6. DISAKSIKAN BINTANG-BINTANG

939 Words
Mia membelai pelan punggung Hasan dan Husein. Bunyi khas terdengar dari jam dinding yang menempel pada dinding kamar Hasan dan Husien. Mia memperhatikan, waktu telah menunjukan jam sembilan malam. Mia mengecup pipi dan kening kedua putranya berkali-kali. Dia lantas keluar dari kamar itu. Mia membuka pintu kamar, dia tidak menemukan Rayhan di sana. Ponsel suaminya tergeletak di atas meja nakas. "Pak Surya..., apakah suami saya pergi keluar?" Mia menghubungi pos keamanan yang berada di pintu pagar rumahnya. "Tidak Ibu, bapak ada di dalam," sahut surya petugas keamanan rumah mereka. "Baiklah, terimakasih." Mia menutup panggilan. 'Dimana dia?' Mia bertanya-tanya di dalam hati. Dia memperhatikan ke dalam kolam renang, Rayhan tidak berada di sana. Mia menyusuri pekarangan rumah, memperhatikan taman bunga mereka. Siapa tahu dia duduk di kursi yang terdapat di taman bunga. Dia pun tidak berada di sana. Mia menarik napas panjang dan dalam. Baru kali ini dia kesal memiliki rumah yang begitu besar. Mia tidak dapat menemukan suaminya. Mia bejalan kesisi kiri rumah menuju pekarangan samping di sebelah kiri. Jika pekarangan di sisi kanan rumahnya terdapat kolam renang, di sisi kiri terdapat kolam ikan yang besar dan rerumputan cantik yang menghijau. Terhampar di atas tanah. Bagaikan karpet yang dibentangkan di seluruh pekarangan rumah mereka. Dia melihat Rayhan duduk bersandar di dalam saung yang terdapat di atas kolam ikan peliharaan mereka. Mia melihat suaminya begitu lekat memperhatikan langit malam. Langit terlihat sangat indah dengan ribuan kilauan taburan bintang. Tetap indah walaupun tanpa kehadiran bulan. Perasaan Mia merasa tidak enak. Menurutnya suaminya sedang memiliki masalah, sehingga dia menyendiri seperti itu. Mia melangkah pelan mendekati Rayhan. Mia meraih radio kecil di tangannya, "Bu Rento, tolong bawakan kopi ke saung ya.." Mia bicara dengan asisten rumah tangga mereka. "Baik Bu..." wanita paruh baya itu menjawab. Di dalam rumah mereka setiap pekerja diberi radio talky walky kecil yang di selipkan di baju mereka. Rumah Rayhan yang sangat besar. Menyulitkan mereka untuk memanggil para pekerja di saat yang dibutuhkan. Sehingga mereka wajib membawa radio mereka masing-masing kemanapun. Jika mereka menggunakan ponsel mereka sering melupakannya dan terkadang tertinggal di dalam kamar. Dengan memakai radio, semua pekerja itu mendengar saat sang majikan memanggil dan membutuhkan sesuatu, sehingga saat pekerja yang dimaksud tidak dapat melakukan tugas yang diminta maka pekerja lain yang akan melaksanakannya. Di rumah itu ada ada dua belas pekerja. Dua orang di bagian dapur. Tiga orang untuk membersihkan rumah. Dua orang tukang kebun sekalian mengurus kolam renang. Tiga orang petugas keamanan. Satu orang supir dan satu orang membantu mengurus Hasan dan Husein. Mereka semua tinggal di rumah belakang bersama keluarga mereka. Rumah yang cukup besar dan nyaman, memiliki banyak kamar. Retno dan suaminya adalah kepala pekerja di rumah ini. Dia dan suaminya yang mengatur pekerja lainnya. Mia berjalan tanpa suara derap langkah kaki. Rumput swiss tebal yang mereka tanam menyamarkan suara langkah kaki. "Apa yang kau lakukan di sini Sayang?" Mia berjalan di atas titian menuju saung. "Astaga... aku pikir ada ninja cantik menyerangku. Berjalan dengan mengendap-ngendap untuk berduaan denganku" tubuh Rayhan terlonjak mendengar suara Mia yang tiba-tiba hadir di kesunyian. Raut wajah konyolnya terlihat lucu. "Mengendap-ngendap? Untuk apa aku mengendap-ngendap? Kau terlalu keras berpikir sehingga tidak mengetahui kedatanganku." Mia mendudukkan dirinya di sisi Rahyhan. "Kemarilah.." Rayhan membuka tangannya, dia merangkul Mia dengan hangat. Mia mendongakkan kepalanya "Apa yang kau lihat?" Mia melihat kilauan bintang yang cantik menghiasi langit malam. "Kau tau Mia... saat di pedalaman, aku setiap malam memandangi bintang-bintang. Aku mengigat saat-saat kita pergi bersama pertama kali. Kita duduk di atas atap kapal kecil, menyusuri kota Batu malam itu. Itu adalah kali pertama aku menyentuh tanganmu." "Ya, aku mengingatnya. Itu sangat indah. Mia menyadarkan kepalanya di pundak Rayhan. "Aku takut Mia.... Aku takut jika nanti aku hanya akan memandangi langit malam, seperti waktu itu. Sangat menyakitkan kehilanganmu." "Kau tidak akan kehilanganku Sayang. Ada apa sebenarnya?" Mia memandangi wajah suaminya. "Mia seandainya aku kehilangan kekayaanku, apakah kau akan meninggalkanku?" "Pernahkah aku melihatmu karena materi yang kau miliki?" Mia balik bertanya dengan dengan nada penekanan. "Aku memilihmu karena apa adanya dirimu. Bukan karena apa saja yang kau miliki." "Bagaimana jika nanti kita jatuh miskin? GVS harus terjual. Kau akan tetap bersamaku?" Mia menarik napas panjang, "Kuharap itu tidak terjadi. Semoga semua berjalan dengan semestinya." "Kau takut kehilangan GVS Mia?" "Bukan hanya GVS, aku takut kehilangan semua apa yang kita miliki sekarang." "Begitu pentingkah kekayaan ini untukmu?" "Penting Rayhan... Dengan apa yang kita miliki saat ini, kita dapat menafkahi tiga ribu anak yatim. Namun jika Tuhan berkehendak lain, maka itu itu telah menjadi ketentuannya. Kita bisa apa? Kita hanya bisa berdoa semoga kehidupan kita mendatangkan manfaat bagi orang lain." "Jadi... berdoalah agar dihindarkan dari kemiskinan." Mia menyentuh pipi Rayhan. Rayhan mengambil tangan Mia dan mengecupnya. Dia begitu bahagia memiliki seorang istri yang sangat memperdulikan orang lain. Pembicaraan mereka terhenti saat seorang gadis usia pertengahan 20-an mendekat membawa nampan berisi kopi dan kudapan. Saat gadis itu menghilang Rayhan meraih kepala Mia, lalu menyatukan bibir mereka. Mereka saling mengecup dalam waktu yang lama. Rayhan meraih radio Mia, "Kalian jangan ada yang mendekat ke area pekarangan sebelah kiri." "Baik Pak..." mereka menyahut di radio itu. "Rayhan apa yang kau lakukan?" mata Mia membulat, "kau sama saja mengatakan kepada mereka kita akan melakukannya di sini." "Kenapa? Ini rumah kita, dan kita suami istri." Rayhan berkata dengan nada cuek dan tidak perduli "Tapi..." Rayhan telah membungkam mulut istrinya dengan kecupan bibirnya yang brutal. Napas mereka berdua tersengal. "Kau gila Sayang..." Mia berkata saat Rayhan melepaskan tautan bibir mereka untuk bernapas. "Bukankah dari dulu kau menyukai kegilaanku?" Rayhan menaikkan tubuh Mia ke atas pangkuannya. Mereka merajut cinta disaksikan jutaan bintang-bintang yang berkilauan di langit. Mereka berdua terpejam menikmati rasa. Selalu terasa indah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD