Bab 41 - Sisi Lain Janu

1012 Words
"Jadi, ini semua direncanakan Dokter Ricky?" Anyelir menyeruput jus jeruk yang dipesankan oleh Janu—sang kekasih, sekarang. Entahlah bisa disebut begitu atau tidak, dari Janu pribadi sudah ada pengakuan yang jelas bahwa lelaki itu mencintai Anyelir. Mengungkapkan apa yang selama ini ia rasa, cara Janu memang sedikit berbeda. Orang akan bertekuk lutut lantas bertanya mau atau tidak? Sementara Janu sudah begitu yakin, mencap bahwa Anyelir adalah kekasihnya. Pada dasarnya Anyelir tidak menolak Janu, ia juga belum mengatakan 'iya' sebagai persetujuan menjadi kekasihnya. Tapi untuk saat ini Anyelir tidak mau membahas itu, toh jelas bahwa artis cantik itu memang menyukai Janu bahkan mengecup bibir Janu terlebih dahulu. "Kamu ingat waktu kita berkumpul makan malam dengan warga desa? kalau tidak salah itu di hari-hari terakhir ... kamu seperti marah sama saya lalu tiba-tiba masuk." Janu juga turut menyeruput jus jeruk yang sengaja dipesan serupa, enak katanya. "Tapi ... bukan saya nggak mau mengejar kamu. Saya sedang bertanya pada Dokter Ricky terkait tempat-tempat indah di Berau," lanjut Janu menceritakan. Anyelir mengangguk-angguk tanda paham. "Berarti ... Pak Janu pergi rapi pagi-pagi bersama Dokter Ricky untuk ke sini?" "Untuk kamu," Merona sudah pipi Anyelir. Sisi lain Janu yang baru ia ketahui, entah Janu belajar banyak dengan Ricky atau ia mulai tertarik dengan dunia percintaan. Sedikit banyak kalimat Janu terkesan tabu, tapi memang begitu faktanya. Dan itu terdengar indah di telinga Anyelir. Rencana yang Janu setting sedemikian rupa begitu tersimpan ciamik di memori Anyelir, siapa yang menyangka? Manusia tempramental yang bersifat dingin serta kaku rupanya memiliki perlakuan manis yang tak terduga. Bukan perkara tampan dan mapan, tapi soal hati dan perasaan. Anyelir sadar posisinya di mana, ia hanya ingin menikmati masa sekarang. Tak ingin mengingat masa lalu, juga tak ingin menerka masa yang akan datang. Anyelir bukan Tuhan, hanya perlu waktu untu menyesuaikan tanpa beranggapan buruk nantinya. Semoga. ** Dua insan yang baru dimabuk asmara tengah berjalan diantara pesisir pantai menuju jembatan apung kayu, keduanya membuang muka menetralisir detak jantung yang memompa di waktu yang salah. Janu yang sejak tadi menahan diri untuk tidak mendekati Anyelir lelah juga, masih menatap hal yang tidak penting tanpa mengucap sepatah kata. Tanpa sadar tangan Janu mencari tangan Anyelir, ia genggam erat sembari berjalan bersama menikmati indahnya menjalin asmara. Sesampainya di villa yang ditempati Batari juga Anyelir, sangat disayangkan pintunya sudah dikunci. Padahal jam baru menunjukkan angka satu, kecil kemungkinan Batari sudah terlelap apalagi ditinggalkan sendiri di tempat asing. "Ke villa saya aja," Janu berujar tanpa mau menatap mata Anyelir sangking groginya. "Nggak, Pak. Nanti ngerepotin lagi!" "Terus kamu mau tidur di luar?" Menyebalkan memang manusia setengah Batari saat merajuk, entah karena alasan itu atau memang semuanya settingan Janu lagi. Terlalu alami sampai Anyelir tak sedikitpun curiga bahwa Batari, Aruna, Diego Zoo merencanakan proses pernyataan cintanya Janu. "Ya—yaudah kalo gitu," "Sini." Janu menyodorkan telapak tangannya yang kekar, paham Anyelir dengan maksud itu lantas menggenggam erat tangan Janu. "Ayo beristirahat," Tidak jauh, hanya berjarak belasan langkah dari villa Anyelir. Janu membuka kunci pintu miliknya, mempersilahkan Anyelir untuk masuk dan terduduk di tempat peraduan. "Saya bisa tidur di sofa, kamu tidur di situ." Janu nampak mulai mendudukkan dirinya di atas sofa, hal yang terjadi hari ini cukup membuatnya lelah. Ingin segera terjun ke dalam belenggu alam bawah sadar. Menikmati hari yang akan datang bersama sang pujaan hati. "Saya di sofa juga nggak apa-apa kok, Pak. Ini 'kan kamar Bapak," ujar Anyelir. "Nggak usah." Janu perlahan membuat tubuhnya terbentang di atas sofa, ternyata tidak seindah yang dikira. Sofa ini terlalu pendek untuk ukuran kakinya yang panjang, rasanya juga keras bisa menyebabkan leher kebas. "Bapak nggak nyaman, 'kan?" "Sa—saya ...." Janu kembali terduduk, mengumpulkan niat untuk mengalunkan apa yang bersarang di benaknya tadi. "Ayo tidur bareng!" ucap keduanya serempak, siapa yang tidak canggung dengan situasi saat ini? Anyelir yang sudah lama tak berpengalaman pacaran selain lewat drama atau film. Juga Janu yang baru mengenal cinta. "Sa—saya ...." Janu berjalan mendekati Anyelir, ia bingung harus berbuat apa. Beruntung atensi berfokus pada guling yang menjadi ide cemerlang sebagai pembatas. "Kita kasih pembatas memakai guling saja, bagaimana?" Ajuan permintaan Janu diterima oleh anggukan. Membuat Janu segera merebahkan dirinya di samping Anyelir, terhalang oleh guling besar. Janu menatap ke arah langit-langit, sementara Anyelir membelakangi Janu karena merasa canggung. Menyembunyikan pipi yang tiada henti bersemu merah sejak tadi. Bukan Janu ingin melakukan tindakan-tindakan manis layaknya orang berpacaran di atas usia dua puluh. Ia hanya ingin memberikan kenyamanan pada gadisnya, gadis yang entah sejak kapan namanya menjadi ukiran di hati. Janu menyingkirkan guling yang menjadi pembatas, menatap lekat punggung Anyelir yang membelakanginya. "Bee," panggil Janu. "Iya?" Anyelir masih memunggungi. Lelaki itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. "Lihat saya." Awalnya ragu, tapi jika terus seperti itu mau sampai kapan Anyelir menghindar hanya karena pipinya bersemu merah, untuk kali ini biarlah Janu melihat gejolak di hatinya. Anyelir berbalik. "Sini." Hanya satu kata yang memberikan kode, Anyelir paham lantas menggeser tubuh. Merebahkan diri di atas lengan kekar Janu sampai lelaki itu mendekapnya hangat. Refleks Janu mengecup puncak kepala Anyelir yang tenggelam di ceruk lehernya. "Makasih, ya, Pak Janu," "Mulai sekarang jangan panggil saya, 'Pak' lagi." Janu menepuk-nepuk punggung Anyelir. "Iya, Ja—Janu," "Kenapa kamu bisa suka sama saya, Bee?" Anyelir terdiam sejenak memikirkan alasan yang tepat untuk diungkapkan. Orang normal akan beranggapan gila bila Anyelir suka saat Janu mengajaknya ke ranah perdebatan hanya karena hal kecil, hal itu membuat pikiran Anyelir terbuka hingga terpukau dengan kemenangan yang selalu ia dapatkan saat adu argumen. "Suka itu mungkin anugerah dari Tuhan," "Dari Tuhan?" "Tuhan menciptakan manusia bukan hanya sekedar tubuh, organ dan berbagai jenis susunan indah lainnya. Tapi juga perasaan, mungkin ini muncul dari Tuhan." Janu terdiam sejenak, wajahnya nampak senang dengan jawaban Anyelir. Tapi ada satu yang membuatnya mengganjal sejak tadi, hal yang menjadi trauma Janu di masa lalu. Sampai sikap dan tempramentalnya berubah hingga saat ini. "Bee ... jangan tinggalkan saya tanpa pamit, ya?" "Emangnya saya mau ke mana?" Anyelir malah tergelak dengan pertanyaan Janu. Padahal tak ada nada jenaka di sana yang tercipta. "Saya serius, Bee." "Saya nggak akan ninggalin kamu, Janu. Karena saya sayang sama kamu,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD