BAGIAN 1 ; STATUS

2895 Words
Yessynta memang gila. Menyukai semua yang Yongka berikan untuknya. Hukuman seperti itu sangat biasa untuk Synta dapatkan, memerankan lakon seperti dirinya adalah jalang milik Yongka. Oh. Betul. Dia memang terlahir dari seorang jalang, itu sebabnya dia dinilai seperti itu oleh keluarga Tedjeokusuma. Statusnya dengan Yongka Adik dan kakak? BAH! Yessynta dan Yongka... adik kakak? Orang lain memang hanya sebatas tahu itu, tapi yang sebenarnya mereka tidak memiliki ikatan darah sama sekali. Alasannya? Ya, itu. Yessynta terlahir dari rahim seorang jalang, diambil keluarga Tedjoekusuma hanya untuk menutupi kabar buruk mengenai bejatnya Armando Tedjoekusuma ketika dulu bermain api. "Apa kabarnya ibu kamu sekarang?" Synta sejujurnya bosan jika ditanya bagaimana sosok ibu yang melahirkannya itu. Dia jelas tidak tahu, dan tidak mau tahu, karena semenjak mengetahui kebenarannya Yessynta sadar jika dia tidak diinginkan berbagai pihak. Bahkan ibunya sendiri, sudah enggan menganggapnya anak yang telah dilahirkan. "Lo mabuk, ya. Kebanyakan minum wine-nya, sih. Gue bilang juga, jangan kebanyakan, gini jadinya." Synta menggesekkan dadanya merapat ke tubuh Yongka. Lelaki itu sudah cukup lelah dengan sesi percintaan mereka yang diawali dengan hukuman untuk Synta. Tidak tahan dengan rapatnya tubuh Synta, Yongka menarik wajah perempuan itu hingga mendongak dan langsung melumatnya dalam. Bunyi kecipak mulut mereka yang beradu memenuhi kamar apartemen Yongka, mereka tidak peduli dengan pihak lain di luaran sana yang menunggu kabar salah satunya. "Saya mau nikah," ucap Yongka setelah melepaskan tautan bibir. Walau sebenarnya Yessynta tidak merasa perlu mendengar kabar itu, tapi sisi terdalam hatinya meraung sakit dengan kalimat yang terlalu gamblang tersebut. "Kapan?" "Empat bulan dari sekarang. Keluarga Ganeva sudah excited menyiapkan semuanya." Dalam keadaan normal, mungkin para perempuan yang merasa tidak memiliki kesempatan untuk bersatu dalam ikatan dengan laki-laki yang mereka mau akan langsung pergi. Tidak terima karena kabar pernikahan yang akan berlangsung, sedangkan mempelai perempuannya bukan dia yang sedang berbagi peluh. Jahat, bukan? "Kamu nggak pa-pa?" tanya Yongka. "Gue boleh kenapa-napa?" tanya balik Synta. "Kamu selalu punya tempat paling besar untuk menentang. Saya nggak akan mengambil keputusan itu kalau kamu nggak setuju, Syn." Yongka bisa merasakan keraguan dari perempuan yang dia dekap saat ini. Keduanya tidak menamai hubungan ini, juga tidak direpotkan dengan perasaan satu sama lain. Menjalani malam panjang berdua, bukan suatu hal yang patut diresmikan ke dalam pernikahan bagi Yongka, jika perempuannya adalah Synta. "Thank you," ucap Synta seraya menyematkan kecupan untuk Yongka. "Buat apa?" "Karena lo masih memikirkan pendapat gue, Ka. Padahal, nggak seharusnya lo ngasih gue kesempatan buat berpendapat. Karena bisa aja, gue malah ngehancurin hubungan lo sama Eva." "Coba aja." Dengan santainya Yongka berucap. "Lo akan nyesel kalau gue berulah." "Nggak akan. Justru kamu yang akan menyesal, Synta. Karena hidup kamu tidak akan pernah bebas lagi kalau Armando Tedjoekusuma menginginkan kamu juga hancur, setelah berhasil menghancurkan pernikahan saya dan Eva." Sampai sekarang. Yessynta tidak mengerti secara betul apa maunya Yongka. Lelaki itu kadang terlalu sinis, terlalu pencemburu, terlalu manis, terlalu memberi perhatian hingga membuat berderu. Synta benar-benar tidak paham apa maunya Yongka. "Untuk sekarang... bisa lo nggak bahas apa pun tentang perempuan lain?" Pada dasarnya Yessynta memang tidak mau menyakiti agar tidak tersakiti, tapi kenapa Yongka selalu memberinya rasa sakit hingga membuat Synta berani menyakiti pihak lain. "Nggak akan saya bahas lagi kalau begitu." "Thanks." Dalam keremangan malam, napas Yongka yang mulai teratur, dan hanya sunyi yang mengisi. Synta beranjak dari ranjang, menuju kamar mandi guna melarikan diri akan sakitnya hati. Gue nggak mau kehilangan lo, Ka. Tapi laki-laki itu tidak berusaha mempertahankan Synta sedikitpun dalam hidupnya. Gue mau perempuan yang lo nikahin itu gue, Ka. Tapi nyatanya laki-laki itu meragukan kekuatan Synta sebagai perempuan yang menghargai setiap jengkal tubuhnya. Gue cuma nyerahin diri buat lo, Ka. Tapi laki-laki itu tidak pernah memedulikannya. Yessynta membekap mulutnya kuat, menahan raungannya sendiri. Sekarang, hanya satu cara agar dia bisa selalu mengingat dan bisa merasakan kehadiran Yongka walau nantinya laki-laki itu menjadi milik perempuan lain. Empat bulan. Synta akan mewujudkan rencana baru untuk dirinya dan kehidupan baru yang dia inginkan menemani hidupnya. * Yongka mengambil banyak tempat di hidup Synta. Lelaki itu bahkan lebih banyak porsinya sebagai sosok yang memenuhi relung hati Synta. Namun, lelaki itu menutup mata hati dengan segala kemungkinan rasa yang bisa saja menyakiti. Egois. Tidak ingin tersakiti, malah menyakiti. Itulah Yongka. Meski kepribadiannya dikenal sangat baik, sopan, dan ramah oleh orang lain, tidak bagi Synta. Perempuan itu bahkan sudah tidak tahu bagaimana lagi cara untuk mematahkan konsep jahat dikepala Yongka mengenai dirinya. Semenjak remaja, hingga saat ini, Synta di-cap sebagai jalang, hanya karena dia dilahirkan dari seorang yang kelakuannya tidak dibenarkan. Jika bisa diperhatikan oleh orang banyak dengan meraung keras, Synta mau melakukannya, agar tidak dinilai sebelah mata. Namun, kini dia sadar itu tidak berguna. "Mata kamu kenapa?" Yongka bertanya. Ah... perempuan mana yang tidak akan luluh hatinya jika disuguhi dengan perhatian sebegini tulusnya. Entah kenapa Yongka memutuskan tidak menanamkan rasa cinta pada Synta, jika kasih sayangnya saja sudah begitu pekat terasa. Yongka mendekat, menangkup wajah Synta dan mengamati lekat mata perempuan itu yang membengkak. "Kompres," tukas Yongka tanpa memberi jeda agar Yessynta membalas. "Tunggu di sini." Didudukannya Synta pada sofa di depan ranjang. Sepeninggal Yongka, airmata Synta kembali merebak. Dia tidak tahan melihat gelagat Yongka yang terlalu berbaik kasih padanya. Bahkan Synta tahu, ada perempuan yang semalaman mengirim pesan ke ponsel laki-laki itu, mengkhawatirkannya, dan beberapa kali juga menelepon walau ujungnya tidak dijawab oleh Yongka. Tidak tahu apakah sengaja didiamkan, atau memang Yongka tidak sempat mengecek hp saking lelahnya. "Dingin!" pekik Synta sesaat lelaki itu menempelkan handuk berisi es batu. Suara tawa Yongka terdengar, mungkin karena melihat ekspresi lucu dari wajah Synta. "Udah, ah. Siniin es batunya, biar gue kompres sendiri. Lo berangkat sana. Pasien lo pasti udah ngantri-ngantri." Memilih tidak meladeni ucapan Synta, lelaki itu sigap membopong tubuh yang semalam dia dekap menjadi berbaring di ranjang. Synta hanya bisa melongo dengan adegan manis yang sekali lagi... memabukkan. "Saya tahu semalaman kamu nggak tidur." Yongka menghela. Mengusap kelopak mata Synta hingga perempuan itu memejam karenanya. "Saya juga nggak mau bertanya banyak apa alasannya. Yang terpenting sekarang, istirahat. Jangan coba-coba kabur buat main di luaran sana. Saya nggak suka kamu jadi perempuan binal!" Synta memutar bola mata di depan wajah Yongka yang mengamatinya. "Bisa nggak, sih, kalo ngasih omongan itu nggak nyakitin?!" Lagi-lagi Synta tidak disahuti. Lelaki itu melenggeng pergi setelah memberikan kecupan dalam di seluruh bagian wajah Synta. "Selamat bekerja. Saya cinta kamu, Yongka." Yessynta berucap lirih tepat setelah pintu kamar tertutup. Kesempatannya untuk menjadi satu-satunya dalam hidup Yongka memang—sepertinya—tidak pernah ada. Meski sakit, Synta harus lebih kuat menahannya. "Sebentar lagi... sebentar lagi. Setelah dia hadir, semuanya akan berakhir. Nggak akan ada lagi adik kakak t***l yang saling b******a. Nggak akan ada lagi Yessynta yang bodoh bertahan demi laki-laki brengsek." Yessynta terus menggumamamkan kata penenang untuk dirinya sendiri, sebab dia memang membutuhkannya. Ada kalanya sisi kuat yang dia miliki hanya kamuflase, tapi ada kalanya juga kekuatan itu datang tanpa dikira-kira. "Cepat tumbuh, ya, baby. Saya nunggu kamu. Secepatnya kamu hadir, saya juga secepatnya ninggalin laki-laki b******k yang nggak peka itu." * Kecewa bukan pernyataan yang perlu ditanyakan lagi pada Yongka. Dia menyadari apa itu kekecewaan semenjak usia ke-8 mendapati jika dirinya harus dipaksa memiliki anggota keluarga lain. Statusnya berubah dari seorang anak tunggal, menjadi seorang kakak. Padahal, Yongka tidak suka memiliki saingan. Dia ingin semuanya tercurah hanya untuknya. Dan kehadiran Yessynta meubah ketenangannya sebagai anak dari pasangan Armando Tedjoekusuma dan Viviana Abella Tedjoekusuma. Ibu Yessynta adalah perusak keluarga Yongka. Membawa Yessynta yang saat itu masih berada di dalam kandungan, dan mengancam akan memberitahukan kepada khalayak luas mengenai betapa bobroknya Armando Tedjoekusuma sebagai laki-laki. Berselingkuh dan menghasilkan seorang bayi. Tentu saja ancaman itu berhasil. Yessynta masuk dan menjadi bagian keluarga Tedjoekusuma. Namun, fakta lain muncul ditengah-tengah kekecewaan Yongka. Darah Yessynta bukanlah milik Armando Tedjoekusuma, anak perempuan itu jelas-jelas hanya diperalat jalang sang papa untuk menjadi benalu hingga usia Synta yang ke 17. Yongka tidak tahu bagaimana bisa dia memberikan perhatian yang sebegitu gilanya pada Synta, setelah mengetahui bahwa anak hasil dari seorang jalang menjajakan diri itu bukanlah adiknya. Yessynta yang sama sekali tidak memiliki ikatan darah dengannya adalah hal luar biasa untuk Yongka banggakan. Kedekatan mereka dimulai sejak Yessynta genap 17. Lalu semakin mengakrabkan diri selama lima tahum hidup dalam satu sangkar yang sama. Keperawanan Yessynta hilang tepat diusia 22 perempuan itu, dan Yongka adalah laki-laki pertama bagi Synta. Tidak ada yang tahu mengapa, bagaimana, dan kapan hubungan keduanya terjalin semakin rumit dan tak terurai. "Kamu nampung anak s****n itu?" tanya Armando. Malam ini Yongka pulang ke rumah orangtuanya. Jika tidak diminta, Yongka mana mau datang. "Dia nggak punya tempat tinggal di sini. Kerjaannya lagi off. Apa masalahnya kalau sebagai kakak aku ngasih tumpangan tempat tinggal?" Armando mendengus keras, tidak menyetujui pernyataan putranya. "Adik apa yang kamu maksud? Dia bahkan nggak punya setetes pun darah Tedjoekusuma," bantah Armando. "Semua orang yang mengelu-elukan nama papa selalu tahu kalau Yessynta adikku," timpal Yongka dengan santai. Memotong beef steak-nya, Armando mencoba untuk sama tenangnya berbicara pada sang putra. "Kamu terlalu baik, Yongka. Apa nggak sebaiknya kita umumkan saja, dia bukan keturunan Tedjoekusuma?" Vivi datang dan langsung mengusulkan ide itu. Armando memandang tajam pada istrinya yang begitu luar biasa ceroboh. "Kamu mau bikin nama baikku hancur?" geram Armando. "Halah! Paling juga dua sampai tiga hari aja nama kamu jelek. Lagian, kamu dan kekuasaanmu bisa mengendalikan dunia berita. Nggak perlu hiperbolis!" cibir Vivi. Wanita itu tahu, menikahi Armando sama dengan menerima segala keliaran kejantanan pria itu. Jadi, ketika ada bencana berupa suaminya yang memiliki selingkuhan, Vivi hanya bisa bersabar dan menjaga Yongka. Pernikahan tanpa cinta bersama Armando memang lebih mudah dijalani. Sebab yang perlu Vivi jaga adalah Yongka. "Nggak sekarang, Ma, Pa. Seenggaknya, tunggu sampai semuanya cukup stabil. Biarin perusahaan papa punya anak cabang di sektor kesehatan, biar aku yang pegang kendali. Setelah itu, terserah nanti kalian mau gimana." Vivi memutar bola mata tak suka. "Mama nggak suka kamu baik ke perempuan itu. Gimana pun, dia itu turunan wanita nggak bener, kamu jangan dekat-dekat sama dia, dong." Yongka tidak ambil pusing, kecemasan mamanya sebenarnya adalah pengaruh terkuat kenapa Yongka menaruh rasa-sedikit-benci pada Yessynta, meski pelaku hancurnya ketenangan keluarganya adalah ibu yang melahirkan Yessynta. Bukan Yessynta itu sendiri. * Kembali menjadi orang yang acuh tak acuh. Ketenangan yang Synta bisa dapatkan. Karena mendengarkan ucapan tidak mengenakkan orang lain, juga mengkualifikasikan ucapan yang isinya hanya judgements buruk mengenai dirinya. Yessynta tidak akan menjadi sekuat sekarang kalau tidak ditempa sebegini gilanya oleh orang-orang itu. Orang-orang yang sebenarnya—seharusnya—memberi kasih sayang serta perhatian sebagai tempat yang dinamai 'keluarga'. [ Jenay ] Kapan lo balik? [ Me ] I don't want go back anymore, Jen. I think. [ Jenay ] What??? Jangan gila lo! Semua orang nungguin lo di sini. Salah satu brand maunya lo yang jadi model. Jangan nyusahin gue, dong, b***h. [ Me ] Gue pikirin lagi nanti, ya. Yang pasti, lo siapin duit yang gue punya buat bayar ganti rugi. Tidak menunggu lama balasan dari Jenay muncul kembali, tapi Synta benar-benar tidak tertarik untuk sekadar saling berbalas lagi. Jenay pasti akan heboh dengan segala pemikiran yang dia punya. Jelas. Menjadi manajer seorang model pakaian dalam cukup menjanjikan bagi seorang Jenay. Keterampilan bahasanya yang bagus membuat Synta mau untuk diatur dan menjadi apa saja sesuai permintaan banci itu. Sekarang, tinggal menuju rencana dan menunggu keberhasilannya saja. Apakah dia bisa mendapatkan apa yang dia mau; bayi. Bukan untuk memeras keluarga Yongka. Bukan. Yessynta ingin memiliki anak dari Yongka hanya karena dia memang dimiliki laki-laki itu. Tidak peduli jika Yongka selalu menilainya jelek, bayi adalah pembuktian bahwa cinta Synta pada lelaki itu benar adanya. "Hai. Erga Pratama? Masih inget aku?" "Yessy. Kamu mantanku, kemarin baru kamu hubungi aku buat antar jemput kamu. Sekarang... apa?" Yessynta tertawa mendengarnya. Dia tahu lelaki yang sedang dihubunginya sekarang sedang krisis kepercayaan diri. Dia masih gamang dengan perasaan yang dimiliki untuk sang istri, dan Yessynta memanfaatkan kebingungan itu untuk menumpang pada lelaki itu, meski risikonya dia akan di-cap sebagai penghancur rumah tangga orang. "Masih penasaran, kan? Aku bisa kasih yang kamu cari." "Apa?" "Jawabannya. Supaya kamu nggak bingung terus sama kelakuan istri kecil kamu itu." Yessynta bisa membuat Erga menjadi miliknya di masa lalu, dia akan membuat Erga menjadi miliknya lagi agar hidupnya tidak bersinggungan dengan Yongka lagi. Percakapan itu kembali berlanjut, dan Erga dengan kadar kelemahan pikiran pun semakin membuat Yessynta mendapat peluang besar. * "Diantar siapa kamu?" tanya Yongka. Yessynta langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Yongka. Perempuan itu tidak langsung menjawab karena sudah yakin kalau Yongka sudah tahu siapa yang mengantarnya. "Jangan main-main dengan milik orang lain, Synta!" Melirik pada Yongka yang terlihat sekali mengeraskan rahang, Synta menyimpulkan senyuman pada laki-laki itu. "Kok gitu? Berarti gue juga nggak boleh main-main sama lo, dong?" Seolah sengaja memancing Yongka, dan lelaki itu tidak mau dengan mudahnya terpancing. "Saya nggak bercanda, Synta. Kamu terlalu menganggap remeh—" "Lo itu yang terlalu menggampangkan sesuatu, Ka. Sadar nggak, sih. Lo selalu menganggap gue rendah? Perempuan ini, yang lo anggap jalang setiap saat, apa bukan salah satu kategori yang lo remehkan?" Yongka pasti sadar dikedalaman mata Synta yang kentara akan kesedihan. Meski dari luar terlihat kuat dan nakal, Synta jelas lebih perasa dan rapuh sebagai seorang perempuan. "Kamu terlalu jauh, Synta. Hubungan nggak berstatus ini sepertinya membuat kamu kehilangan kendali, ya?" sindir Yongka. "Kalo gue pergi juga, lo bakalan sakit hati, Ka. Lo bakalan jadi satu-satunya pria yang patah hati dengan kepergian gue." Yongka memajukan tubuhnya, menantang ucapan Synta. "Kita lihat pembuktiannya, nanti." * Waktu empat bulan bukanlah jarak yang lama jika dinikmati. Dan karena Synta menikmatinya dengan kesungguhan hati, sekarang dia bisa pergi meninggalkan Yongka dengan tenang. Undangan pernikahan lelaki itu pun sudah ada digenggamannya. Tidak perlu berbasa-basi Yongka memberikannya. Untung saja, rahasia kecil yang Synta simpan sendiri bisa berjalan dengan baik. Setelah metode tarik ulur dengan Erga Pratama, ternyata laki-laki itu tidak mau memilihnya. Lagi. Tidak ada jaminan hidup bagi Yessynta di negara itu, jadi, dia putuskan kembali ke Jepang setelah menyelesaikan kesalahpahaman dengan istri Erga lebih dulu. Kandungannya? Oh, iya. Tentu saja. Sehat. Perut buncitnya dia tutupi beberapa kali jika ada momen dimana persembunyiannya hampir ketahuan oleh Yongka. Statusnya kini, bukan lagi jalang Yongka. Dia akan memiliki status baru: seorang ibu. Dia sudah menetapkan malam itu. Malam dimana dia sudah mendapatkan keinginannya dari Yongka.... * "Just marry her," ucap Synta santai. "Apa?" "Lo denger apa yang gue bilang." "Saya denger. Tapi apa tujuannya kamu bilang ini ke saya, Syn?" Synta mengangkat bahunya. "Lo perlu maju." Lelaki itu mendengkus keras. "Maju? Maju ke mana?" "Gue tau, lo terlalu sayang sama gue, Ka. Tapi gue baik-baik aja, gue bukan lo yang harus ditagih lagi buat hal-hal nggak penting. Mama dan papa pengin liat lo nikah, dan lo juga udah klop sama Eva. Buat apa lagi lo main-main sama perempuan kayak gue?" "Memangnya kamu perempuan seperti apa?" Yongka memancing Synta. Synta hanya mengendikkan bahu, beranjak dari d**a Yongka yang sudah dia sukai sejak masa remaja. Dipeluk dan memeluk Yongka, adalah kebiasaan dan satu hal yang membanggakan bagi Synta. Tapi dia harus segera berhenti, Yongka tidak boleh mengecewakan kedua orangtua mereka. "Kamu mau ke mana?" Yongka memandangi kegiatan Synta membereskan kekacauan yang mereka buat sebelumnya. Yongka masih tetap diam di tempatnya, dia tidak bergegas karena merasa bahwa Synta akan tetap di sampingnya seperti biasanya, ketika perempuan membutuhkan tempat tinggal yang mau menerimanya. "Aku mau bersih-bersih," jawab Synta. Mendapatkan jawabannya, Yongka merasa tenang. Malam itu, dia pejamkan mata tanpa firasat buruk apa pun. Hingga pagi menjelang, Yongka menyadari seluruh ruangan apartemennya bersih... bersih dari segala jejak Synta. * Dia pergi. Mengalah pada apa pun dan siapa pun yang menganggapnya sebagai perempuan murah. Dia tahu, Yongka terlalu menaruh rasa padanya, hingga rasa itu bercampur dengan kebencian yang selama ini Yongka pendam. Kebencian saat ibu Yessynta membawanya ke hadapan keluarga Yongka. Menghancurkan ketenangan dan kebahagiaan sebelum dirinya ada. "GIILLLAAAAA...." Suara Jenay mengeluh. "Lo beneran niat mau miskin, ya?! Gara-gara lo dateng dalam keadaan hamil begini... runyam semua!" Yessynta mengusap perutnya pelan, berbicara dalam hati, bahwa Jenay tidak akan mempengaruhi tingkat stresnya. "Jen. Plis. Anak gue denger dan lihat lo kayak gini... nggak bagus." Jenay menggeram semakin kesal. "Nggak bagus mulut lo!" Banci itu sepertinya sadar, kalau Yessynta benar-benar mencintai bayi dalam kandungannya. Bahkan Synta tidak menimpali ocehan Jenay seperti biasa. "Gini cara lo insaf?" tanya Jenay memicing, kemudian. "Gue udah insaf sejak gue bilang siapin duit buat bayar ganti rugi, kok." Tanggapan enteng dari bibir cantik Synta malah semakin menambah daftar kekesalan Jenay. "Siapa bapaknya?" "Nggak penting buat lo tahu," sahut Synta. "Yang penting, gue bisa ngurus bayi ini. Pokoknya, gue minta maaf sama lo, Jen." Synta menatap gelas berisi s**u hangatnya. "Seharusnya juga, gue minta maaf ke Erga dan istrinya, sih...," lirih Synta. "WHAAATTT?? Lo, minta maaf?" Jenay menepuk-nepuk pipinya. "Lo nggak mengidap sakit parah sampe sebegininya, kan? Jiwa pelakor lo tiba-tiba mau minta maaf?! Drastis banget insaf lo, ya!" Memilih tidak menanggapi, Synta menyesap s**u hangatnya. Spontan saja dia mengelus perutnya kembali setelah meneguk s**u hangat, seolah memberitahu pada anaknya di dalam sana, bahwa Synta sudah memberi salah satu pasokan nutrisi. Melihat itu, Jenay malah semakin jengkel. "Aaah! Terserahlah! Gue mau balik!" Selepas Jenay memilih pergi, Synta terdiam sendiri. Dia tahu, segala risikonya setelah ini. Tidak akan pernah sama lagi, jika dia hamil dan penghasilan dari modelnya perlahan-lahan habis digunakan kebutuhan sehari-hari. Harapannya menumpang saat ini jelas hanya satu. Amber. Teman karibnya semasa di Jepang. Perempuan single yang memperkenalkannya pada dunia photoshoot pakaian dalam dengan gaji besar. "Yang sabar, ya, baby. Bantu ibu lewatin semua ini." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD