14| Scientist I To The Colloseum

1438 Words
"Wanita cantik berambut merah, hadiah untuk The Great Colloseum King yang ke- 322 nanti. Pendaftaran dibuka hingga jam 5 A.M." Begitulah pengumuman yang tersebar melalui siaran langsung di TVpro, semacam televisi era ini. Setiap sebulan sekali, mereka mempromosikan pertandingan di koloseum beserta hadiahnya. Semakin tahun, arena berdarah itu makin ramai, tak sedikit penghuni dinding mampir kesana. Tempat itu area netral, jika tidak ingin mati di tempat, maka toleransi harus ada di setiap orang. Pagi ini koloseum ramai karena hadiahnya adalah tangkapan besar. Sosok wanita cantik yang wajahnya kelihatan cantik alami dan jarang ditemui. Tentu saja, bagaimana pun Theresa nenek buyut mereka. Struktur wajahnya tak ada yang menyamai di jaman ini. Dia istimewa, dan mereka tahu itu. "Sial." Hanya itu komentar Firio. Semalaman ia menunggangi Kye menuju perbukitan Red Orchid, sekitar distrik 213. Dia ditemani Thana yang menunggangi Kade, lalu seorang pria berotot berusia tiga puluh tahunan tengah menunggang serigala besar berbulu hitam. Sepanjang perjalanan mereka selalu didampingi lima serigala hitam dari kawanan Firio. Wilayah netral ini berada di tanah perbukitan. Di tengah area itu berdiri sebuah bangunan koloseum yang arsitekturnya masih sama dari bentuk colloseum di Roma, Italia. Bahkan bisa dibilang bangunan ini memang dibangun sama persis dengan jaman prasejarah itu. Sebagaimana bangunan di Roma, koloseum yang ini juga merupakan bangunan bulat dengan banyak lubang mirip jendela. Bentuk bulat tersebut bukan tanpa alasan, itu untuk mencegah para pemain untuk kabur ke arah sudut serta menahan penonton mendekati pertunjukan. Bangunan ini besar nan luas dengan tinggi 48 m, panjang 188 m, lebar 156 m dan luas seluruh bangunan sekitar 2.5 ha. Lantai arena terbuat dari kayu berukuran 86 m x 54 m, dan tertutup oleh pasir. Kegunaan pasir sendiri untuk mencegah agar darah tidak mengalir ke mana-mana. Hiruk pikuk penonton sudah terdengar membahana. Suara liar khas para warga luar dinding. Mereka menantikan pertandingan dimulai. Saat Firio dan kawanannya sampai, beberapa orang distrik lain terlihat mulai memadati pintu masuk. Mereka menyerahkan semacam tiket kepada pria-pria bertopeng hitam layaknya sedang mengantri masuk sirkus. "Sudah mau mulai, kita beruntung rak ketinggalan," kata Firio berjalan ke arah pintu masuk berlawanan, itu merupakan jalur khusus untuk para calon gladiator. "Maafkan aku, aku sungguh tidak awas," kata Thana menundukkan kepala penuh penyesalan kala berjalan di belakangnya. "Ini bukan salahmu, memang Theresa saja yang tidak berguna," ucap Firio menoleh sekilas ke pria yang datang bersamanya, "oh iya Rollo, jangan ikuti aku, sebaiknya kau selamatkan anak-anak di pelelangan, aku akan mengurus ini." "Ini arena mematikan, bukan maksudku meremehkanmu, tapi lebih baik aku saja yang bertanding, kau duduk di podium," saran pria bernama Rollo itu, "kau pimpinan kami, aku tak bisa membiarkanmu tampil di acara sirkus begini, apalagi kau tahu-distrik 210 sangat memuakkan." "Jangan khawatir, ini masalahku, mereka menahan Theresa, dia istriku, jadi ini masalahku. Karena kita terlambat menyelamatkannya, terpaksa harus bermain." "Tapi Firio-" "Sudahlah." Firio menyelanya. "Cepat pergi saja, biar aku dan Thana yang disini, bawa semua serigalaku- mereka sangat berguna." "Baiklah." Rollo patuh, dia berbalik, menghampiri kawanan serigala yang sengaja berdiam diri di bawah pohon. Thana agak menahan tawa mendengar kata istri keluar dari bibir Firio. "Apa?" sergah Firio murka, sadar sedang digoda. "Aku selalu lupa- karena dia tetap Theresa, istriku." "Ya, apapun maumu." "Cukup, kau pergilah ke podium penonton, biar aku sendiri yang masuk," perintah Firio melirik serius Thana. "Jangan tertawa, awasi saja keadaan, terutama Theresa." Thana mengangguk tanpa bicara apapun lagi. Dia pergi ke sisi pintu masuk penonton tadi. Firio masuk ke pintu khusus gladiator, dan langsung disambut oleh seorang pria bertubuh besar, kuat, berpakaian serba hitam lengkap dengan topengnya. Pria itu membawa kapak kecil sebagai s*****a keamanan. Matanya menelusuri fisik Firio, lalu seringai di bibirnya pun mengembang, sadar siapa orang yang datang. "Wah, wah, pimpinan distrik 222 mau keluar wilayahnya- ini pasti berita baik," katanya. "Aku menunggumu dari tadi, Tuan Serigala, peserta terakhir yang datang." Firio dengan tegas menyatakan, "Porfirio Wolfman, distrik 222, kode verifikasi 0022209, aku sudah mentransfer biaya pendaftarannya, jadi aku ikut pertandingan s****n ini." "Tentu. Kau pasti juga tertarik dengan hadiahnya ya- aku tak menyangka saluran TV kami menyebar cepat, wanita itu membuat tiket masuk kami terjual habis." "Cepat antarkan saja aku ke ruang tunggu, dan jangan banyak bicara." "Baiklah, Tuan Serigala, mari ikuti aku," kata si pria asing lantas berjalan mendahului menuju lorong ke ruang para gladiator. "Kalian menculik istriku, aku akan membantai kalian setelah ini-" ancam Firio berjalan di belakang pria itu menatap tajam punggungnya, berniat menikamnya ratusan kali. Ya, pria bertopeng hitam alias penculik ini sudah sering menganggu wilayahnya. Sekalipun anggotanya banyak terbunuh di tangan kaumnya, tapi kelompok ini seperti tikus yang tak bisa berhenti menganggu wilayah orang. Kalau tidak karena terpaksa, Firio sudah memenggal setiap kepala yang ada di tempat ini. "Istri? Maksudmu hadiah hari ini?" tanya pria bertopeng itu menoleh sekilas pada Firio, "dia berambut merah, cantik sekali- memang banyak yang merebutkannya untuk dijadikan istri." "Oh-" Firio sungguh tak dapat mengendalikan jiwa buasnya lagi. Pria bertopeng itu paham, lalu memperingatkan. "Siapapun yang sudah masuk rumah lelang akan diberi kalung listrik, kau pasti menyesal jika membuat ulah di luar arena." Sadar Theresa yang diancam, Firio urung mengambil pisau di sabuknya. Perasaannya tenang kembali- membayangkan membantai apa yang akan dia lakukan kepda seluruh orang disini setelah menggenggam sang "istri" kembali. Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah ruangan, lalu membuka pintu kayunya dengan cepat. Terlihatlah ruang luas terisi sepuluh pria tangguh yang jelas siapa mereka, para pemimpin antar distrik luar dinding. Mereka semua terlihat duduk santai, sebagian lagi sedang menengok ke luar jendela kecil dimana terhubung langsung ke arena pertandingan. Mereka sudah memakai pakaian yang mewakili sifat distrik mereka, dari mulai ala militer, zirah tipis seperti jaman kerajaan, dan yang paling mencolok adalah pria dari distrik 210 dan 215. Firio tak menyangka pemimpin distrik kanibal bisa hadir juga disini. Pemimpin distrik 210 merupakan pria awal tiga puluh tahun yang tubuhnya berotot luar biasa, berambut pirang terang, berjanggut tipis terkesan seram, serta pandangan mata k**i. Dia bertelanjang d**a, hanya memakai celana pendek yang terbuat dari bulu binatang. Sebutan kaum barbar memang cocok untuknya, garang dan bringas. Sedangkan pemimpin distrik kanibal 215 adalah pria yang lebih muda, seusia Firio. Dia memiliki tubuh tak begitu atletis yang terselimut pakaian dari kulit binatang, kepalanya terpasang aksesoris yang terbuat dari tengkorak manusia. Kulit tubuhnya tampak kecoklatan, pupil matanya berwarna biru yang begitu dingin, sedangkan rambutnya hitam legam. Dia seperti pencampuran keturunan Asia dan keturunan Eropa. "Bagus, sekarang kita punya tiga andalan," bisik pria bertopeng tadi yang langsung mempersilakan Firio masuk. "Silakan, dan pilihlah kostum yang cocok untukmu, Tuan distrik 222." Begitu Firio masuk, pintunya ditutup. Ada lima pria lain yang menjadi panitia pendamping para gladiator disini. Semuanya punya penampilan yang sama, bermantel hitam serta bertopeng warna senada. Semuanya sibuk merapikan barang di peti-peti yang berisi kostum serta s*****a tajam. Salah seorang dari mereka mengeluarkan topi dari kepala serigala putih yang diawetkan. Dia menyodorkannya pada Firio, serta berkata, "kurasa- ini paling cocok untukmu, Tuan Serigala distrik 222." Firio menerima aksesoris itu, lalu memakainya. "Aku akan membantai kalian-" Dia melirik satu per satu calon musuhnya di ruangan ini. "Aku tak percaya distrik binatang itu mau keluar dari wilayahnya," ucap pemimpin distrik 210 maju selangkah ke arah Firio. Petugas yang berjaga mengingatkan, "Tuan Devereux, sebaiknya anda tidak memicu peperangan disini." "Tidak, tidak ada masalah, aku selalu menganggap distrik 222 sebagai saudara," kata pria barbar bernama Devereux itu. Dia menyunggingkan seringai licik, penuh kesombongan. Firio ikut menyeringai. "Kau takkan bisa mendapatkan maumu. Dia milikku dan aku akan mengeluarkannya dari tempat biadab ini." Devereux paham. "Oh, jadi ini juga alasanmu keluar dari wilayah?" Dia tertawa sambil melirik ke arah pemimpin distrik kanibal. "Kalian bukan ingin bersenang-senang saja, tapi juga mengincar hadiah itu- pantas saja selama ini tak pernah muncul di koloseum, dan kemudian mendadak ikut setelah tahu foto gadis berambut merah yang tersebar." Keheningan terjadi cukup lama, haus darah menebar kemana-mana, permusuhan ditujukan satu sama lain, sepuluh orang disini punya sisi bengis masing-masing, dan semuanya berusaha mengincar piala itu. Petugas tadi mengingatkan kembali, "kalian bisa bertanding di arena nanti, percuma jika kalian bertanding disini, kalian akan didiskualifikasi dan wanita itu akan dieksekusi. Ingat, dia memakai kalung leher listrik, di sini pihak koloseum yang berkuasa, kalian harus patuh aturan, Tuan-tuan sekalian." "Sekarang pasangkan gelang s****n itu- dan suruh mulai pertandingannya," perintah Firio menunjukkan pergelangan tangannya. Satu per satu petugas ini pun memasangkan gelang hitam polos seperti dari logam ke tangan ke sepuluh pemimpin distrik ini. "Kalian akan bertanding setelah ini, tunggu sampai pintu koloseum di tutup, jadi bersiaplah." Seorang petugas memberitahu mereka seraya menuding ke peti perkakas. "Dan- silakan mengambil benda-benda tajam sebagai perlindungan nanti, bebas." Tidak ada jawaban, tidak ada yang peduli juga. Mata para peserta ini hanya memancarkan kebencian satu sama lain. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD