"Tumben Mbak datang posyandu?" senyum petugas kesehatan itu padaku. "Iya, Bu. Tolong saya dibantu," jawabku sekenanya. Sejak kejadian itu, aku menantang diriku sendiri menghadapi dunia yang kejam ini. Kupasang telinga batu dan kutanamkan hati besi. Setiap hinaan dan cercaan orang padaku kutelan mentah-mentah. Batu bisa terkikis dan besi bisa berkarat hingga membuatnya rapuh. Begitupun juga denganku. Aku menangis sepuasnya lalu mengusap kembali air mataku. Aku dan anakku harus tetap hidup agar bisa menyaksikan kehancuran ayahnya sendiri. "Gak ada malunya ya, bawa perut besarnya ke tempat ramai gini," ucap salah satu ibu di sana. "Kalau urat malu sudah putus, ya begitu sih, Bu," sambut temannya. Aku hanya diam menunggu namaku dipanggil. Lalu ketika aku harus beranjak pergi, aku mendek

