Lamaran

1470 Words
    "Aku benar-benar tidak tahu, Ma. untuk apa aku menyembunyikan sebuah botol?" Kekeh Celine. "Lalu siapa lagi yang mengambilnya? Setan?!" ucap Luna yang tidak kalah sengit. "Terserahlah." Sungguh sebuah pertengkaran konyol hanya karena meributkan sebuah botol tupperware. "Hei, mau ke mana kamu? Aku belum selesai bicara!" Celine bergegas keluar dari dapur, ia sangat kesal dengan perlakuan ibu tirinya yang membesar-besarkan masalah kecil dan selalu berujung menuduh dirinya. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi tinggal satu atap bersama Luna. Bahkan dia sendiri bertanya-tanya apa yang ayah lihat dari wanita itu sehingga meminangnya menjadi istri, sifat Luna sangat jauh berbeda sosok almarhum bundanya. Celine kembali ke teras, duduk di samping pria yang menatapnya dengan senyum saat melihat ia cemberut dan tangan bersedekap. "Ada apa?" "Tidak ada apa-apa. Hanya masalah kecil yang selalu dibesar-besarkan." "Bertengkar lagi? Sudahlah ... jangan diambil hati, bukankah memang begitu sifat ibumu." Raka, lelaki dengan rambut hitam legam itu mencoba nenenangkan. Jika boleh jujur, Celine sudah muak tinggal di rumah ini. Ayah yang tidak pernah bisa membelanya lebih sering diam bila ia dan Luna bertengkar, tapi juga tidak mengijinkan dirinya untuk tinggal di luar. Seandanya sang kakak ada di Jakarta, mungkin Celine akan memilih tinggal bersamanya. Untuk saat ini, ia hanya bisa bersabar menunggu kelulusannya kurang dari dua semester lagi. Jika sudah wisuda, ia tidak akan ragu meninggalkan rumah dan memilih pekerjaan di daerah yang jauh. Ada satu solusi lain yang sebenarnya Celine pikirkan, menikah. Toh ia dan Raka sudah saling mengenal selama kurang lebih tiga tahun. Hanya saja, pria itu terlalu bodoh untuk menangkap setiap kode yang ia lontarkan. "Cel ... kau masih kesal?" Raka meraih tangan Celine untuk kemudian dielus lembut. "Bagaimana jika kita jalan sebentar? Aku menemukan tempat bagus yang aku yakin kau menyukainya." Celine tampak berpikir sejenak sebelum mengiyakan. "Baiklah. Tunggu sebentar, aku akan ganti baju dan bilang pada Papa." Setelah mengganti pakaian rumahnya dengan short pant navy yang dipadu padan blouse biru langit. Celine pun menghampiri ayah dan ibu tirinya. Mereka tengah menonton acara televisi bersama. "Pa ... Celine pergi keluar dengan Raka ya?" Belum juga ayahnya menjawab, Luna sudah menyambar lebih dulu. "Kenapa Raka tidak masuk dan izin juga? Sebagai lelaki, harusnya dia bersikap sopan jika ingin mengajak pacarnya pergi." Celine mendengus kesal, tapi dia tetap keluar memanggil kekasihnya. "Mau pergi kemana kalian?" tanya Luna dengan nada tak ramah. Namun, beruntunglah karena Raka sudah hafal dengan tabiat perempuan tersebut. "Sebenarnya, saya sedang merahasiakan tujuannya dari Celine, Tante. Tapi saya janji akan membawanya pulang dengan utuh," jawab Raka dengan senyum sopannya. "Pergilah. Jangan pulang terlalu larut." Kali ini Arlan selaku sang ayah yang berbicara. Ketika di rumah hanya tersisa ia dan sang suami, Luna beranjak dari depan televisi menuju dapur dengan alasan mengambil minum dan cemilan. Setelah sebelumnya memastikan Arlan tidak mengikutinya. Luna mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang. "Selamat malam, Pak. Iya ini saya." ***** Raka dan Celine masih berada di dalam mobil yang tengah menembus jalanan ibu kota. Malam ini bulan terlihat begitu terang meski hanya separuh. Setelah berkendara kurang lebih satu setengah jam dengan keadaan jalan yang cukup longgar. Mereka memasuki parkiran sebuah gedung. Celine masih tidak paham dengan tujuan mereka, terlebih ketika ia turun ternyata Raka justru mengajaknya keluar dari gedung tersebut menuju area belakang dan di sanalah tempat yang di maksud, sebuah Festival Pekan Raya. Sudah sedari lama Celine tidak mengunjungi tempat seperti ini. Keramaian di sana seakan membuat mood wanita itu membaik. Dari mulai beragam jajanan khas daerah, permainan yang mengasah otak dan ketangkasan, hingga bermacam-macam komidi putar. Celine begitu menikmati malam ini. Dengan permen kapas di tangan kanannya, upah yang ia dapat dari melempar bola kecil agar masuk pada gelas yang sudah disusun. Raka lalu mengajaknya untuk naik bianglala. Tentu saja Celine mengangguk tanpa ragu. Begitu roda besar tersebut berputar, Celine tidak bisa menyembunyikan raut kagum akan pemandangan yang mereka dapat ketika round berada tepat di paling atas. Raka pun ikut senang melihat kekasihnya yang sedari tadi tersenyum. "Celine," panggil Raka seraya menggenggam lembut tangan Celine dan menatapnya. Wanita yang semula memandangi sekitar pun teralihkan. "Kita sudah menjalin hubungan selama tiga tahun." "Ya." Kemudian hening. Raka terlihat gugup, membuat Celine menduga-duga apa yang dipikirkannya. "Cel...." "Ya?" "Kita ... Kita sudah mengenal satu sama lain selama kurang lebih tiga tahun 'kan?" "Hm...." Celine mengangguk, diam-diam merasakan dadanya ikut berdebar. Apakah mungkin Raka akan mengucapkan hal yang selama ini ia inginkan? "Aku .... Aku." Celine masih menatap Raka dengan sabar, menanti penuh harap lontaran lamaran yang selama ini ia nantikan. "Aku rasa ... Aku rasa." "Kau apa?" Demi apapun Celine merasa ikut gugup. "Aku rasa, a- aku mulai pusing." "Hah?" Sorot mata Celine berubah bingung hingga tanpa sadar menganga tidak elegan. "Sepertinya round ini berputar terlalu kencang. Bagaimana jika kita turun lebih cepat." Hancur sudah. Sepertinya Celine memang terlalu berharap. Hingga perkataan Raka yang tidak sesuai dengan ekspektasinya mempengaruhi raut wajah wanita tersebut. Pada akhirnya mereka turun lebih awal dari yang seharusnya. Dalam hati Celine terus merutuk. Menyesali harapannya yang terlalu tinggi. Ya ... Celine baru ingat Raka tidak terlalu suka berada di tempat tinggi, tapi kenapa juga lelaki itu mengajaknya naik bianglala. Lupakan semua khayalan tentang adegan indah nan romantis karena kenyataan tidak semulus wajah artis. Ish, Celine benar-benar kesal. Dia mendadak pendiam dan menurut saja ketika Raka mengajaknya ke Kafe. Sepertinya Kafe tersebut adalah tempat favorit di sekitar sini melihat banyaknya pengunjung yang memenuhi bangku luar (kanopi) Celine diminta menunggu sebentar di luar oleh Raka. Meski ia tak mengerti alasannya, tapi wanita itu hanya menurut patuh. Namun, sekian menit berlalu Raka masih tidak tampak keluar dari Kafe. Celine yang coba menghubunginya lewat panggilan pun tidak dijawab. Insiden bianglala tadi, ditambah sekarang harus menunggu sendirian memperparah moodnya. Ia merasa layaknya orang tersesat yang dibuang. Celine menghentakkan kaki jengkel seraya menatap ponsel yang mana untuk kesekian kalinya Raka tidak menjawab panggilan. Pada akhirnya, berbekal rasa kesal ia menaiki undakan anak tangga dengan luapan emosi hingga tanpa sengaja menabrak d**a seseorang yang berjalan turun dari arah berlawanan membuat ia hilang keseimbangan dan ponselnya terlempar. Kejadian tersebut begitu cepat, kemungkinan besar Celine akan tergelinding jatuh dengan memalukan bila saja lelaki itu tidak sigap menangkap pinggang rampingnya. Kemudian bergerak menangkap ponsel yang nyaris terjun bebas. Wow, refleks yang sangat bagus, puji Celine dalam hati. "Kau tidak apa-apa?" Suara lelaki itu menyadarkan Celine dari keterkejutan dan segera melepaskan diri. "Ya, aku baik-baik saja. Maaf sudah menabrakmu." "Berhati-hatilah!" Dia menyodorkan ponsel milik Celine. Wanita itu mengambil gadgetnya dengan wajah tertunduk malu. Sungguh, ia tidak berniat bertatap muka dengan lelaki di hadapannya ini. "Terima kasih." "Celine," panggilan Raka membuat keduanya menoleh bersamaan. Sementara pikiran Celine menebak kemungkinan Raka akan cemburu jika melihat kejadian tadi. Namun, hal yang tidak diduga justru Raka menyapa hangat lelaki asing ini. "Nik?" "Hai, Raka." "Wah, sebuah kebetulan kita bertemu di sini." "Aku hanya mencari hiburan saja. Bagaimana kabarmu?" "Aku baik. Ah, kenalkan ini ... kau pasti sudah tau, pacarku Cel--" Ucapan Raka terpotong oleh lelaki di hadapannya "Celine Jovanca Sadie 'kan? Halo, saya Nicholas Arka Bagaskara." Suasana terasa sedikit canggung, bahkan Celine sempat menatao sejenak pada Raka sebelum menyambut ragu uluran tangan berbalut perban tersebut dan ketika tatapannya jatuh pada sorot mata cokelat yang kelam. Untuk sesaat Celine seperti tenggelam, terhipnotis pada sesuatu yang bahkan ia tidak tahu apa itu sampai Nicholas melepaskan tautan mereka lebih dulu. "Kami duluan." Raka pun menggandeng tangan Celine masuk. *** Di dalam Kafe, Celine terus menatap makanannya. Pikiran wanita itu tengggelam dalam rasa penasaran. Entah mengapa Celine merasa pernah melihat pria tadi sebelumnya. Dia berniat menanyakan pada sang kekasih, tapi secara mengejutkan Raka tidak ada di hadapannya. Mungkin karena Celine terlalu larut dengan pikirannya hingga tidak menyadari pria itu menghilang. Celine memindai seisi ruangan Kafe untuk mencari sosok Raka, hingga mendadak terdengar suara familiar yang berasal dari panggung. Sontak Celine menutup mulutnya tak percaya. "Ini untuk gadis tercantik yang hadir di dalam hidupku, dia duduk di sana. Celine ... namanya Celine." Lalu denting gitar dipetik mengiringi Raka yang bernyanyi, meski dengan suara pas-pasan serta nada yang tak beraturan, tetap sukses membuat Celine tersenyum. Forever can never be long enough for me Feel like I've had long enough with Forget the world now we won't let them see But there's one thing left to do Now that the weight has lifted Love has surely shifted my way Marry me Raka berjalan ke arah Celine. Today and every day Marry me If I ever get the nerve to say hello in this cafe Raka lantas berlutut di depan Celine yang masih duduk kaku menutup mulutnya. Say you will Mm-hmm Say you will Raka mengeluarkan kotak biru dari sakunya, sebuah cincin putih sederhana yang sukses membuat Celine terkejut haru. "Celine, aku minta maaf karena selama tiga tahun hubungan kita aku belum mengajakmu untuk kukenalkan pada orang tuaku." Celine terdiam mendengarkan tiap kata yang Raka ucapkan. Hal yang sejak dua tahun lalu ia inginkan. "Mungkin aku juga belum bisa menikahimu tahun ini karena ada hal yang belum aku capai, tapi dengan cincin ini kuharap kamu percaya jika aku sungguh-sungguh pada hubungan kita. Apa kau mau menerimanya?" Air mata Celine tak terbendung lagi. Tetesan bening yang menjadi bukti betapa hatinya membucah akan kebahagiaan pun mengalir di pipinya. "Yes, I will," jawab Celine Seketika Kafe tersebut riuh dengan iringan tepuk tangan tatkala Raka menyematkan cincin di jari manis Celine, lalu meraupnya ke dalam pelukan. "Aku mencintaimu," bisik Raka ***** To be continue.. Thank you for reading ^^ Don't forget tap love  & coment  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD