"Hellowww...gue udah berumur! Udah kerja! Udah jadi guru! Masak dikira anak sma. Ngebetein nggak sih!"
Febri menutup kedua telinganya sembari mengernyit menyaksikan mulut lebar Lea yang berteriak kesal. Ini namanya bukan curhat tapi cursi. Curahan Emosi. Febri melihat sekeliling, perpustakaan sedang sepi. Pantesan Lea berani ngeluarin suara lumba-lumbanya.
"Mpeb! Dengerin woi orang lagi curhat tuh. Sekarang gue tanya sama lo. Emang gue kayak anak kecil ya?"
Febri menganguk pelan dan Lea mendesah sedih. Muka Lea di tekuk dan bibirnya mengerucut. Febri cuma bisa geleng-geleng kepala sama pertanyaan Lea. Sejak kapan Lea mikirin omongan orang? Waktu Lea baru pertama masuk di SMA ini dan dia udah deket sama Papanya, banyak yang bilang Lea selingkuhan papanya. Belum lagi menghadapi Wakasek yang cemburunya minta ampun kalo liat Lea deket sama papanya. Di ruang guru, Lea juga banyak yang suka. Bahkan ada guru yang niat banget jadiin Lea istri kedua. Di kelas, ada aja siswa yang mengutarakan cinta abadinya ke Lea, sampe ada yang jadi stalker. Gila emang. Lea nggak pernah peduli. Lea sebodo dengan tatapan dan ucapan orang-orang di sekitarnya. Tapi kenapa sekarang Lea mikirin?
"Lo kenapa sih? Galau cuma ada yang bilang lo anak kecil?! Wahai jin imprit yang ada di badan Lea, keluar! Keluar!" Ujar Febri sambil men-toeng kepala Lea seakan-akan Lea kesurupan. Lea lalu mengibaskan tangan Febri dan melotot.
"Salak lo! Lagi serius malah dibecandain. Huft. Ck...teman yang tidak bisa diharapkan."
Febri terkekeh. Kadang Febri suka lucu denger kalimat makian Lea. Lea nggak mau maki orang pake kata-k********r dari kebon binatang ataupun berbau v****r. Kata Lea makian kayak gitu udah biasa. udah mainstream. Jadilah nama buah-buahan sebagai gantinya.
Lea melirik ke Febri, "lo nggak dihubungin sama kak Tian kan?". Pertanyaan Lea yang tiba-tiba merubah topik membuat Febri terdiam. Topik keluarga itu topik sensitif buat Lea. Tumben nih anak ngomong masalah keluarga.
Febri menatap serius ke Lea. "Iya, gue dihubungi sama Tian, nanyain lo. Sesuai pesan lo, gue bilang gue nggak tau. Walau gue yakin kakak lo nggak mungkin percaya gitu aja. Gue yakin gue bakal bonyok dipukulin sama kakak lo. Lo kenapa sih Le? Udah 6 bulan ini gue ngelindungi lo. Kalo sampai kakak lo balik ke indonesia, gue yakin cepat atau lambat lo bakal ketemu sama Tian."
Lea mendesah pelan. Lea pengen banget cerita masalahnya ke Febri, tapi Lea belum bisa. Lea nggak siap kalo temen-temennya keseret ikut campur dalam masalah keluarganya. Lea nggak pengen temen-temennya ikut tersakiti gara-gara masalahnya.
"Nggak papa Mpeb hehehe, biasalah anak muda. Pengen mandiri gue." Lea lalu memperlihatkan senyum manisnya. Meyakinkan Febri kalo dia baik-baik saja.
"Oke. Gue nerima alesan lo untuk saat ini. Gue yakin gue juga bakal tau nantinya. Kebiasaan lo tuh ya. Masalah dipendem sendiri."
"Iya mas Febri Danuarisetyo Christian bauketiak kw 10. Entar juga gue bakal cerita kalo udah waktunya."
"Dan itu kapan?" tanya Febri. Lea hanya mengangkat bahunya dan terdiam.
Febri tersenyum memaklumi sikap Lea. "Jangan lupa besok gue jemput jam 9, lo musti-kudu-harus pake dress code sesuai tema," perintah Febri tegas. " Sesekali pake gaun nggak bikin lo cepet tua. Gue jemput Hana entar sore di bandara. Lo mau ikut?" Lanjut Febri.
Lea paling sebel kalo Febri mulai nyuruh Lea pake rok. Kan nggak bebas mau gerak. Duduk aja musti dijaga biar nggak keliatan dalemannya. Bukan Lea banget.
"Sebenernya gue males, tapi gue kangen sama yang lain. Gue nggak usah dijemput. Besok gue ada les di rumah Maura. Pulang dari sana gue langsung cus ke TKP"
BRAKKKK!!!
Suara pintu yang terbuka tiba-tiba membuat Lea dan Febri mendongak, menatap Bu Lisa, Wakasek yang cinta mati sama Lea, saking cintanya suka nyari masalah sama Lea. (Well you know how it sounds so sarcastic).
"Ibu Lea ! Apa yang ibu lakukan dengan Pak Febri di perpustakaan berdua?! Hubungan anda dengan pak Febri sudah meresahkan siswa. Saya tidak menyangka bu Lea sampai harus mendekati Pak Danu dan sekarang Pak Febri."
Lea memutar bola matanya bosan melihat drama Bu Lisa. Febri pun melakukan hal yang sama.
"Bubar Mpeb arisannya. Ada yang lagi bikin drama terbaru. Gue cabut ke ruang guru dulu. Bhay!" bisik Lea tanpa memandang balik ke Bu Lisa.
"Saya harus lapor ke kepala sekolah tentang kelakuan bu Lea yang ... bla bla ... moral ... bla ... bla ..." Lea memejamkan matanya berusaha tidak mendengar ucapan bu Lisa. Kadang Lea serba salah. Di satu sisi dia pengen banget bisa jadi guru tapi di sisi lain sikapnya yang tomboy dan lebih dekat dengan kaum adam sering disalahartikan kaum hawa.
Gue nggak ngelakuin hal senonoh sama Mpeb kan? Jadi guru yang nyentrik dan baik bisa nggak sih? Kata Lea dalam hati. Lea berlalu pergi meninggalkan Febri yang kini sedang dihujani pelototan manis oleh ibu Lisa.
*********
"Dim, lo urus masalah tender dari Pak Wiryawan. Selidiki dulu baru eksekusi, oke?!" perintah Arka tegas yang diikuti anggukan Dimas. Mereka baru saja keluar dari ruang rapat dengan client baru mereka. Dimas lalu berjalan ke ruangannya sedang Arka berhenti sejenak di depan meja sekretarisnya, Mira.
"Ibu Netta mana? Sudah kamu suruh tunggu di ruangan saya?"
Sekretaris Arka menganguk tapi kemudian hendak mengatakan sesuatu.
"Ada apa?" Arka mengerutkan dahinya karena raut muka Mira terlihat gusar, antara ingin mengatakan sesuatu dan tidak. Arka melirik ke ruangannya yang sepi. Arka menatap Mira seakan meminta jawaban kemana Netta pergi.
"Eng ... saya tidak tau pak. Tadi waktu melihat ruangan bapak sepi, ibu Netta menuju ke lorong. Mungkin ke toilet, pak," jelas Mira menunduk dari tatapan tajam Arka.
Arka menatap lorong, tidak yakin Netta ada disana. Dengan langkah pasti, Arka menuju ruang sepupunya yang terletak tidak jauh dari lorong. Berharap dugaannya dimana Netta berada benar.
Tanpa mengetuk pintu, Arka langsung memutar kenop dan mendapati sepupunya Emmanuel sedang duduk terlalu dekat dengan Netta. Mereka sedang berbisik tentang sesuatu dan terinterupsi dengan kedatangan Arka. Netta tampak gelagapan dan berusaha mengatur mimik mukanya agar Arka tidak curiga. Netta berdiri dan menghampiri Arka yang sudah berjalan masuk ke ruangan Emmanuel.
"Hai sayang!" sapa Netta dengan riang. " Kamu sudah selesai rapat? Maaf. Aku tadi bosan dan sepupumu yang baik hati mau menemaniku, " ucap Netta dengan manja kemudian mencium pipi Arka.
"Tidak apa-apa kan sayang?" tanya Netta lagi karena Arka hanya berdiri membatu. Netta lalu memeluk lengan Arka dan menelengkan kepalanya, menunjukkan muka cantiknya agar Arka luluh. Arka masih terdiam, menatap dingin ke arah Emmanuel.
"Tenang bang, gue gak ngapa-ngapain sama Netta. Kebetulan____"
"It's oke. Makasih udah nemenin Netta," potong Arka cepat. Arka tersenyum tipis ke arah Netta, mengisyarakat Netta untuk keluar dari ruangan sepupunya.
Emmanuel menatap kepergian Arka dan Netta dengan tatapan yang susah ditebak. Entah benci. Entah kepuasan. Hingga ketika Arka menutup ruangannya, Emmanuel langsung tersenyum menyeringai.
********
"Lo yakin Ar? Gue gak salah denger kan?" yakin Dimas. Berulang kali Dimas bertanya hal yang sama dan Arka yang malas menjelaskan lagi hanya menganguk pelan.
Sabtu siang ini Arka mengajak Dimas ke sebuah cafe dekat kantornya. Arka sengaja ngundang Dimas karena sudah beberapa minggu ini pikiran buruk selalu menghantui Arka.
Tentang Netta
Ya, Netta. Gadis yang sudah dipacari Arka sejak 2 bulan yang lalu.
"Itu alesan gue ngajak lo entar malem ke tempat Netta biasa hangout. Gue udah dapet info dari Ucok." Arka menyeruput kopinya dan menghela pelan, "gue mau buktiin dengan kedua mata gue dan buang bukti itu di mukanya. Kalo memang benar apa yang gue pikirin, baguslah!. Mereka memang setipe."
Dimas menaikkan salah satu alisnya. Heran dengan penjelasan Arka. Arka tidak terlihat cemburu. Aneh kan?
"Lo ... nggak cemburu Ar? Dia kan pacar lo. Calon tunangan lo. Nggak biasanya lo nyerah gitu aja." Arka hanya mengedikkan bahunya.
"Lo itu terkenal pantang menyerah dalam berbagai hal. Apalagi nyerah tentang hal yang udah lo kasih tanda kalo itu milik lo. Lo lagi ... nggak kebalik kan otaknya?" tanya Dimas.
Arka terkekeh, "ck, gue belum ngasih tanda apapun di Netta. Gue belum nyentuh dia____" Dimas mencibir tak percaya, "____just kissing," koreksi Arka.
"Baru juga bentar udah ketauan sungut setannya. Lo emang apes bro."
"Gue apes kalo masalah kayak gini. Nggak ada yang tulus sayang tanpa ada embel-embel harta sama kedudukan gue. Gue tau itu kelebihan gue. Kadang kelebihan bisa jadi kekurangan seseorang." Arka menghela nafasnya pelan. Dimas mengangukkan kepalanya tanda setuju.
"Jadi_____" ucapan Dimas terputus oleh deringan handphone Arka. Arka memberi tanda ke Dimas kalo dia bisa melanjutkan ucapannya nanti setelah dia mengangkat telpon
"Ya?"
"Kak! Masih diluar? Mama nitip kue. Sore ini mau ada tamu."
"Tamu?"
"Iya. Madame mau dateng ngelesin Maura kayak kemarin."
Ketika mendengar nama Madame disebut, tubuh Arka langsung bereaksi.
"Maksud kamu, Madame? Madame yang anaknya pecicilan itu?"
Terdengar nada jengkel dari jawaban Maura
"Ih! Anak pecicilan? Hel to the lo, kakakku yang cakep tapi bloonnya nggak ketulungan. Madame itu guru les Maura yang Maura ceritain minggu kemarin yang ______"
Arka langsung mematikan handphone-nya dan berdiri membuat Dimas kaget.
"Gue pergi dulu. Entar malem kita ketemu jam 9."
*******
Lea memarkirkan motornya di depan garasi rumah Maura. Lea melihat sekeliling yang sepi. Kali ini tidak terlihat mobil Audi Silver.
Yes! Si om nggak ada! Eh tapi emang yang make mobil audi si om?
Lea mengelengkan kepalanya mengusir pertanyaan yang melintas di otaknya. Lea bersenandung senang menyadari tidak akan berkonfrontasi langsung dengan Mr. Duileh Kasarnya. Lea hendak mengetuk pintu dan terkejut ketika pintu terbuka memperlihatkan muka Arka yang terlihat siap menyerang Lea.
"Udah nungguin saya ya, Om?" cengir Lea. Arka mendenguskan nafas naganya.
"Oh, enggak," jawab Lea sendiri.
Arka memandangi Lea dari atas ke bawah. Saat ini Lea memakai kemeja putih tidak terkancing yang lengannya tergulung. Didalamnya Lea memakai kaos pas badan yang ujungnya dimasukkan ke celana jeans pensilnya. Sama seperti hari pertama Arka ketemu Lea, Lea memakai sepatu ketsnya dan mencepol rambutnya berantakan. Poninya menutup dahi dan anak rambutnya mencuat keluar. Ingin rasanya Arka merapikan anak rambut Lea.
Mikir apa sih gue?! Sadar Ar! He ngapain nih anak kecil datengin Maura, perasaan temen Maura nggak ada yang bentukannya kayak gini, ngaku-ngaku guru les Maura lagi, bisa tambah terjerumus adek gue.
Dengan tatapan dingin, Arka mengamati Lea, "datang lagi?" tanya Arka dengan nada malas.
"Iya, Om. Mau belajar bareng Maura," Lea menjawab dengan memutar bola matanya kesal.
"Kamu yakin kamu itu guru lesnya Maura?"
"Iya, Om."
"Yakin?"
"Iya, Om. Yakin banget. Saya kan yang jadi guru lesnya bukan si Om," kesal Lea.
"Huh, guru les," cibir Arka. "Belajar apa? Belajar ngobrol maksud kamu?"
"Belajar bahasa kalbu! Duh, Om. Belajar aja juga dicurigain. Yaudah, saya pergi aja!" ketus Lea. Belum juga Lea berbalik, Arka langsung menghalangi jalan Lea dengan menjulurkan salah satu kakinya.
"Ngambek? Tuh udah ditunggu Maura dikamarnya," ejek Arka bikin emosi Lea naik. Lea mengepalkan kedua tangannya dan mencaci maki Arka dalam hati. Mau tidak mau Lea mengikuti Arka masuk ke dalam rumah.
Salak! Apel! Nanas! Siulun! Kamvreto! Orgil! Haaaaaaaa!!!!!!
Setelah puas mengumpat Arka dalam hati, Lea berjalan tenang dan berusaha mengatur nafasnya. Lea bertemu pak Budi di ruang tengah sedang menonton televisi. Dengan kesopanan yang Lea punya, Lea lalu menyapa pak Budi.
"Sore, Pak. Saya datang lagi," sapa Lea dengan senyum manisnya.
Arka tertegun.
Hei! Gue nggak tau senyumnya sangat manis!
Budi lalu menengok ke arah Lea dan membalas sapaannya. "Sore juga, Bu. Silakan. Maura sudah dikamarnya."
"Siapa Pah?!" teriak seseorang dari arah dapur. Sang empunya suara menjulurkan kepalanya dan melambai ke Lea.
"Oh! Si Cantik sudah datang!" sapa Mama Arka. Lea tersipu malu dan ketika melihat Arka, senyum Lea memudar. Arka lagi-lagi memandangnya dengan tatapan dingin.
"Permisi Pak, Bu. Saya ke atas," pamit Lea yang dibalas sodoran jempol oleh mama Arka dan anggukan dari Pak Budi. Lea sengaja berjalan menyenggol lengan Arka tanpa meminta maaf. Arka melotot sedang kedua orang tua Arka yang melihat saling berpandangan lalu tersenyum penuh arti.
Arka mengikuti Lea sampai di depan kamar Maura. Lea lalu berbalik menghadap Arka.
"Mau ikut gabung, Om?" Arka melipat tangannya di depan d**a dan Lea melanjutkan bicaranya, "harus kuat iman loh, Om. Soalnya saya sama Maura lagi belajar ini___" Lea mengedipkan matanya menggoda ke Arka, "____dan juga ini____" Lea mengakhiri kedipan matanya dengan mengerucutkan bibirnya seakan-akan Lea mau mencium sesuatu.
Menahan perasaan malunya Lea langsung membalikkan badannya dan memukul mulut dan kepalanya cepat. Menyadari betapa Lea lepas kontrol.
Sejak kapan gue genit?! OMD! Gue butuh ke psikiater!
Lea sedang menggigit bibirnya ketika dirasakannya kerah bajunya terangkat ke atas. Arka sedang menarik kerah bajunya seperti anak kucing dan berbisik di telinga Lea.
"Baiklah. Saya ikut belajar sama kamu."
Detik itu juga nyawa Lea menguap sebagian.
Mama! Bantuin Lea! Lea janji nggak bakal nakal lagi!