13| Scientist I Bad Situation

1391 Words
Tiba-tiba berada di lokasi asing sudah tak mengejutkan lagi bagi Theresa. Dia bangun di dalam sebuah kurungan besi membentuk sangkar burung raksasa. Bukan hanya dirinya yang ada disana, melainkan belasan orang lain dengan berbagai ras. Wanita muda, dan sebagian lagi adalah anak-anak yang punya fisik unik, salah satunya berkulit kecoklatan dengan gigi taring dari distrik 222. Anak-anak itu berada di kurungan besi lain. Firio akan membantai orang yang melakukan ini, pikir Theresa. Mereka semua ada di dalam satu ruangan tanpa jendela dengan langit-langit tinggi. Temboknya dari batuan hitam kokoh yang jelas tak mungkin dirobohkan dengan mudah. Udara begitu pengap, berbau busuk  walau tak sebusuk bangkai buruan Firio. Penerangannya agak buram, hanya dari satu lampu kuning di sana. “Dimana ini?” tanya Theresa memperhatikan para tawanan lain. Semuanya berwajah kusut nan muram, tangan mereka pun dirantai. “Hello?” Theresa ingin menarik perhatian, tapi tak ada yang merespon. Mereka malah menyembunyikan wajah, lalu menangis, memanggil ibu mereka. Tak bisa apa-apa, menunggu giliran diambil. Theresa masih ingin menanyakan banyak hal. “Ada apa ini? Dimana kita? Apa ini penjualan manusia? Yang benar saja— hei dengarkan aku—” Hingga kemudian ada yang berbisik di belakangnya. Seorang wanita muda sepertinya, cantik sekali, berambut hitam lurus sepunggung dengan poni tebal menutupi kening. Dia memiliki tubuh ramping berkulit seputih salju. Secara fisik wanita ini mirip keturunan Asia. Seperti Theresa, dia juga terkurung di sangkar besi. Mereka layaknya buruan istimewa, yang jelas akan diperuntukkan untuk kegiatan yang istimewa. “Ini pelelangan,” bisiknya takut, “tapi kita berdua kemungkinan adalah hadiah di koloseum. Buktinya kita ada di sangkar ini, aku mendengar rumornya— wanita yang di sangkar itu hadiah.” “Koloseum? Tolong katakan itu bukan arena tanding orang barbar.” “Iya, itu arena tanding, biasanya wanita seperti kita dijadikan hadiah pemenangnya—” Wanita itu mulai menjambak rambutnya, frustasi, tak sanggup membayangkan apapun. “Kiamat, ini kiamat, pemenang koloseum itu selalu pimpinan distrik 210, aku tidak mau ke distrik itu— tidak—” Theresa mengira distrik paling berbahaya selain 222 adalah 215, dimana para kanibal berada. Namun siapa penghuni distrik 210 ini? “Sebenarnya ini ada dimana? Ini distrik mana?” tanyanya sedikit mengedarkan pandangan. “Pelelangan.” “Maksudku, areanya, ini distrik mana?” “Bagaimana mungkin kau tidak tahu? Kau wanita dari dalam dinding'kan?” tanya wanita itu memperhatikan wujud fisik Theresa yang terawat, bersih dan cantik. “Kau harusnya tahu ini area netral dekat koloseum, di sekitar distrik 213, perbukitan Red Orchid.” “Apakah jauh dari distrik 222? Aku berasal dari sana— maksudku—” “Distrik buas itu? Tentu saja jauh. Kenapa kau berkata dari sana? Kau jelas bukan orang buas.” “Kisahnya panjang, tidak adakah cara lain agar kita melarikan diri?” “Kalau bisa, sudah kubengkokkan jeruji ini dari tadi—” kata si wanita mencengkram erat jeruji besi kurungannya. “Tidak ada kalau mengandalkan kekuatan fisik.” “Baiklah—” Theresa menghela napas panjang, berusaha tenang. Setelah jeda, dia merangkum kejadian yang menimpanya, “aku diculik, dan sedang ada di tempat yang jauh disebut pelelangan, dan ada koloseum yang pastinya adalah tempat p*********n para gladiator dimana kita kemungkinan jadi piala—” “Benar.” “Lantas sebenarnya distrik 210 itu apa? Siapa mereka? Siapa pemimpinnya? Apakah lebih bahaya ketimbang distrik 215? Jangan salah, aku— aku tak banyak keluar dinding—” Ia mencoba beralasan semasuk akal mungkin. “Distrik kanibal 215 memang berbahaya, mereka tak bisa dibandingkan dengan manapun, tapi distrik 210 itu kaum barbar,jika kau sudah terbiasa dengan kaum buas di distrik 222, maka mereka seperti satu pemikiran— hanya saja, menurut rumor pemimpin distrik 210 itu mengerikan, dia— kau tahu—” Wanita itu agak kesulitan mengatakannya dengan jelas, ragu, jijik sekaligus takut bukan main. Dia mencondongkan wajah kepada Theresa, lalu melanjutkan, “dia p*******a, itulah kenapa— hadiah koloseum selalu wanita yang cantiknya— tidak umum, seperti kita, aku ingin bunuh diri saja.” Theresa lemas, ingin muntah, tak biaa membayangkan apa yang akan terjadi jika Firio benar-benar tak peduli. Bagaimana jika dia memang tidak peduli? Memang ada untung menolongnya? Malahan akan membuat pertikaian antar distrik. Firio sangat peduli dengan kaumnya, pasti akan meninggalkannya— tidak mungkin akan mengacau disini. “Kau tak apa-apa?” tanya wanita berambut hitam tadi. Dia tersenyum pedih seraya mengulurkan tangan. “Oh iya, namaku Ruby-Mae, dari distrik 101 dalam dinding Eve.” “Eh— aku Theresa, aku sebenarnya dari dinding Adam, distrik 54, hanya saja aku tinggal sementara di distrik 222, ada keperluan, mereka tak terlalu buas kalau ada kepentingan— kau tahu, semacam kerjasama batuan—” batuan apa yang dijual Firio dan orang-orangnya!, teriak Theresa dalam hati. Dia meneguk ludah, berharap ucapannya tak salah. Dia menjabat tangan lembut itu sejenak. “Batuan mereka.” “Batuan Mikah? Itu untuk pembuatan baterai beberapa teknologi project dari Ericent lab.” “Ericent?” “Apa? Kau tentu tahu itu laboratorium dinding Adam pemasok seri teknologi project, semacam CENCERICproject bukan? Tanpa alat itu, kita pasti tak bisa mendeteksi kalau wilayah kita dimasuki warga non distrik.” “Oh, tentu tahu, itu maksudku, aku dan kelompokku sedang menawar batuan tambang mereka, tapi berakhir disini.” “Oh—” Ruby-Mae agak ragu. “Aneh sekali, mereka paling anti menjual batuan itu ke penghuni dinding. Apa kau pekerja lab?” “Bukan, hanya untuk keperluan pribadi. Karena itulah mereka mau menjualnya pada kami—” Theresa mencari alasan seolah-olah dia itu Aisla dan kelompoknya yang berburu bahan baku ke luar dinding. “Begitu— oke,” Ruby-Mae paham. Dia melirik kanan-kiri, para korban penculikan sama sekali tak peduli dengan mereka, sebagian masih menangis. Setelah jeda beberapa detik, dia mulai berbisik, “dengar, Theresa, mungkin kita bisa keluar dari sini, saat pemenang koloseumnya sudah didapatkan—” Theresa merasa dadanya bertambah berat. Memang benar, tak mungkin bisa bertahan hidup di masa ini tanpa Firio. Akan tetapi pria buas itu tak ada kepentingan untuk menolongnya. Tidak mungkin— pasti dia akan dibiarkan menjadi piala untuk distrik lain. “Bagaimana ini—” ucapnya mulai memeluk kaki sendiri, takut, berniat kabur, tapi bagaimana? Ruby- Mae kembali berbisik, “kita akan dikeluarkan sebentar lagi, kita akan dipamerkan di koloseum, saat pemenang ditentukan— kita diserahkan, itu satu-satunya cara kabur.” “Dipamerkan?” “Ya, piala akan dipamerkan di area sepanjang pertandingan, itu sudah sewajarnya, bukan?” “Aku merasa kemungkinan itu kecil sekali, aku tak bisa membayangkan bentuk koloseumnya.” “Aku juga, Theresa, lebih baik mati ketimbang menjadi b***k ranjang pemimpin barbar itu, mengerikan.” “Apa ini benar-benar terjadi?” tanya Theresa menepuk kedua pipinya. “Aku seharusnya tidur di ranjang empuk rumahku di tahun 400 sebelum ini, Ya Tuhan— tolong berikan aku kesempatan lagi, maafkan aku— aku tidak ingin berada di dunia barbar ini.” Ruby-Mae keheranan dengan sikap aneh Theresa. Dia mengira wanita itu mulai gila karena ketakutan. Dan sebentar lagi, mungkin dirinya juga. “Aku harus bunuh diri—” gumamnya meremas lengan sendiri. Theresa bergidik. “Tapi mengenai—” Ucapan itu terhenti karena pintu ruangan itu dibuka. Suara derit keras menyakiti telinga siapapun. Harapan untuk bebas seolah terenggut dari setiap wajah para korban, termasuk Theresa dan Ruby-Mae. Keduanya adalah sasaran mata si pria asing bertopeng hitam. Sudah jelas, mereka yang hendak dibawa pertama kali. Sudah jelas, mereka sudah terjual ke koloseum. Mereka disiapkan sebagai hadiah untuk para pemenang hari ini. Pria itu mendekati sangkar besi Theresa, matanya dipenuhi gairah membara— tak pernah melihat sosok wanita bermata cerah, berkulit putih lembut, serta berambut kemerahan seperti itu, terlebih punya lekukan tubuh ideal.  “Hello, Sayang, hari ini kau saja yang akan menjadi piala,” bisiknya memperlihatkan deretan gigi kotor. Theresa spontan mundur, takut membayangkan apa yang akan terjadi padanya. “Tidak, lepaskan aku, kau tidak tahu siapa suamiku— suamiku dari distrik 222! Dia akan membunuhmu!” “Eh—” si pria menahan tawa mendengar bualan itu. Dia mengacuhkannya, sorot matanya teralih ke Ruby-Mae. “Dan kau— Nona cantik, kau sudah dibeli eksklusif oleh seseorang, jadi kau tak perlu dipamerkan di area koloseum.” Ruby-Mae menjerit dalam hati, panik bukan main, tak sanggup bernapas dengan tenang. Siapa yang membelinya? Bagaimana kalau dari distrik 210 atau 215? Bagaimana kalau penjahat? Apa yang akan dia lakukan sekarang— bagaimana caranya bunuh diri? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD