pada mereka.” “Aku baik, mereka kubelikan segalanya, apa kurangnya mansion-ku?” tanya balik Findlay masih memperhatikan Theresa. “Kurasa aku ingin terjun ke tengah lapangan demi memiliki yang satu ini.” “Kupastikan kau tidak akan bertahan sepuluh detik disana. Para binatang liar itu akan kompak membunuh orang dalam dinding.” Mereka tertawa terbahak-bahak, suaranya terlalu keras hingga menyakiti telinga Theresa. Wanita ini meringkuk di sudut kurungan itu sambil memeluk lutut, tidak tahu lagi apa yang sebenarnya dipikirkan orang-orang. Bagaimana bisa kaum liar luar dinding bersorak gembira, lalu orang dalam dinding ini juga antusias melihat semua ini. Kini dia tak dapat membedakan mana yang benar ataupun salah. Ternyata memang benar, di luar dinding, tak ada hukum— bahkan penghuni dinding Adam yang memperhagikannya saja tampak bringas juga. Mengapa tidak ada yang manusiawi disini? Tak lama kemudian, ada satu pria gemuk berjubah romawi kuno muncul ke podium itu dengan membawa sebuah microphone tanpa kabel. “Kemarilah, Tuan-tuan, silakan mengintip lebih dekat, piala hari ini,” katanya menuding Theresa. Di belakangnya berjalan pula ke sepuluh gladiator, benar— mereka diperbolehkan melihat hadiahnya, demi meningkatkan semangat juang. Tak main-main, penampilan mereka kini sangat mengerikan di mata Theresa. Satu-satunya orang yang ia pandangan hanya sosok pria bermantel hitam berbulu dan beraksesoris kepala serigala putih. Firio. Sebagian rambutnya telah diikat ke belakang, sehingga wajah jantan itu lebih tampak. Karena ini adalah pertarungan jarak dekat, dia membawa dua pisau di tangan. Berbeda dirinya, pemimpin distrik lain memilih s*****a yang jauh lebih besar, seperti kapak oleh distrik kanibal 215, tongkat besi berduri oleh distrik barbar 210, cambuk baja, tombak khusus, bahkan pedang. Mereka semua berkerumun mengintari sangkar Theresa. “Lihatlah, oh, calon istriku— kau lebih cantik dari yang terlihat di siaran itu,” kata Devereux seraya mengoyak jeruji kurungan itu. Dia menyeringai lebar melihat reaksi takut Theresa. “Ada ranjang yang harus kita coba, Sayang.” Theresa menahan napas, sangat ketakutan. Itu adalah kalimat terburuk yang pernah ia dengar. Bahkan berandalan di sekitar rumahnya saja tak sampai seperti ini. Firio menahan diri, tetap diam. Pria dari distrik kanibal 215 hanya tersenyum tipis pada Theresa, entah apa yang dia pikirkan. Dari tadi dia yang paling diam. Tatapan matanya tak mengisyaratkan kalau sedang lapar, melainkan hasrat ingin memiliki. Firio berharap bisa menebas lehernya saat itu juga, tapi ia kembali melirik leher Theresa. Tidak ada pilihan, ia harus diam. Pemimpin distrik lain satu per satu mengoyak jeruji itu, memperlihatkan wajah bringas mereka yang tak sabar melakukan sesuatu pada Theresa. Setiap mata memancarkan keinginan sendiri. Intinya mereka sepakat harus memenangkan pertandingan hari ini. Mereka bersahut-sahutan: “Ah dia mulus sekali, lihatlah kulitnya—” “Aku akan menjadikannya pajangan di atas meja kamarku nanti.” “Siapa namamu, Cantik?” “Aku akan menikahinya dan mendapatkan keturunan berambut merah.” “Dia luar biasa—” “Ya, aku tak pernah melihat yang seperti ini— dia seperti bukan dari ras manapun.” “Matanya bening dan indah.” “Aku ingin menyentuhnya.” Pria berpakaian ala Romawi kuno itu kemudian mengusir mereka. “Tuan-tuan, sudah cukup, jangan biarkan air liur kalian menetes disini— mari kita ke bawah,” katanya sambil mengantarkan mereka ke pintu arena pertandingan. Satu per satu gladiator pun menjauh. Mereka tertawa-tawa puas, semangat makin membara. Theresa langsung mencengkram jeruji. “Firio, aku sangat bahagia kau ada disini.” Hanya Firio yang tersisa di depan kurungannya. “Nona, kau lagi-lagi menyusahkanku dan aku juga tidak tahu kenapa kesini.” “Aku tahu kau pasti datang. Sekarang aku tahu kenapa menikahimu, kau pria sejati.” “Apa saking takutnya, kau jadi penjilat begini?” sindir Firio ingin tertawa. “Aku serius, aku tidak menyangka kau datang, aku sangat takut.” Firio mendekat seraya menyentuh tangan Theresa yang ada di kurungan itu. “Jangan merengek begini, Theresa-ku tidak suka merengek.” “Tapi aku bukan Theresa-mu.” “Kau akan jadi Theresa-ku setelah ini.” “Terserah, yang penting sekarang aku— aku takut, berjanjilah kau akan mengeluarkanku.” “Ya, tenang, aku pasti menang dan mengeluarkanmu dari jeruji ini.” Terjadi keheningan sesaat. Firio berlutut agar bisa bertatap muka lebih baik dengan wanita ini. Dia masih memegangi telapak tangannya. Tangan Theresa balik mengenggam telapak tangan Firio, erat sekali— seolah takut berpisah. Ia berbisik, “tapi, Firio, mereka kelihatan berbahaya, jangan biarkan aku dimiliki pria berjanggut itu, kumohon.” “Aku tahu, kau rileks saja.” “Bagaimana aku bisa rileks, para pria barbar tadi mengerumuniku seolah aku ini sepotong daging di atas meja makan! Mereka tidak waras, Firio— mereka gangguan jiwa, aku tidak mau berakhir dengan mereka.” Firio tersenyum manis, lalu berkata pelan, “kalau begitu, berikan aku motivasi, agar aku tetap bangkit dan memperjuangkanmu nanti— kau tahu, motivasi, biaya pendaftaran ini sangat mahal, dan seharusnya aku tak perlu ikut ini— karena tak ada untungnya, tapi lihat aku datang— untukmu.” Entah mengapa ucapan itu membuat Theresa merinding. Untuk ke sekian kalinya, sisi lembut Firio membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Saat bertukar pandangan dengan pria ini, seketika itu pula keresahannya lenyap. Dia pun berkata, “aku akan melakukan apapun jika kau berhasil memenangkan ini, aku akan memasakkan daging panggang untukmu dan para kawananmu tanpa kau suruh, dan bersumpah takkan mengeluh lagi, aku mohon.” “Apapun?” Firio menyeringai. Theresa mengingatkan, “apapun, asalkan jangan ada kata ranjang di sana.” “Baiklah, apapun, baik, akan kumenangkan dirimu— dan akan kukatakan rencanaku setelahnya.” “Oke, apapun yang kau inginkan kecuali itu tadi— aku akan mengabdi padamu sampai bisa pulang, bahkan aku akan memanggilmu Tuan.” “Tidak perlu, nanti saja kalau aku berhasil mengeluarkanmu dari sini— kita bicara bisnis.” “Oke, kau harus menang. HARUS.” “Awas saja kau melanggar ucapanmu kali ini— aku akan memotongmu jadi sepuluh, dan kubagikan dengan jumlah gladiator yang memperebutkanmu sekarang.” “Berhentilah mengancamku di saat aku sudah terjepit seperti ini, kau tidak khawatir padaku?” “Sampai nanti.” Firio pun melepaskan tangan Theresa, kemudian berdiri kembali. “ Jangan takut, kau Theresa-ku, jadi tidak akan kubiarkan siapapun menyentuh milikku.” Dia berjalan menjauh. “Firio—” panggil Theresa pelan. Firio tidak menoleh, hanya menghentikan langkah kakinya. Theresa memberikan senyuman tulus seraya memuji, “kau gagah luar biasa.” Tidak ada jawaban dari Firio. Dia kembali berjalan dengan bibir ikut tersenyum. Kalahkan mereka untukku, lanjut Theresa dalam hati. Memang benar, ternyata keresahannya terobati oleh ucapan manis Firio barusan— kenapa bisa begini? Ia merasa seperti disiram air dingin setelah terlalu lama dijemur di bawah terik mentari. Hatinya lega karena ia percaya akan selamat. Tapi kenapa ada rasa lain? Seperti ada yang merekah dalam d**a? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD