12. KALAP

1055 Words
"Kau masih merindukanku ya sampai menyusulku ke sini?" senyuman tiba-tiba menghilang dari wajahnya. "KAU!!!" "Iya Sayang, aku merindukanmu. Hai Suami..." sahut seorang wanita dari balik pintu. Wajah cantiknya tersenyum manis. "Oh ... astaga!" Rayhan berdiri dari sofa dengan wajah yang merah padam, "bagaimana kau bisa tau tempat ini Heka?" nada bicaranya meninggi. "Ah, mudah sekali menemukanmu, Suami. Kau cukup terkenal di kota ini." Heka tersenyum manis sekali. Namun di mata Rayhan, senyuman itu bagaikan sinaran kilat yang membutakan matanya. Membuat dunia Rayhan seakan terbelah. "Heka, kau menguntitku?" perkataan Rayhan tercekat. Heka benar-benar membuat kepala Rayhan terasa hampir pecah. "Kau suamiku Sayang, wajar saja aku mencari keberadaanmu." Heka mendudukkan dirinya di atas kursi dengan anggun. "Kau seperti lintah Heka, kau menjijikkan!! Menjauhlah dariku!" Rayhan berteriak. Rayhan merasa sangat tertekan. Matanya memerah menahan amarah yang merasuki seluruh tubuhnya. Ubun-ubun Rayhan terasa mendidih. Andaikan Heka adalah seorang lelaki, sudah dapat dipastikan Rayhan akan membuat wanita itu hancur layaknya vas kristal yang jatuh ke lantai. Rayhan sangat bernafsu mencincang Heka hingga menjadi potongan yang begitu kecil, lalu memberikannya kepada anjing liar di jalanan. "Aku bukan seperti lintah Sayang, aku layaknya cermin bagimu. Kau hanya belum menyadarinya." Heka tersenyum, sangat elegan. Terlihat ketenangan yang sangat kuat di dalam dirinya. Meskipun Rayhan memperlakukannya begitu buruk, Heka seakan menyombongkan kekuatan dirinya bak seorang Ratu. Rayhan menarik napas panjang. Dia berusaha menangkan diri. 'Mungkin mengatasi Heka bukan dengan cara kekerasan.' Pikir Rayhan. "Heka, aku mohon pergilah. Aku tidak layak untukmu. Usiamu masih muda, kau pun sangat cantik. Kau pasti dapat menemukan lelaki lain yang lebih baik." Rayhan berkata dengan lembut. Bagaimanapun sebenarnya jauh di dalam hati Rayhan ia tidak ingin menyakiti Heka. Dia adalah Ibu dari Yuka. Seseorang yang membuat Rayhan dapat merasakan indahnya menjadi seorang Ayah. Seseorang yang pernah memberikan Rayhan kebahagiaan walau hanya setitik, di dalam kehidupannya. Kemarahan yang Rayhan rasakan hanyalah karena Heka akan menyakiti Mia dengan kehadirannya. "Aku tidak ingin lelaki lain Aray, hanya kau yang kucinta, sejak dahulu hingga sekarang." Heka memandang lekat ke dalam mata Rayhan. Mencari sedikit cinta di dalam sana. Matanya memerah. Dia mengepalkan tangannya dengan kuat. Ruas jarinya memutih. Wanita itu tidak menemukan yang dia cari. Bahkan kilatan mata Rayhan menunjukkan kebencian yang mendalam. Heka menarik napas panjang dan berat. Dia berjalan mendekati Rayhan. Mata indahnya yang berwarna coklat terang berembun. Bibirnya bergetar menahan gejolak perasaan yang mengharu biru di dalam dadanya. "Kupikir kau akan mengerti bagaimana cinta bekerja. Mengingat kau mencintai Mia begitu dalam. Hingga saat bersamaku pun kau tetap masih mendambanya." Embun menetes dari sudut mata Heka. Heka menyentuh d**a Rayhan perlahan. Dia sangat merindukan suaminya. Ia sangat mencintainya. Heka merasa sangat hancur saat mengetahui dirinya tidak pernah bisa menyentuh hati Rayhan. "Lepasakan Heka!!" Rayhan menepis tangan Heka dengan kasar. "Cinta tidak seperti itu, aku membiarkannya bahagia bersama orang lain. Aku bahkan menjauh dari kehidupan mereka." suara Rayhan mulai berapi-api. "Uhm.., kau benar. Kematian suami Mia-lah yang justru menyatukan kalian kembali." Seulas senyuman rumit terukir di bibirnya. "Lalu.... Apakah kematian Mia dan anaknya akan membawamu kembali kepadaku?! Kita dapat membesarkan si kembar bersama-sama. Seperti yang kalian lakukan kepada anak Mia." Suara Heka terdengar sangat dingin dan mematikan. "HEKA !!!" Rayhan berteriak nyaring." Rayhan mencengkeram rahang Heka dengan kuat. Wanita itu meringis. Sudut matanya menitikkan air. Hatinya berdarah! dia diperlakukan begitu kasar oleh suaminya. Membayang di matanya bagaimana Rayhan bersikap begitu lembut kepada Mia. Bagaimana Rayhan selalu mengulurkan tangan untuk Mia. Bagaimana mata Rayhan selalu memancarkan cinta untuk Mia. "Kau tau Heka, dulu aku melakukan kesalahan, hingga aku terpisah dari Mia. Andai aku bisa menahan emosiku, kami tidak akan pernah berpisah. Dan aku tidak akan pernah bertemu denganmu. Aku tidak akan pernah merasakan kehilangan anak!" Rayhan berjalan merapatkan tubuh Heka ke dinding, "Jangan sampai aku menjadi orang yang sama lagi! Dengar Heka, aku akan mempertahankan keluargaku bagaimanapun caranya. Meski itu artinya aku harus menyingkirkanmu! Aku tidak akan segan-segan membunuhmu jika terjadi sesuatu kepada mereka. Jangan pernah lagi kau berani mengancamku dengan cara menyakiti mereka. Kupastikan kau tidak akan pernah lagi melihat matahari di pagi hari jika kau melakukan hal itu." Tubuh Rayhan gemetar. Lelaki itu hampir saja kalap dan melenyapkan Heka di tempat itu. Rayhan mencengkeram lengan Heka sangat kuat. Dia menyeret Heka keluar dari ruangannya, lalu mendorongnya. Wanita itu jatuh tersungkur ke lantai. "Aray..!" pekiknya dengan suara yang nyaring. Wajahnya bersimbah air mata. "Jangan pernah lagi kau kembali ke tempat ini jika yang kau inginkan adalah kembali kepadaku." Rayhan menunjuk wajah Heka. Nada ancaman terdengar jelas dari suaranya. "Akan lebih baik jika kita melakukan acara perceraian seperti yang kau katakan." Rayhan menutup pintu ruangannya. Rayhan menyapu wajahnya dengan kasar. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi Heka. Dia sangat keras kepala. Wanita itu terlihat mengerikan bagi Rayhan. Namun satu hal yang pasti, dia bersungguh-sungguh saat mengucapkan akan melenyapkan Heka jika dia berbuat nekad. Entah bagaimana dan dari mana, pikiran buruk itu tiba-tiba menyerang kepalanya. Dia tidak main-main saat mengucapkan hal itu. Keadaan menjadi sangat sulit bagi Rayhan. Dia harus memendamnya sendiri. Mia adalah tempatnya berkeluh kesah selama ini, tempatnya menyandarkan segala keresahan. Namun ketika dia harus menanggungnya sendiri, semua ini terasa sangat berat. Apalagi dia harus bersikap seolah tidak terjadi sesuatu saat mereka bersama. Rayhan membasuh wajah dan menenangkan dirinya. Tubuhnya masih terasa gemetar karena emosi yang begitu kuat. Wajar saja jika reaksi Rayhan seperti itu. Bagaimana mungkin amarahnya tidak berkobar jika wanita yang begitu dicintainya diancam akan dibunuh! Heka memang benar-benar telah kehilangan kewarasannya, ambisinya yang besar akan cinta Rayhan telah membuatnya gelap mata. Dia beruntung Rayhan tidak melenyapkan dirinya saat itu juga. Rayhan meraih ponselnya di atas meja nakas. "Sayang... kau sudah bangun?'" Rayhan menghubungi istrinya. Suara Mia adalah pelarut segala rasa amarah, sedih dan kegundahan yang melanda. "Ya..." sahut Mia dengan suara yang parau, "hei... kau di mana?" sahutnya dengan nada suara terkejut saat melihat Rayhan tidak lagi berada di ruangannya. Dia baru saja terbangun saat mendengar suara panggilan telpon dari Rayhan. "Aku mendadak harus pergi Sayang. Ada tamu di galeri. Maafkan aku, acara makan siang kita harus kubatalkan." nada suara Rayhan terdengar sangat menyesal. "Tidak masalah..., kau baik-baik saja. Suaramu terdengar suntuk." "Ya, aku hanya kelelahan." Rayhan mendesah. "Jangan bekerja terlalu keras. Ingatlah! Kami pun membutuhkanmu." Mia berkata dengan nada yang lembut. "Ya, tentu saja. Terimakasih telah mengingatkanku. Aku akan pulang cepat malam ini. Aku akan makan malam di rumah." "Baiklah aku menunggumu." Mia menutup pembicaraan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD