"Mel, kamu cepet dandan gih! Ini, pake baju yang ini," seru Sekar menyodorkan pakaian pada anaknya yang kini tengah menonton drama korea.
"Nanti aja, Bu, ini lagi seru-serunya nih," tolak Amel yang matanya masih pokok ke layar handphone.
"Jangan nonton terus, ini udah sore! Waktunya kamu mandi, masa perawan jam segini belum mandi sih," gerutu Sekar mengambil handphone anaknya lalu memasukan ke tas.
"Ihhh ... Ibu apa-apaan sih! Itu tadi lagi seru-serunya lho," keluh Amel mempautkan bibirnya, ia sama sekali tak berani mengambil ponselnya itu.
"Mandi dulu! Baru nanti handphonenya Ibu kasih, ingat kudu dandan yang cantik," ucap Sekar lalu pergi keluar dari kamar putrinya.
"Ihh, Ibu rese. Ngapain coba pake baju ginian dan disuruh dandan," gerundel Amel lalu mengambil handuk dan masuk ke bilik mandi.
Sambil menunggu anaknya selesai mandi dan dandan. Ia lekas menelepon seseorang yang dia suruh membuat beberapa kue, senyuman lega terukir kala semua akhirnya beres. Sekar bergegas melakukan perkerjaan rumah.
"Ibu kenapa hari ini sibuk banget sih, lagian ngapain aku disuruh pake baju ini sama dandan," cecar Amel, gadis itu sebenernya hanya memakai cream wajah, bedak dan lipstik saja.
Sekar langsung menoleh lalu memandang anaknya, ia mengembuskan napas kesal. Memilih menarik Amel agar duduk di sofa, lalu dia pergi ke kamar anaknya sebentar dan membawa sesuatu.
"Sini! Biar Ibu dandanin, kenapa make-upnya cuma begitu," gerundel Sekar.
"Padahal Ibu beliin make-up lengkap lho, kenapa kamu jarang banget dandan sih, biar fress aja gak usah menor juga Ibu udah seneng," dumel Sekar lalu menahan tangan Ibunya yang hendak menjepit bulu mata Amel.
"Udah, Bu! Biar Amel aja sendiri, dan ... cukup pake maskara aja, yang lain Amel gak mau," seru Amel yang membuat Sekar menghela napas tapi mengangguk mengiyakan.
"Lagian, mau ada acara apa sih! Ribet banget perasaan." Amel mengoceh sambil berdandan, sedangkan sang Ibu hanya tersenyum.
"Udah, beres, kan. Sekarang Amel bawa semua ini ke kamar lagi ya," ucap Amel lalu membereskan make-upnya.
"Iya, sembarin kita ke kamarmu aja, Ibu mau ngomong sesuatu," balas Sekar membuat Amel menoleh lalu mengangguk sebagai jawaban ia melangkah menuju kamarnya.
"Ibu mau ngomong apa sih, kayanya serius banget," ujar Amel kala merapikan alat make-upnya lalu perempuan itu memilih menghempaskan b****g ke kasur.
"Kamu tau, gak, siapa yang beliin baju ini," lontar Sekar membuat Amel mengeryitkan alisnya.
"Emangnya siapa, Bu. Emang bukan, Ibu?" tanya Amel.
"Itu yang beliin Mamanya Raffa, Mel. Keluarga mereka baik banget sama kita, kadang Ibu dikasih minjem uang bahkan sesekali dia bilang gak usah dibalikin. Apalagi Raffa, baik banget lho, anaknya sopan dan bertanggung jawab," papar Sekar membuat Amel mengeryitkan alisnya.
"Maksud Ibu apa sih, kok malah ngomongin keluarga Shilla, memang mereka semua baik kok. Aku juga tau," ucap Amel dan disambut helaan napas Sekar, perempuan itu akhirnya memiringkan kepala memandang wajah sang Ibu.
"Nanti malam, keluarga mereka bakal ke sini. Buat lamar kamu buat Raffa, Ibu pengen kamu terima lamaran itu, apalagi Ibu yang mulai sakit-sakitan. Ibu pengen kamu udah punya yang bisa jagain kamu," ujar Sekar yang mulai mengarah ke topik utamanya.
"Apa! Yang bener aja, Bu! Om Duda udah duda lho, Bu. Kok Ibu mau nikahin aku sama seorang duda, aku masih gadis lho Bu! Lagian aku masih pengen kuliah," kata Amel dengan nada terkejut, ia membulatkan matanya.
BAB 5
"Emang kenapa kalau Duda, Mel. Yang penting dia bertanggung jawab dan sayang sama kamu. Pernikahan yang dulu aja, itu mereka cerai kesalahan mantan istrinya, Mel. Bukan Raffanya lho," jelas Sekar memandang anaknya dan terlihat tengah memijit kening.
"Ibu takut gak bisa jagain kamu lagi, Sayang. Takut Ibu dipanggil yang maha kuasa tapi kamu belum memiliki orang yang menjaga kamu, Ibu gak tenang, Mel," lanjut Sekar membuat mata Amel membulat dan menatap sang Ibu.
"Ibu jangan ngomong gitu! Walau Ibu ngeselin tapi Amel gak mau kehilangan Ibu," lontar Amel dengan nada sendu, ia mendekati wanita yang melahirkannya dan memeluk sang Ibu.
"Ye ... kamu mah lagi melow juga, malah ngomong gitu," gerutu Sekar yang disambut kekehan Amel.
"Tapi Ibu beneran, lebih leluasa dan tenang kalau aku nikah sama Om Duda," kata Amel lalu ia mendapatkan cubitan gemas di pipi oleh Ibunya.
"Coba jangan nyebut Om Duda, Sayang! Kamu ini susah dikasih tau," dumel Sekar yang disambut senyuman Amel.
"Iya, Ibu lebih leluasa dan tenang kalau kamu bersama Raffa, Sayang. Dia baik kok dan bertanggung jawab orangnya. Yang pasti sayang kamu dong," balas Sekar membuat Amel mendengkus.
"Ya udah, kalau itu yang buat Ibu seneng, Amel bakal nerima lamaran ini. Tapi ... pokoknya Amel masih mau kuliah, Bu," ucap Amel yang membuat Sekar terdiam.
"Nanti kamu omongan sama Raffa, ya. Karna nanti dia yang akan bertanggung jawab ke kamu, dia yang akan jadi suami dan imam kamu," tutur Sekar lalu wanita itu pamit kala mendengar suara bel yang menandakan ada seseorang di depan rumahnya yang pasti ia tebak Bu Wati.
"Udah, Ibu pamit dulu ya. Kayanya itu Bu Wati deh, soalnya Ibu minta buatin sesuatu ke dia." Amel mengangguk sebagai jawaban, akhirnya ia meninggalkan putrinya sendiri di kamar.
Sekar mengulas senyum menyambut Wati. Ia membantu temannya untuk membawa makanan pesanan. Mengajak Wati masuk ke kediamannya dulu lalu menyuguhkan minuman.
"Wah, emang ada acara apa sih, Kar, kok pesenanmu banyak gini? " tanya Wati kala selesai meneguk segelas jus yang dihidangkan yang teman.
"Ohhh, itu nanti malam anakku mau dilamar, Ti," sahut Sekar yang membuat Wati langsung memandang sang teman itu.
"Apa! Yang bener Kar, anakmu yang cowok atau yang cewek, Kar, " pekik Wati membuat Sekar akhirnya menyumpal mulut temannya itu dengan makanan.
"Pelanin suaramu bisa, gak! Udah kaya di hutan aja pake teriak-teriak," omel Sekar yang disambut seringai Wati, mereka memang sudah kenal sejak sekolah dasar.
"Hehehe ... ya gimana atuh, Kar, orang emang dari sononya aku udah suaranya cetar membahana gini," balas Wati membuat Sekar mendengkus.
"Jadi siapa yang mau dilamar, Kar?" tanya Wati lagi memandang temannya dengan tatapan penasaran.
"Ya kalau dilamar mah anak cewek atuh, Ti. Masa cowok, kalau cowok ngelamar," jawab Sekar yang dibalas seringai Wati, Sekar hanya menggeleng melihat temannya itu.
"Eh, ya udah ya. Aku pamit dulu nih, soalnya masih banyak pesanan yang kudu dianter," tutur Wati lalu wanita itu bangkit, Sekar segera mendekat lalu menyodorkan uang untuk membayar pesanan.
"Kalau acara nikahan nanti, jangan lupa pesen juga ke aku ya, atau enggak sewa jasa ku buat masak di acara itu," lontar Wati.
"InsyaAllah," kata itu keluar dari bibir Sekar.
"Ya udah, assalamu'alaikum, semoga acaranya lancar sampe hari pernikahan nanti," ujar Wati lalu diamini Sekar.
Sedangkan di kamar Amel. Perempuan itu tengah berusaha menghubungi Raffa. Ia mendengkus kesal kala sampe beberapa kali tapi teleponnya tak diangkat. Baru saja hendak membanting benda pipih tersebut di kasur, suara dering dari ponsel terdengar, dia langsung menerima sambungan telepon itu.
"Om ini, apa-apaan sih! ucapan Mama, Om, itu betulan lho. Kenapa tadi segala nimpalin minta lamarin aku, Om .... lihat jadinya beneran nanti malam ternyata Mama Om mau lamar aku lho, pokoknya Om harus batalin itu lamaran," sembur Amel lalu ia langsung mematikan sambungan telepon tersebut, napas gadis itu sampai terengah-engah.