Prolog
Gadis kecil berkulit putih tengah mengukir kurva manis menampilkan deretan gigi s**u yang hilang dua di bagian tengah. Sebelah kaki yang berpijak pada papan scooter berwarna pink, membuat dorongan refleks terjadi di sebelah kakinya yang lain. Rambut cokelat gelap sepinggang yang menjuntai lurus di hiasi pita putih mengayun manis kala pergerakan roda mengitari lantai earth tones rumah mediterranean khas Italian culture.
Dentuman jam klasik yang berdiri kokoh di samping stucco fireplace memekikkan indera pendengaran. Gadis kecil itu menoleh sedikit, jarum bergerak menunjukkan pukul 12.00 WIB. Waktu di mana perut mulai protes meminta sumber nutrisi. Sembari menenteng benda kesayangannya, si pemilik pipi merona itu menaiki anak tangga dengan senyum yang paling sempurna.
Tiga empat anak tangga terlewati, suara aneh mulai terdengar. Bunyi aktivitas sepasang insan yang seharusnya tak boleh di dengar oleh seorang anak seusianya. Namun sayang, rasa penasaran kian menambah tanya di lubuk hati membuat tubuh mungilnya semakin mendekat ke sumber suara.
"Ayah?" Panggilnya saat tiba di bibir tangga.
Iris cokelat terangnya menangkap sebuah pintu berwarna hitam yang sedikit terbuka, menampilkan adegan tidak senonoh yang membuat mulutnya membuka bulat, kemudian mengatup karena terkejut.
"A—ayah ... Ayah sedang apa?" Jarinya gemetar merasa takut.
Sementara yang berada di dalam ruangan sama sekali tak menghiraukan panggilan mungil itu, membuat si pemanggil merasa khawatir bercampur takut. Katakanlah anak kecil polos yang terkendali oleh rasa penasaran, hingga ia bertindak sesuai naluri secara mendadak.
Tangan mungil itu bergerak mendorong pintu, menyisakan sudut kecil hingga pemandangan di dalamnya mulai terlihat. "A—Ayah dan Bunda sed—" Ucapannya terhenti kala seseorang di dalamnya bukanlah yang ia harapkan. "Kenapa Ayah berpelukan bukan bersama Bunda?"
"A—AYELIR!" Bentaknya sedikit tergagap sebab terkejut bukan main, lelaki di ujung dunia manapun akan melakukan hal yang sama saat tertangkap basah telanjang bulat oleh seorang bocah berusia tujuh tahun. Berteriak karena takut, bukan melampiaskan amarah.
"Apa yang kamu lakukan di sini?! KELUAR!" Nadanya semakin meninggi, bergerak menutupi bagian bawah tubuh atletis yang dirasa vital.
Sementara seorang perempuan hanya bisa menyembunyikan seluruh tubuhnya di benda yang sama. Hawa panas yang menutupi sekujur kulit tak berpakaian kian menyeruak, meninggalkan sisa-sisa keringat dengan pasokan oksigen yang minim. Namun, irama naik turun bahu akibat pertukaran udara masih tertangkap jelas oleh si gadis, menandakan bahwa wanita itu tengah gelisah bersembunyi di balik selimut tebal.
Merasa terkejut sekaligus takut dengan bentakan tanpa disengaja itu, refleks Anyelir kecil mundur beberapa langkah tanpa mengatakan apapun. Masih termangu berusaha mengartikan setiap gelagat yang tertangkap oleh memorinya. Hingga tubuhnya menginstruksikan untuk berlari sekuat yang ia bisa. Tanpa di sadari, sebuah scooter yang ia bawa naik ke lantai dua tergelatak di sembarang tempat, kaki mungil sempat menginjak, maka keseimbangan badan tak mampu terkendalikan.
"AYAH!!! KYAAAAAAAAAA!"
Tubuhnya terhempas ke bagian ujung lantai yang tak memiliki pembatas sebab rumah hasil karya sang kepala keluarga ini belum sepenuhnya rampung. Tangan yang berusaha meraih apapun untuk bertahan ternyata tak memiliki kekuatan sebesar yang ia harapkan, hingga benturan keras terdengar kala tubuh seorang gadis terlentang dengan mata yang tertutup rapat. Anyelir terjatuh.
Sepasang insan yang berada di dalam kamar sontak berhamburan keluar, mata yang terbelalak dengan mulut yang terbuka sempurna menambah detak jantung berpacu diiringi rasa penyesalan yang tiada akhir.
"A—anyelir?" Bibirnya gemetar hebat, tubuhnya lemas seolah tak memiliki penompang barang secuil pun.
"Anyelir ... Hikss ... Anyelir kenapa tidur di lantai?" Isakan mulai terdengar kala ia berlari menuruni anak tangga, menangkap dengan jelas wajah pucat yang berlumuran darah segar. "ANYELIR! HIKSS ... ANYELIR!"
Lelaki itu mendekap tubuh lemas Anyelir ke dalam pelukannya, persetan dengan aliran darah segar yang membasahi tubuh tak berpakaian dengan celana pendek yang dipakai asal ... Anyelirnya terluka.
"Maaf Anyelir ... Maaf! Hikss ... Hikss maafkan, Ayah ... BANGUN ANYELIR BANGUN! Hikss ...,"
Tabiat manusia, mengutamakan sebuah nafsu duniawi yang berakhir dalam ngarai penyesalan. Menjadikan seorang anak kecil sebagai korban yang tidak semestinya, hingga tanpa sadar kehancuran kian menggerogoti kehidupan damainya.
"Jangan tidur di lantai ... Itu akan membuatmu dingin ... Hikss ... ANYELIR! ARGHHHHHHHHHHHHHHHHH!"
***
Beberapa bulan berlalu ...
Si gadis yang terbaring lemah dalam sebuah ruangan serba putih itu perlahan membuka matanya, beberapa bulan terlelap dengan cantik membuatnya mendapat julukan putri tidur. Mimpi gelap gulita itu kini perlahan memberikan cahaya, samar-samar ia dapat melihat sebuah sofa kosong yang tersimpan dengan rapi di sebrang tempat tidurnya.
Manik coklat nan cantik itu kini terbuka sempurna, menelisik setiap ruangan yang sunyi dan sepi. Semula mengabur, seperti jendela rumah diterpa hujan badai meninggalkan jejak embun. Tapi perlahan setiap benda terlihat nyata, dunianya kembali tak seperti ketakutan mendalam saat hidupnya diambang mati. Ia mengukir senyum, kembali teringat saat-saat di mana gadis manja tertawa bersama sepasang insan yang mulai menua.
"Ayah?" Panggilnya pelan. Namun, tak ada siapapun yang mendengarnya. "Bunda?" Lagi-lagi hanya gaung yang mengalun timbal balik dari bunyi asli suaranya sendiri.
Ia termangu sesaat. Apakah mungkin tidak selamat? Apakah ini yang dinamakan kematian? Kepala mungil yang menyimpan jutaan saraf memori hanya berputar-putar dalam ceruk sebuah tanya. Seolah dunia memang tak menginginkannya.
Namun fantasi itu buyar kala sebuah benda persegi berbahan dasar baja ringan terbuka sempurna. Tiga orang berpakaian serba putih masuk, dua orang insan yang saling berpelukan mendekat dengan isakan yang terdengar pilu. Semula kurva manis di sudut bibirnya terukir, namun hanya dua detik saja. Sebelum, wajah-wajah yang tercetak begitu terlihat aneh dan asing, ia kembali takut.
"Hallo, Anyelir."
"Si—siapa?!" Nadanya gemetar, menahan takut. Bulu-bulu angsa yang berpadu membentuk selimut tebal ia tarik, menutupi hampir seluruh tubuhnya, terlalu menyeramkan untuk sekedar membuka mata.
"Saya dokter Clara, jangan takut, ya? Biar saya cek kondisi kamu." Dokter cantik dibantu oleh dua orang perawat mulai melakukan pemeriksaan intensif usai gadis kecil terbangun dari komanya.
Sementara si gadis menganalisa gelagat baik yang tercipta, tubuhnya mulai tunduk, membiarkan wanita cantik bergelar 'dokter' itu memeriksa setiap lekuk organ yang dilapisi epidermis. Meneliti satu persatu wajah-wajah yang sangat asing di dalam memorinya. Mereka seperti bukan asing, tapi berubah-ubah kadang kala wajahnya sama, kadang berbeda, siapa sebenarnya mereka?
"Do—dokter?
"Ya? Apa ada yang sakit? Apa kamu pusing?"
Hening sekejap. Gadis mungil itu nampak terjebak dalam belenggu kebingungan yang luar biasa. Hingga sebuah tanya mengalun kian menambah isak tangis.
"Mereka berdua siapa?" Jemarinya menunjuk kepada sepasang insan yang tengah menatapnya penuh rasa cemas. "Mengapa mereka menangis di kamarku?"
Maafkan Ayah, Anyelir ... Maaf.