3. Pria yang dikejar Angsa

1161 Words
Suara musik berdengung sangat keras, ditambah lampu kelap-kelip memenuhi tempat itu. Narayana tengah menggoyangkan gelas bir miliknya, sesekali dia menghela napas kasar memikirkan apa yang dikatakan oleh sang ayah. "Sudah lama kau tidak datang ke sini tapi wajahmu seperti itu, Na. What's wrong?" Pria dengan porstur tubuh sempurna tengah menatap Narayana. "Kau menikah denganku, Lu?" tanya Narayana membuat pria di hadapannya tertawa kemudian mundur. "Pertanyaan apa itu, Na? Kau datang untuk mengatakannya?" "Aku serius, Lukas!" Narayana menatap pria yang dipanggil Lukas itu. "Kau tahu itu tidak mungkin, 'kan?" Narayana menghela napas kasar, ia tahu apa yang ditawarkan pada Lukas tidak mungkin. Pria itu tidak menyukai wanita, ia penyuka sesama jenis. "Otakmu sedang error?" Narayana mengacak rambutnya karena kesal. "Ayah memintaku membawakan calon suami untuk meneruskan bisnis keluarga," keluhnya sambil meneguk bir di gelas hingga tandas. "Kau tahu 'kan, aku seperti apa, Lu? Aku tidak mungkin membawa pria tiba-tiba." Lukas mengisi kembali gelas Narayana. "Aku hanya terpikirkan dirimu, aku hanya punya kau," ucap Narayana pelan sambil kembali menegak bir yang baru diisi Lukas dengan tandas. "Na, kau akan mabuk jika meminumnya seperti itu." Narayana tidak peduli, ia kembali meminta Lukas menuangkan minumnya. "Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Ayah. Hanya karena aku tidak ingin mengurus bisnis keluarga, ia tidak biayai kuliahku. Memangnya salah memilih profesi berbeda dengan mereka?" "Tidak salah. Mereka saja yang kolot." Seorang wanita tiba-tiba duduk di samping Narayana, mengambil gelas Narayana dan meminta dituangkan bir. Narayana maupun Lukas tidak mengenal wanita itu, keduanya saling menatap. Narayana menatap ke arah wanita di sampingnya. "Huh. Sepertinya kita memiliki kasus yang mirip. Sama-sama ditentang keluarga," tambah wanita itu lagi. "Kau siapa?" Wanita itu mengulurkan tangannya ke arah Narayana. "Adiba Khanza Az-Zahra." "Narayana Bramasta." "Orang tuaku memintaku jadi dokter sedangkan aku ingin jadi pebisnis." Mendengar pernyataan wanita di sampingnya, Narayana tertarik. "Orang tuaku memintaku meneruskan bisnis keluarga sedangkan aku ingin jadi dokter. Sepertinya kita berdua terbalik," ucap Narayana kemudian tertawa kecil. Keduanya mengobrol cukup lama hingga mabuk, keduanya membuat Lukas kesulitan. Lukas mengantarkan Narayana kembali, sedangkan wanita bernama Adiba dijemput oleh kakaknya. Saat terbangun, Narayana mengeluh kepalanya sakit, ia mengingat kembali apa yang terjadi semalam, dia cukup mabuk. Ia bahkan berlari ke kamar mandi dan muntah. Untung saja, di atas meja terdapat obat pereda mabuk dan sup. "Sial, aku pakai mabuk segala lagi," gerutunya sambil mencuci muka. Waktu menunjukan pukul 7 pagi, saat ia keluar kamar melihat Lukas tengah tidur di sofa. "Kenapa dia ada di sini?" "Pakai nanya lagi. Dia yang nganterin kau pulang semalam," celetuk seorang wanita yang baru keluar dari dapur. "Oh, kau sudah habiskan sup yang kubuat?" Bianka menatap tajam ke arah Narayana, ia meminta penjelasan. Apalagi Narayana pulang diantar oleh seorang pria yang tidak dikenalnya. Narayana menganggukkan kepala. "Apa aku–" "Mabuk? Kalau kau tidak mabuk, kau tidak akan pulang diantar pria ini." Narayana hanya menghela napasnya kasar, ia mengambil segelas air dan meminumnya, lehernya terasa kering. Mungkin karena dia meminum cukup banyak alkohol. "Kau kenal dia?" "Dia temanku," jawab Narayana singkat. "Aku harus mengerjakan sesuatu, kalau dia bangun, suruh pulang saja." Bianka tidak mengomentari apa yang baru saja dikatakan Narayana, karena Narayana tidak akan menjawab. Narayana membawa secangkir kopi dan dia pun harus melanjutkan ketikan novelnya. Tidak lupa kacamata bulat kesayangannya terpasang di wajahnya. Dia menjadi gadis culun ketika dia menulis naskah, dengan kepribadian yang tidak bisa dijelaskan. Suara keyboard terdengar, tetapi lagi dan lagi dia menghapus apa yang dia ketik. Ia lagi frustasi karena kehabisan ide untuk naskahnya. Dia tidak tahu bagaimana mengekspresikan diri untuk menulis novel romantis. “Aaaiiisss... Editor sialan. Aku tidak tahu, harus membuat adegan seperti apa. Aaakkhh...” umpat Narayana sambil mengacak-acak rambutnya. “Na, ada apa? Kenapa berteriak seperti itu?” tanya Bianka sambil membuka pintu kamar Narayana. “Tidak kenapa-kenapa, aku hanya lagi pusing memikirkan sesuatu,” jawab Narayana sambil tersenyum. “Sebaiknya sarapan dulu, hari ini ada piket jaga ‘kan? Hari ini dokter killer itu mulai masuk, jadi kita harus tiba di RS sebelum dia. Bisa-bisa kita dapat omelannya pagi-pagi!” kata Bainka pada Narayana. “Hari ini aku tidak piket,” kata Narayana membuat temannya mengerucutkan bibirnya. “Ah, sialan. Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau kau tidak piket sih,” kata Bianka sambil menggembungkan pipinya. “Sudahlah. Nggak perlu menghibah, dosa tahu. Kau lebih baik, siap-siap saja. Kau harus fokus agar cepat jadi intern,” kata Narayana sambil tertawa kecil. "Kalau Lukas sudah bangun, kau bisa memintanya mengantarkamu ke rumah sakit." "Apa dia punya pacar?" Narayana mengangguk. "Oh, pacarnya sangat ganteng," jawab Narayana membuat wajah Bianka ada sedikit penyesalan. "Jangan berpikir yang aneh-aneh, kau harus fokus agar bisa lulus," tambahnya lagi. "Ya, aku hanya merasa sayang saja. Wajahnya–" "Nggak perlu dibahas lagi, Bi. Kau akan terlambat kalau terus di sini." Bianka pun turun ke lantai bawah untuk bersiap-siap, sedangkan Narayana hanya menatap layar Microsoft Word yang kosong. “Lebih baik menenangkan pikiran, sambil mencari ide,” kata Narayana membatin. "Mungkin aku bisa menemukan ide kalau keluar sebentar,” seru Narayana sambil mengambil kunci mobil di atas meja dan keluar tanpa memberitahu Bianka. Taman di tepi sungai adalah pilihan Narayana untuk mencari ide. Tidak terlalu banyak dikunjungi oleh masyarakat karena terdapat hewan legendaris penunggu taman itu. Bagi Narayana hewan legendaris itu adalah sahabatnya, karena setiap saat dia memberi makan hewan-hewan tersebut. "Makan yang banyak, dan pergilah jalan-jalan. Aku ingin sendiri," kata Narayana berbicara pada hewan yang tengah di berinya makan tersebut. Dengan wajah lemas dia memikirkan ide untuk naskah novel barunya. Waktu berlalu, tidak terasa dia berada di taman itu selama dua jam memikirkan ide naskah terbarunya. “Aaaaa.....” Suara teriakan terdengar. Dari kejauhan terdengar seorang anak tengah berlarian, sedang di depannya terlihat seorang pria tengah berjalan. Sama seperti Narayana, pria itu menoleh ke arah belakang—mencari asal suara yang dia dengar. Mengikuti suara teriakan, dan anak yang tengah berlarian dia pun ikut berlarian. Hewan-hewan berwarna putih dengan cepat mengejar mereka. Anak yang tengah dikejar Angsa bersembunyi dibalik tubuh pria itu. Membuat pria itu yang semakin dikejar oleh angsa, Narayana tertawa terbahak-bahak ketika melihat pria itu memilih menceburkan dirinya ke dalam sungai karena tidak menemukan jalan lain untuk kabur. Kedua orang tua anak yang di kejarnya terdiam ketika melihat pria itu menceburkan dirinya ke dalam sungai, sedang Narayana tertawa melihat kejadian itu. Mereka lebih heran, ketika Narayana menyuruh angsa-angsa tersebut pergi. “Apa kau pemilik hewan itu?” tanyanya. “Tidak, mereka hewan liar di sekitar sini. Aku hanya sering memberi mereka makan.” Narayana sambil menahan tawa. “Sebaiknya kau keluar saja dari situ, di dalam sungai ada buaya,” kata Narayana berbohong membuat pria itu terbirit- b***t keluar dari sungai. Mata Narayana menyipit melihat pria yang baru saja keluar dari danau. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" "Tidak!" Namun ingatan Narayana tidak pernah salah, ia yakin pernah bertemu dengan pria itu, hingga dia kembali mengingat-ingat di mana dia bertemu dengan pria yang saat ini di hadapannya. "Benar, kita pernah bertemu. "K-kau pria semalam. Pria yang menabrakku terus menjatuhkan ke lantai."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD