Suasana terasa canggung, padahal mereka bertiga adalah keluarga. Tidak ada yang membuka suara, hanya terdengar peralatan makan yang beradu di atas meja.
"Apa kau sudah memutuskan untuk kembali, Narayana?" Setelah sekian menit barulah Bramasta membuka suara bertanya pada sang putri berada di seberang meja.
Wanita yang dipanggil Nayarana itu menghentikan makan saat sang ayah bertanya mengenai keputusan yang diambil 6 tahun lalu.
Suasana menjadi hening seketika. Bahkan Wenda, Bunda Narayana hanya bisa memperhatikan anak dan suaminya tanpa membuka suara.
"Tidak, Yah."
"Kenapa tidak? Apa kau masih bertahan dengan keinginanmu itu, huh? Kau mau jadi apa jika tidak ingin mengurus bisnis keluarga, Narayana?" Suara Bramasta menggema di seluruh ruangan VIP restoran itu.
Wenda, sang mama tidak berani membuka suara saat suaminya mulai terbawa emosi.
"Nana, menjadi intern di salah satu rumah sakit. Ayah tidak perlu khawatir Nana tidak menjadi apa-apa. Tahun depan, Nana akan ke luar negeri mengambil studi profesi. Ayah tidak akan malu.”
Bramasta memegang tengkuknya yang begitu tegang. Ia tidak tahu, harus berbicara seperti apa lagi pada putrinya, agar meneruskan bisnis keluarga. Bramasta hanya khawatir dengan putrinya yang tetap pada pendiriannya, mungkin jika Narayana menjadi dokter kecantikan, ia akan setuju karena sangat menjanjikan tetapi putrinya malah ingin menjadi psikiater. Profesi yang sangat kurang di Indonesia khusus lapangan pekerjaannya.
"Astaga … Aku bisa cepat mati, padahal hanya punya satu anak tapi selalu membuat gula darahku naik," keluh Bramasta.
Wenda mendekat dan memijat tengkuk leher sang suami. Sudah hampir 7 tahun, terakhir putri dan suaminya masih memperdebatkan hal yang sama. Keduanya hanya memiliki kemiripan keras kepala saja.
Hanya Narayana harapan satu-satu mereka untuk meneruskan bisnis keluarga tetapi saat lulus, putrinya malah memilih menjadi seorang dokter. Bukan dokter biasa, tetapi memilih menjadi psikiater. Bagaimana tidak shock Bramasta dan Wenda mengetahui cita-cita putri mereka itu.
"Jika kau ingin jadi dokter seperti yang kau inginkan, Ayah tidak akan membiayai sepersen pun kuliah serta biaya hidupmu," ancam Bramasta empat tahun lalu, ia pikir dengan mengancam putrinya akan membuat Narayana menyerah tapi nyatanya salah.
Narayana keluar dari rumah, ia hidup mandiri dan bisa menyelesaikan kuliah kedokterannya. Bramasta tidak habis pikir putri yang dibesarkan dengan bergelimang harta itu, bisa hidup bahkan tanpa bantuannya sama sekali.
Membiaya kuliah sendiri, bahkan hidup sendiri di luar sana. Ancaman Bramasta sama sekali tidak mempengaruhi putrinya.
“Semua keluarga kita adalah pengusaha tapi kau malah memilih menjadi dokter,” keluh Bramasta disela-sela dirinya tengah menahan diri untuk tidak meledak-ledak.
Narayana melihat raut wajah sang ayah begitu lelah, kerutan di wajahnya pun sangat jelas terlihat. “Sebaiknya, Ayah memeriksakan diri ke dokter. Ayah cukup stress!”
“Ya, dan itu karena kau,” tegas Bramasta.
“Yah, sudah dong. Jangan berdebat lagi, nanti kepala Ayah makin sakit,” ucap Wenda memberikan saran. “Kau juga, Nara. Apa kau tidak bisa membantah perkataan ayahmu saat bertemu?”
Narayana terdiam, ia tidak bisa membantah wanita yang ada di hadapannya itu. “Maaf, Bun.”
“Bagaimana jika setelah menjadi dokter, kau mengolah perusahaan?” Bramasta seakan tidak rela putrinya menjadi dokter. “Kekayaan keluarga kita siapa yang akan mengolahnya jika kau menjadi dokter? Ayah tidak punya—”
“Ayah dan Bunda bisa membuat lagi.”
Bramasta berusaha untuk tidak emosi mendengar celetuk putrinya. “Narayana kau—”
Narayana memasang wajah manja, mengembungkan pipi, alhasil Bramasta tidak bisa memarahi sang putri yang tengah dengan mode seperti itu.
“Yah, Bun. Nana sama sekali tidak punya keahlian bidang bisnis. Bisa-bisa keluarga kita bangkrut, Nana hanya ingin menjadi psikiater,” jelas Narayana dengan panjang lebar. “Nana ingin ke toilet,” ucap Narayana, ia ingin kabur dari ayahnya yang mulai memperlihatkan amarahnya.
“Ke toilet tidak perlu membawa tas Nara. Kau jangan kabur saat ayah dan bundamu masih ingin bicara!” tegas Bramasta membuat Narayana meletakan kembali tasnya.
Beberapa menit kemudian Narayana kembali tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang pria. Pria itu cukup terburu-buru menabrak Narayana dan menangkapnya agar tidak terjatuh. Walaupun semenit kemudian, ia melepaskan Narayana membuatnya terjadi.
“Oufh. s**t,” umpat Narayana, ia ingin berbicara dengan pria itu yang menabraknya tetapi pria itu sudah menghilang di balik sebuah ruangan tepat di samping ruangannya.
Walaupun sudah tertutup pintu, dan ruang VIP dari depan pintu Narayana bisa mendengar dengan jelas perdebatan antara sang ayah dan bundanya.
“Kau harus menikahi pria yang bisa meneruskan bisnis keluarga,” ancam Bramasta saat Narayana baru saja masuk.
“Yah, bagaimana Ayah tega–”
“Tega? Bukankah kau juga tega pada ayahmu ini?”
Narayana terdiam, ia tidak bisa kata-kata. Bagaimana bisa dia menemukan pria yang tidak tertarik dengan kekayaan. Jika mengetahui siapa dirinya. Bukan hal baik.
“Nana tidak ingin membicarakan ini lagi. Nana harus kembali ke rumah sakit karena harus jaga piket,” ucap Narayana beranjak dari tempat duduknya.
“Kenapa kau sama sekali tidak ingin mendengarkan apa yang ayahmu katakan, Narayana? Astaga. Ayah tidak habis pikir dengan isi pikiranmu itu.” Bramasta lagi-lagi mengamuk. “Kau tidak ingin meneruskan bisnis keluarga, setidaknya carikan Ayah menantu untuk meneruskan bisnis keluarga kita,” tegas Bramasta.
“Ayah!” Narayana memekik, ia tidak terima dengan perkataan ayahnya itu.
“Ayah tidak mau tahu. Jika kau tetap pada pendirianmu, maka Ayah juga seperti itu.” Bramasta kembali menegaskan keinginanya itu. “Kau tidak bisa menolak!” tambahnya.
Narayana tidak bisa membantah, ia menatap Bramasta dan Wenda.
“Ayah! Bisakah sekali saja, Ayah mendukung keputusan Nana? Nana tidak memakai sedikitpun uang Ayah untuk kuliah. Nana hanya ingin Ayah mendukungku, seperti orang tua yang lain.” Narayana berucap dengan lirih, wajahnya terlihat memohon agar ayahnya mendukungnya.
Setelah mengatakan itu, Narayana pun segera beranjak pergi, meninggalkan Wenda dan Bramasta.
“Jika Ayah ingin memeriksakan kondisi Ayah, bisa menemui Nana di RS Husada,” ucap Narayana sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu.
Bramasta memijat kepalanya yang terasa sakit itu. Putrinya benar-benar sangat keras kepala.
“Yah. Jangan terlalu keras dengan Nana. Dia putri kita satu-satunya,” ucap Wenda.
“Karena kau terlalu memanjakannya jadi dia seperti itu. Lihat sekarang, dia bahkan tidak mendengarkan apa yang kita katakan.”
Wenda tidak bisa berkata, ia tidak bisa menentang keputusan suaminya tetapi ia juga tidak bisa menentang cita-cita sang putri.
Di koridor, Narayana hanya bisa mengerutu kesal. “Untung saja, Ayah tidak melihat kak Leena.” Ia merasa bersyukur. Narayana merasakan sakit dibokongnya, membuatnya mengelus pelan.
Dia merasa harinya cukup sial. Ditipu kontrak, bertemu orang tuannya, kemudian bertemu dengan pria yang menabraknya tapi menjatuhkannya kembali ke lantai.
“Sialan!” umpat Narayana, sambil memegang bokongnya yang masih sakit. “Kalau ketemu lagi, kutendang saja kelaminnya,” umpat Narayana, ia masih mengingat wajah pria itu.