Bab 1 - Back And Kill It

2048 Words
Langkah karismatik khas gadis cantik menyerap atensi bak energi magnetik. Aura memikat beraroma cherry blossom seolah berhasil menghentikan waktu. Tatapan terpukau para karyawan penghuni gedung ini menambah tingkat kepercayaan diri gadis fashionable nan mewah yang tengah tersenyum dengan ramah. Hentakan sepatu boots selutut berwarna hitam, rok mini kotak-kotak yang membalut kemeja abu-abu dan bunyi gesekan anting-anting yang mengayun dengan manis itu sukses membuka setengah mulut lalu lalang insan berdasi. Usai menyapa seluruh karyawan yang sebetulnya tidak satupun ia kenali, langkahnya terhenti kala sebuah pintu besar berwarna cokelat dengan papan informasi di atas yang bertuliskan 'R.Sutradara Panca' berada tepat di depan mukanya. Gadis itu memutar kenopi setelah mengetuk pintu dan meminta persetujuan dari dalam ruangan. Setelah pintu terbuka sempurna, seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun tersenyum hangat sembari merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Membiarkan gadis manis yang ia kenal dengan perjuangan tak kenal lelahnya itu memeluk erat tubuh yang sudah mulai menua. "Duduk," perintahnya usai melakukan adegan melepas rindu. Kala mendudukkan bokongnya di sofa berwarna biru muda, gadis itu kembali mengedarkan pandangannya. Ruangan d******i pastel dengan beberapa rak buku dan meja bulat itu masih terlihat sama sejak dirinya menginjakkan kaki dua tahun yang lalu. "Nggak ada perubahan ternyata," kekehnya pelan. Lelaki tua itu menyilangkan kedua tangannya. "Bagaimana kabar aktris yang lagi nge-trend ini?" Mendengar pertanyaan itu sang gadis tersipu malu. "Papi bisa aja kalo muji," "Jelas dong! Anak didikan Papi itu pasti berhasil," "Anyelir saaaaangat berterimakasih pada, Papi!" Anyelir tersenyum simpul, ia bersyukur bisa bertemu dengan lelaki tulus yang kerap disapa dengan sebutan 'Papi'--seorang sutradara legendaris yang sudah berhasil menghantarkan karier Anyelir ke kancah nasional--Sebetulnya Anyelir enggan menyapa sang sutradara dengan panggilan 'Papi'. Namun, hal mudah seperti itu akan mendorong tingkat keakraban antar rekan kerja, katanya. Terlebih, 'Papi' adalah singkatan dari 'Panca Pirmuranggeng', ya ... nama panggungnya. "Papi akan terima ucapan terimakasih kamu, tapi dengan satu syarat." Satu lagi, Papi adalah orang yang tegas dan tepat waktu. Ia juga terkesan kaku sebab menganut paham adanya batasan antar rekan kerja agar terjalin profesionalisme. Kendati hal itu tentu saja tidak berlaku bagi Anyelir. Kedekatan mereka sudah seperti ayah dan putrinya, meski begitu mereka tetap bersikap formal bila berhadapan dengan khalayak umum. "Syarat? Syarat apa?" Tanya Anyelir heran. Sutradara Panca mengeluarkan sebuah buku dengan cover rumput gelap dan beberapa gambar yang menurut Anyelir kurang jelas. Mempertontonkan sekejap tepat ke arah bola mata Anyelir, kemudian menyimpannya di meja bulat yang memisahkan tempat duduk antara Anyelir dan Papi. "Papi udah lihat berbagai macam film romantis kamu, semuanya sukses-sukses. Sekarang udah saatnya kamu uji diri," "Uji diri?" Tanya Anyelir semakin penasaran. Sutradara Panca memberi tanda kepada Anyelir untuk melihat buku yang tergeletak dengan manja di meja bulat. Sembari tersenyum kikuk Anyelir mengambilnya. "Back and kill it?" Tanyanya, membaca setiap kata yang terpampang nyata di atas lembaran pembungkus halaman. Lelaki tua itu mengangguk. "Gimana? Pasti seru, kan?" "Tu—tunggu!" Anyelir menunjuk sebuah kata yang menurutnya ngeri. "I-ini kok kill it?" "Memang kamu tidak tahu artinya?" "Ta—tahu!" "Yasudah," "Ma—maksudnya, Papi nyuruh Alir main film bunuh-bunuhan?!" Sarkas Anyelir. "Bukan bunuh-bunuhan," bela Panca. Anyelir menelan salivanya terasa berat, ia sangat teramat terkejut. "Te—terus?" "Itu fantasi," sembari berdeham pelan, Sutradara Panca terkekeh, "cuman, harus bunuh orang, harus lari-larian, harus mainin pedang, harus pukul-pukulan. Tapi itu 'kan fiktif belaka, Lir. Kamu tau fiktif belaka 'kan?" Sutradara Panca mengacungkan jempolnya mantap. Tentu saja membuat Anyelir membulatkan mata, pasalnya ia tak pernah menyentuh film berbau baku hantam, apalagi bertahan hidup di hutan belantara dan bermain pedang-pedangan, membayangkannya saja membuat bulu kuduk Anyelir berdiri. "Itu bakalan jadi film terakhir yang Papi garap, masa kamu nggak mau. Karya Papi sendiri loh itu, buku yang Papi tulis hampir lima bulan tambah setengah," "Tapi Alir nggak bisa baku hantam, Pi." Anyelir menyimpan kembali buku itu di meja. "Jadi malaikat pencabut nyawa aja aktris mah bisa, apalagi cuman baku hantam, loncat-loncat dari ketinggian atau main pisau-pisauan!" "Tapi 'kan bahaya, Pi!" Potong Anyelir tegas. Sutradara Panca tertawa pelan, entah mengapa ia sangat percaya pada Anyelir. Aktris termuda, tercantik, terkaya dan terbaik hati rajin menabung itu tidak pernah mengangkat kepalanya, banyak rumor yang beredar mengatakan bahwa gadis itu sangatlah sombong, saking sombongnya ia selalu melupakan partner kerja yang menurutnya tidak penting. Tapi di hadapan Papi-nya, ia hanyalah gadis polos yang tumbuh dengan penuh kerja keras dan mau belajar dengan baik. Sebutan 'Berta Bee' sebagai nama panggung dari agensinya tidak mampu menyingkirkan nama Anyelir yang selalu diucapkan sutradara Panca, katanya nama Anyelir sangatlah cantik, secantik paras dan hatinya. "Kan mukulnya juga nggak beneran, ah kamu ini penakut sekali!" Ledek Sutradara Panca. "Ya kalo pas mukul kepeleset, bisa jadi beneran," "Alir nggak mau, ya?" Sutradara Panca menekuk wajahnya, memudarkan senyum saat sepasang alis berkerut. Ia juga menghela napas, memikirkan ketakutan yang muncul saat karya yang disayanginya jatuh ke tangan orang yang salah. Panca gelisah. "A--ah? Enggak kok, Pi." Sedikit kaku Anyelir menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tak lupa mempertontonkan deretan gigi putih rapi sebagai tanda merasa bersalah. "Alir cuman kaget aja dapet tawaran film action," alibinya. Pilihan mutakhir agar suasana mencair adalah cengiran khas Anyelir atau Alir—panggilan sayang kedua orangtuanya yang masih melekat hingga saat ini. Dengan senyum lebar bak potongan semangka itulah ia dapat kembali meluluhkan hati Papi-nya. Anyelir turut menghela napasnya berat. "Kenapa Papi milih Alir? Papi tahu 'kan Alir manja? Lagi mandi mati lampu aja Alir kayak orang kesurupan, lah ini tinggal hutan?! Bisa buka podcast paranormal experience kalo gini ceritanya!" Rentet Anyelir meminta pembelaan diri. "Papi nggak mau karya terbaik Papi jatuh ke tangan orang yang nggak becus." Sutradara Panca berdiri dari tempat duduknya, ia berjalan ke arah rak buku di sudut kiri. Di sana juga terdapat meja kerja dan kursi kebanggaannya. Menarik secarik kertas berlapis amplop cokelat tebal, seperti sesuatu yang tak asing di benak Anyelir kian menambah ritme detakan jantung yang cepat tanpa diminta. "Alir juga nggak becus," "Loh, kata siapa?" "Netijen di sosial media!" Kesal Anyelir. Keputusannya sudah mantap, menggerakkan kedua kaki untuk kembali duduk menghadap Anyelir. Tersenyum penuh arti seolah gadis dihadapannya adalah malaikat yang senantiasa menolong kala kesusahan melanda kaum lemah, walau kenyataannya tak begitu. "Anggap saja radio butut." "Ya ... Walaupun butut tetep aja kedengaran." Anyelir mengerucutkan bibirnya, membahas soal netizen memang akan memancing emosi yang sebelumnya damai dan ramah tamah. "Ini kontraknya." Sebuah kertas yang dilapisi map tersodorkan dengan manis pada Anyelir. "SE—SERIUS, PI?" "Satu tambah satu sama dengan duarius!" Pekik sutradara Panca. "Ka—kapan Papi bikin kontraknya?" "Kamu ini kenapa, sih? Kayak kali pertama take kontrak aja." Sutradara Panca tertawa renyah. "Papi jadi inget pas pertama kali kamu ke sini." "Ah, dua tahun lalu?" Anyelir mengerti, ingatannya kembali ditarik paksa. *** "Namamu Bertadine?" tanya seorang pria di hadapannya. Setelan casual berdominasi gelap dan sneakers berwarna putih memberikan ciri santai, namun, tetap rapi. Mendengar pertanyaan dari pria yang tak lain adalah seorang sutradara, gadis itu menoleh dengan tingkat kegugupan yang terus melejit tinggi. "A—anyelir ... panggil saja Anyelir," Ucapnya tersenyum kikuk. Sutradara itu mengangguk, kemudian sorot matanya kembali bergerak untuk menelisik kata-perkata yang berderet di setiap lembar kertas yang tengah di genggamnya. "Kamu tidak pernah membintangi film apapun?" Pertanyaan itu menimbulkan gelengan kepala dari Anyelir. "Sering ikut casting?" "Sering," "Sudah berapa kali?" Gadis itu menunduk seraya menggerakkan jari-jarinya untuk berhitung. "Tujuh belas!" Ucapnya seraya mengangkat kepala dengan penuh semangat. "Kok bisa?" "Kata bunda kalo mau sukses harus banyak gagalnya," "Bukan itu." Sutradara itu menyimpan lembaran kertas yang merupakan Curriculum Vitae Anyelir di meja bundar, meja yang memisahkan jarak antara Anyelir dan sang Sutradara. Anyelir mengernyitkan alisnya. "Lalu apa, Pak?" Sembari meluruskan tulang punggungnya, sang sutradara sama sekali tak mengalihkan pandang dari Anyelir. Melemaskan setiap otot-otot yang menegang usai memilah-memilih ribuan insan yang bertandang sebagai calon pemeran film. Tak ada yang membuatnya tertarik satupun, selain dia. Gadis polos yang tergugup setengah mati. "Kok bisa sutrada lain menolak kamu?" "Hah?" Tanya Anyelir tidak mengerti. "Berdirilah," Dengan kebingungan yang nampak kentara Anyelir bangkit dari sofa. Benda berlapis polyester senantiasa memberikan kenyamanan bagi siapapun yang mendudukinya, namun tak berlaku bagi Anyelir. Rasa gugup yang menghiasi setiap gelagat membuat apapun disekitarnya terasa janggal, entahlah mungkin hanya firasat saja. Lagipula ia memang sedikit sensitif terhadap hal apapun. "Kamu bisa pergi sekarang." Sutradara itu tersenyum simpul. Anyelir membelalakkan matanya, sudah tujuh belas kali mencoba dan kali kedelapan belas haru gagal lagi? Memang benar, biar sukses harus banyak gagal, tapi kalo gagalnya terus-menerus 'kan bisa lelah juga. Namun sepertinya ia tidak boleh menyerah, gadis itu menempelkan kedua telapak tangannya bak orang memohon di pemujaan. "Pak! Saya baru aja mulai interview-nya, apa saya harus ke ruangan sebelah untuk casting lagi? Saya yakin, saya bisa perbaiki kesalahan saya." "Pulanglah," sutradara itu menjeda ucapannya, "Kamu perlu istirahat." "Pak, saya ulang lagi ya, Pak? Saya yakin bisa, Pak!" Anyelir berusaha membujuk sang sutradara, entah mengapa kali ini ia begitu yakin dan sudah berusaha semaksimal mungkin. Sutradara itu tidak mendengarkan ucapan Anyelir, ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah sudut kiri. Tangan kanannya meraih sebuah buku yang berjudul 'Bunga Tidur Seorang Gadis' dengan cover berwarna putih, kemudian kedua kakinya mulai mengayun. Mendekati sasaran tepat yang nampaknya sangat tegang dan gugup. Sutradara itu kembali tersenyum, tak butuh waktu lama, buku yang digenggamnya sudah beralih kepemilikan. Anyelir menggenggam buku itu dengan tangan yang gemetar, perasaan bingung yang sangat luar biasa masih terlihat kentara. "Beristirahatlah dengan buku ini." Sutradara itu meraih pucuk kepala Anyelir dan mengelusnya pelan. "Dan besok datang kemari sebagai gadis yang terbangun dari bunga tidurnya." Tambahnya tersenyum hangat. "Ja—jadi ... ma-maksudnya bagaimana, Pak? Sa—saya?" Anyelir masih berada dalam tingkat antara terkejut dan tak percaya. Makna tersirat dari ucapan Panca membuatnya hanya bisa membelalakkan mata, mulutnya kelu untuk sekedar melanjutkan apa yang ingin ia katakan. Benarkah mimpinya terkabul? Hingga anggukan membuatnya menjerit seketika. "Kyaaaaaaaaaa!" Tersadar akan sikapnya yang hiperbolis, Anyelir kembali tersenyum kikuk. "Ma—maaf, Pak. Saya terlalu bahagia," pipinya merona menahan malu. "Kalo mau sukses harus banyak gagalnya. Kalo sudah sukses harus banyak senyumnya. Please give your best, Anyelir!" Ucap Panca ditengah kegembiraan yang terus menyerang lubuk hati Anyelir, hingga rasanya gadis itu akan meledak seketika. Ayah ... I'am okay. Rasanya terlalu berdebar, bahkan detak jantungnya semakin tak selaras, senyumnya terukir sangat manis meski tubuhnya sudah berada di luar ruangan. Ruangan yang memperkenalkannya pada harapan bahwa selepas badai, pasti ada pelangi. Seorang gadis berjalan mendekati, ikut tersenyum meski tak tahu apa yang sedang terjadi. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menyapa terlebih dahulu, berusaha memberikan tanda bahwa dirinya adalah orang yang dikenal Anyelir, meski sebaliknya tak begitu. Tangannya meraih pundak. "Lir," Gadis yang dipanggil menoleh, mengerutkan dahi seperti biasa. Akan mengalun tanya yang sama, "siapa kamu?" Lagi. Entah berapa ribu pertanyaan itu terus terlontar setiap saat, tapi tak apa, Batari sudah terbiasa. Gadis berambut hitam legam yang sejak lama menyandang gelar sebagai 'sahabat' sudah terbiasa dengan semua itu. Anyelir bukan sengaja, bukan sombong apalagi mengangkat kepala. Ia hanya sakit, sakit yang tak semua orang menyanggupi bila ada di posisinya. "Perkenalkan nama saya Batari Raharjeng!" Kemudian gelak tawa terdengar. Gaya bicara Batari seperti mahasiswa magang yang kedapatan melakukan kesalahan, terlalu dibuat-buat hingga pada akhirnya Anyelir mengenali. Tahu bahwa itu adalah Batari, tapi tak tahu bahwa paras Batari secantik dan sebaik hatinya. "Gue boleh meluk Lo?" Anyelir tiba-tiba bertanya datar, membuat Batari sedikit khawatir. "Nggak apa-apa, Lo masih punya ribuan kesempatan lagi, ya?" Tangannya terbuka lebar, membiarkan sahabatnya itu menyalurkan sedemikian kerumitan yang selalu menimpanya. Kadang kala Batari marah, entah pada siapa. Yang jelas mengapa harus Anyelir? Gadis polos yang selalu jadi korban, tanpa mengetahui kesalahannya. Ralat, lebih tepatnya ia memang tak bersalah. Anyelir hanya terdiam, menghirup semerbak rose khas tubuh Batari. Dekapan hangat yang selalu siap sedia memeluk itu tak pernah absen ia dapatkan. Baik suka maupun duka, selalu Batari. "Tar ... Gue—" Batari melepaskan pelukannya, menatap Anyelir seperti prajurit perang membakar semangat. "Lo harus semangat! Lo pasti bisa! Jangan nyerah, hidup Lo masih panjang, Lir!" "Ma—maksud gue—" "Pokoknya tahun depan harus ikut casting lagi!" Belum sempat Anyelir menjelaskan semuanya, Batari kembali memotong setiap perkataan hingga membuat Anyelir gemas. Mengikuti alur untuk sedikit mempermainkan sahabatnya. "Nggak mau," "Anyelir!" "Udah jadi artis kenapa harus casting lagi?" Batari membulatkan matanya. "MA—MAKSUD LO?" Gadis itu mengangguk mantap, membuat Batari menjerit sembari meloncat-loncat seperti bocah membeli ribuan gula-gula. Entah apa perasaan itu, yang jelas ia hanya bisa tersenyum puas. Akhirnya Lo berhasil, Lir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD