"Tar, kalo gue mati gimana?" Tanya Anyelir begitu masuk ke dalam mercy pribadi yang selalu digunakannya kemanapun ia pergi. Mercy kuning, paling mahal dan paling di sayang, kira-kira begitulah ucapnya.
Si gadis berambut hitam sebahu yang tengah memegang penuh kendali mobil itu menoleh sekejap. "Otak lo ketinggalan dimana sih, Lir?" Tanya Batari heran.
Ya, gadis itu adalah Batari Raharjeng—sahabat sekaligus manager Anyelir, orang yang memegang penuh seluruh kontrak kerjasama dan job Anyelir. Ibaratkan daun tanpa tangkai, Anyelir tanpa Batari bukanlah apa-apa.
"Ya kalo main bunuh-bunuhan 'kan serem, Tar!" Protes Anyelir.
"Lir, mana ada akting beneran. Lagipula itu cerita fantasi, seratus persen fiktif belaka!"
"Tapi 'kan tetep aja, gue nggak bisa baku hantam, Tar,"
"Kalo lo protes terus-menerus kayak gini, udah batalin aja, rewel banget!" Batari mendengus kesal, pasalnya sejak take kontrak tanpa pemberitahuan yang dilakukan Anyelir dengan sutradara Panca, hampir sepanjang malam Anyelir mengeluh hingga rasanya kepala Batari ingin pecah.
"Kan, lo tahu, gue nggak mungkin batalin,"
"Yaudah kalo gitu, terima nasib!" Batari menyalakan sen kiri untuk segera memasuki area gedung agensi. "By the way lo temuin produser film sendiri ya, inget ruangannya, 'kan?"
Anyelir membulatkan matanya. "Loh, kok sendiri?"
"Lo nggak tau, ya? Gara-gara kontrak tidak sengaja yang lo buat, pihak iklan yang kita minta undur pemotretan itu protes!"
Gadis polos itu ber-oh ria, meski sebetulnya ia tak paham. "Pihak iklan yang mana?"
Batari berdecak kesal, percuma menjelaskan panjang kali lebar pada Anyelir, selain pelupa Anyelir juga lemot, amat teramat lemot hingga Batari rasanya ingin menggelitik sahabatnya itu dengan samurai. "Udah, pokoknya Nyonya terima beres saja, ya?"
Balasan berupa anggukan adalah alternatif Anyelir, supaya Batari tidak darah tinggi katanya. "Oke!"
Perlu diakui, Anyelir memang tidak mengerti seluk-beluk dunia entertainment, ia hanyalah lulusan SMA yang bertekad kuat untuk menjadi seorang aktris, bukan tidak sanggup Anyelir melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Namun, ia sama sekali tidak tahu harus memilih jurusan apa dengan segala kecacatan yang dimilikinya. Berbeda dengan Anyelir, Batari adalah seorang lulusan tata kelola seni yang sepertinya paham betul dengan masalah internal dunia per-aktrisan. Maka tidak heran jika Batari menjadi manager eksekutif Anyelir.
Anyelir memasang kaca mata hitamnya sebelum turun dari mobil. Seorang satpam berlari kecil ke arah mereka, membukakan pintu si mercy kuning, kemudian menganggukan kepala ketika Anyelir keluar dengan aura kecantikan dan senyum manis penuh pesona. Gedung pencakar langit di hadapannya sering disebut A3 atau A-three, karena merupakan singkatan dari Amazing Agency of Artists—sebuah agensi yang menaungi sutradara, script writer, foto/videografer, editor, komposer hingga produser film terbesar di negri ini.
Hamparan LED display yang berjejer di sepanjang lobby mengalihkan perhatian Anyelir, membuat ia semakin gugup memulai pembuatan film action perdananya. Anyelir menunggu giliran lift yang tengah bergerak menuju lantai bawah, gadis itu mengetuk-ngetuk high heels-nya bosan.
Lantai dua belas, namanya Pak Mahdi ... Lantai dua belas, namanya Pak Mahdi, rapalnya dalam hati.
Ia menghafal semua perkataan Batari, meski menurut sahabatnya itu Anyelir adalah tipikal orang yang lemot, namun, ingatan dan analisisnya amatlah tajam. Mungkin, kelebihan itu tercipta seiring dengan perawatan dan tes yang selalu ia terima.
Belum sempat tabung kotak bergerak itu tiba di hadapannya, seorang lelaki tua dengan setelan jas serba hitam dan dasi berwarna biru muda polos tersenyum ke arah Anyelir. Tidak kenal. Sama sekali Anyelir tidak mengenalinya. Gadis pemilik iris cokelat itu hanya membalas senyum singkat, pikirannya hanya tertuju pada sapaan ramah yang biasa dilakukan para penggemar untuk mendapatkan balasan senyum darinya.
"Berta Bee," Panggilan tiba-tiba lelaki itu membuyarkan angan-angannya, seketika ia menoleh mendapati uluran tangan kekar yang membuatnya mundur beberapa langkah.
Anyelir kebingungan setengah mati, gadis itu mengernyitkan alisnya seraya tersenyum paksa. "A—ah i–iya." Masih berpikir berusaha menerka identitas lelaki pemilik rambut pirang yang tersisir rapi di hadapannya, tidak mungkin juga ia hanyalah sebatas penggemar selewat, lagipula sorot mata yang terpancar menandakan tipikal keseriusan yang nampak kontras.
"Bagaimana script-nya? Sudah dibaca semua?"
Benar saja. Lelaki yang berjabat tangan barusan bukanlah orang biasa, jika ia mengetahui schedule Anyelir tentang proses reading script, artinya ia adalah orang penting. Sedikit memiringkan kepala, Anyelir semakin bersusah payah mencari titik di mana ia mengetahui identitas, namun sayang, tak ada sebuah id-card atau ciri-ciri yang dominan di sana.
"S—script?" Bodoh. Satu kata yang menggambarkan perilakunya saat ini, jujur saja ia bingung harus mengikuti alur percakapan dengan reaksi seperti apa. Sial Batari!
"Setelah kontrak kerjasama dan persetujuan–"
"Pak!" Teriakkan dari arah belakang berhasil menyelamatkan Anyelir secara tidak langsung.
Seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh tahunan mendekat. Kemeja kotak-kotak yang terbuka dengan id-card yang menjuntai khas karyawan A3 semakin membuat Anyelir bernapas lega. Terlebih ketika percakapan di mulai seraya benda yang berisi kertas-kertas di serahkan pada lawan bicara Anyelir sebelumnya.
Anyelir mulai mencari ide.
Beruntung, lelaki tua itu membelakangi tubuhnya, maka dengan sigap ia memundurkan langkah sembari memakukan tatapan sebagai tanda mengawasi. Lima enam ayunan kaki bertaut menuju sebuah meja berlapis pahatan rhombus jingga. Semua berjalan seperti rencana yang tersusun melaui ide-ide dadakan Anyelir, hingga sebuah benda keras yang ia yakini adalah makhluk hidup bernama manusia menghatam tubuhnya. Ralat, lebih tepatnya ia yang menghatamkan diri, sebab seseorang yang berdiri di belakang tubuh mungil Anyelir hanya diam saja.
"Kamu mau bersanding dengan undur-undur, ha? Mata kamu di depan, bukan di belakang!" Protes suara bariton yang sangat asing baginya, nada tinggi terdengar persis di gendang telinga Anyelir hingga membuat bulu kuduknya sedikit berdiri.
Anyelir berbalik, mendapati lelaki berambut ikal tengah menyilangkan kedua tangan dengan alis tegas menandakan amarah. "So—sorry," Ucapnya singkat. Sementara pandangan kembali beralih ke arah lelaki tua membuat sang korban tabrakan tubuh itu merasa jengah.
"Rumor itu memang benar, ya? Kamu orang yang sombong bahkan di saat semuanya murni kesalahanmu!" Cibirnya tajam.
Anyelir sedikit menoleh, mendapati ekspresi merendahkan yang bertabur amarah. "Aku jelas udah minta maaf, jangan ngomong sembarangan!" Timpalnya dengan nada yang mulai meninggi.
"Berta Bee!" Teriakkan sang lelaki tua itu kembali terdengar. Sontak membuat tubuhnya terduduk, bersembunyi di balik meja front office dengan pandangan yang terfokus pada sepasang sneakers milik lelaki di hadapannya.
Mati gue!
"Kenapa sembunyi?" Lelaki pemilik iris hazel pekat itu merunduk. Mendapati seorang gadis yang tengah kalang kabut dengan aura kecemasan yang nampak kentara, entah mengapa sebelah sudut bibirnya tersungging singkat. Terlebih saat Anyelir mulai mencengkram kuat chino khaki yang dikenakannya.
Satu fakta yang sempat ia lupakan, bahwa Anyelir bukanlah orang biasa. gadis itu adalah seorang aktris yang tengah naik daun. Mengingat perilaku bodoh terpampang nyata di depan matanya, sudah dipastikan bahwa hipotesa sesaat tak pernah melenceng dari lelaki yang memiliki tinggi sekitar 182 cm. Pasti ada alasan kuat mengapa ia terduduk di lantai hanya karena tidak mengenali Pak Mahdi—lelaki tua yang tengah kelimpungan mencari keberadaan Anyelir saat ini.
"Saya nggak kenal sama dia." Anyelir menunduk, memejamkan matanya menahan rasa malu yang sudah menggerogoti harga diri.
"Saya aja tahu kamu punya projek sama dia, masa kamu nggak kenal?"
"Sa—saya ...," pukulan telak. Anyelir membisu. ini lah alasan mengapa ia tak bisa hidup tanpa Batari, selain rahasia yang tak mungkin terbongkar ke publik. Kelainannya akan selalu menjadi penghalang yang lagi-lagi mendatangkan rasa cemas. Ketakutkan yang selalui menghantuinya bukanlah bayangan semu. Semua nyata, kian menambah beban di pundak ringkih yang berusaha berdiri kokoh setiap hari, hingga Anyelir hanya bisa menggigit bawah bibirnya.
"Saya apa? Saya seorang aktris? Aktris yang tak pernah sadar bahwa di bumi yang ia pijaki hanyalah sebagai seekor serangga kecil! Dasar besar kepala!"
Pukulan mentah kembali dilayangkan. Di cap sebagai aktris yag sombong telah menjadi makannya sehari-hari. Tapi, bisakah lelaki dihadapannya ini memilih kata-kata yang tepat dari sekedar u*****n tak berdasarnya? Sungguh, saat ini ia terlihat seperti manusia yang berada di tingkat paling rendah, saking rendahnya Anyelir hanyalah bayangan tak berarti.
"Pokoknya nggak kenal!"
"Kalo begitu biar saya panggilkan,"
"Nggak usah! Kasih tahu saja, siapa dia?"
Enggan mendongak untuk melihat eskpresi lelaki itu, Anyelir hanya bisa menunduk sesekali mengedarkan pandangan ke arah lelaki tua yang tengah mencarinya.
"Maksud kamu namanya?"
Anyelir mendecak kesal. "Jenis kelaminnya!"
"Laki-laki," sahutnya singkat.
"Ck!" Entah sejak kapan Anyelir mengepalkan tangannya, baru pertama kali ia mendapati lelaki paling menyebalkan di sepanjang hidupnya.
"Emang jawaban saya salah?"
Gadis itu terdiam, memang tidak ada yang salah dengan jawaban itu. Tapi ... Oh ayolah apakah ada yang sependapat dengannya saat ini? Terbawa oleh rasa cemas yang tak pernah absen menemani, berusaha terlihat biasa saja padahal itu bukanlah kehendak yang disengaja. Apa lagi yang bisa Anyelir perbuat selain pasrah dengan harapan lelaki di hadapannya memberi belas kasihan untuk sekedar menyebutkan nama.
"Seharusnya saya nggak usah nanya sama kamu!"
"Saya akan kasih tahu." Si pemilik rambut ikal tersenyum penuh kemenangan, ada sepintas ide yang dapat diartikan bahwa Anyelir akan menjadi penolong dalam keresahan yang selama ini berputar-putar di otaknya. "Tapi ada syaratnya!"
"Huft ... Jadi orang ikhlas bisa nggak, sih?"
"Yasudah kalo tidak mau!" Langkah lelaki berambut ikal hendak mengayun pergi, namun teriakkan nama Anyelir kembali terlontar hingga cengkraman kuat dari arah bawah kaki menghentikan niatnya.
"Iya-iya! Apapun syaratnya saya ikutin!"
Lelaki dengan stelan serba santai itu menoleh pada seseorang yang terus meneriakkan nama 'Berta Bee', ia tersenyum lalu berteriak. "PAK MAHDI!"
Pada saat bersamaan Anyelir berdiri, kini ia ingat, lelaki tua itu adalah salah satu alasan ia datang kemari. Tapi sungguh, tidak mengenalnya adalah hal di luar kendali Anyelir, sebab rencana awal adalah mendatangi ruangannya, bukan berpapasan di lobby.
"Berta Bee? Kamu sedang apa di situ?" Tanya Pak Mahdi, seorang produser film action Anyelir yang nampak merasa bingung.
"Ah? I–itu tadi kacamata saya jatuh!"
Tepat sesuai harapannya, lelaki tua itu ber-oh ria.
"Sutradara Janu?" Kini pertanyaan itu beralih, Pak Mahdi baru menyadari bahwa tepat di depan mata yang terkikis jarak sebesar dua meter itu berdiri seorang lelaki di samping Anyelir.
"Oh ... Saya disuruh Berta Bee memanggil Bapak," ucapnya santai. Sukses membuat Anyelir membelalak terkejut.
Sungguh, jika bukan karena ia sangat membutuhkan informasi identitas produser film dari lelaki yang bernama 'Janu' itu, hingga titik darah penghabisan pun Anyelir tidak akan pernah mau mengenalnya. Tak ada aktivitas lain yang mampu dilakukannya selain tersenyum kikuk sembari melirik tajam ke arah lelaki itu dengan berbagai u*****n di dalam hati.
"Kenapa Berta Bee me--"
"Saya sudah memanggil Bapak berkali-kali, tapi Bapak sepertinya tidak dengar teriakkan saya!" Potongnya cepat.
Alasan macam apa ini? dasar Anyelir b**o!
"Ah maaf membuatmu menunggu, saya tadi ada urusan mendadak," Untung saja ia bisa bernapas lega mendapati respon yang sesuai dengan harapannya, namun, tetap saja rasa kesal masih kentara hinggap di benaknya.
"Kalo begitu saya permisi, Pak." Lelaki yang bernama Janu itu tersenyum singkat usai menerima anggukan dari Pak Mahdi.
Kala tubuhnya bersiap beranjak dari tempat semula, ide yang sempat tercetus akan segera di mulai melalui sebuah tepukan pundak. "Besok jam lima sore di cafetaria lantai satu. Hanya orang munafik yang mengingkari janji!" Bisikkan Janu memang pelan, namun, cukup menusuk gendang telinga Anyelir.
Gue? Munafik? Dasar tidak waras!
"Berta Bee? Kenapa?" Pertanyaan Pak Mahdi tercetus sebab ekspresi Anyelir nampak seperti orang yang terhipnotis, terdiam dengan mata yang sama sekali tidak berkedip.
"Ah—nggak, Pak. Ngomong-ngomong, ada pembicaraan penting apa, Pak?" Gadis itu mulai mengalihkan pembahasan, taku-takut Pak Mahdi mulai menginterogasi sebab kesadaran Anyelir belum sepenuhnya penuh oleh bisikan sialan dari Janu.
"Kita akan mengadakan meeting di ruangan saya. Tapi, saya harus memperkenalkan kamu terlebih dahulu dengan Pak Wiro." Lelaki berusia sekitar enam puluh tahunan itu mengedarkkan pandangannya, mencari seseorang yang nampak asing di memori Anyelir.
"Pak Wiro?"
"Dia pelatih taekwondo yang akan menjadi coach bela dirimu untuk beberapa minggu ke depan,"
"Ta—taekwondo? Saya? Belajar taekwondo, Pak?!"
Pak Mahdi menoleh kala respon sangat terkejut Anyelir terlihat menngkhawatirkan. Dari gelagatnya saja terlihat kentara untuk sekedar menutupi bahwa ia tidak cemas. Gadis itu berkeringat dingin, entah apa penyebab pastinya.
"Iya, memangnya kenapa? kamu kayak lemas gitu?"
"Saya nggak pernah belajar bela diri, Pak."
"Itulah alasannya saya memanggil Pak Wiro,"
Gadis bersurai cokelat itu mengigit bawah bibirnya, berusaha memberi penekanan atas apa yang dirasa berada di luar kendali. Bukan tak ingin Anyelir berlatih olahraga yang mengedepankan pukulan dari setiap gerakannya, tapi ia takut ... sangat takut membuat kesalahan fatal yang mengancam rahasianya.
"Saya akan berusaha, Pak." Senyumnya memudar.
Kini Anyelir termangu. Setelah syok bertemu pria absurd bermulut cabai seperti Janu, kejutan yang lebih mengejutkan dari sekedar pesta ulang tahun semakin membuat dadanya sesak, seolah ditenggelamkan dengan keadaan.
Anyelir? Baku hantam? Oh apakah semesta sedang membercandakanku?