Setelah perutku terasa lebih baik, aku melangkah perlahan, keluar menuju halaman rumahku. Rasa mual tentu saja masih tapi suasana di desaku benar-benar asri. Udara segar terasa mampu menyegarkan rongga hidung dan kerongkonganku. Bi Marni ternyata semalaman membersihkan dan merapikan beberapa benda usang. Aku ingin segera beraktivitas menata gubuk kayu ini, tapi dadaku masih bergemuruh bersama jantungku berdebar-debar. "Ya Allah, kalung itu peninggalan ibu dan cincin itu pemberian Bi Marni. Kalau sudah diambil Wak Er, sudah habislah aku," gumamku sendirian. Kuedarkan pandanganku. Masih sama saat kakiku meninggalkan rumah ini. "Kinarsih?" sapa salah seorang wanita paruh baya yang lewat jalan kecil depan rumah. Biasanya jalan pintas menuju sawah, jadi agak ramai lalu lalang para petan

