Bab 42 - Wartawan Menanti

1082 Words
Menghabiskan sisa hari selama di Berau bersama Janu adalah hal terindah yang pernah mampir di kehidupan kelabu Anyelir. Dunia terasa berbeda sekarang, apalagi ada Janu di samping Anyelir, yang tak pernah absen menemani. Tanpa disadari, senyum Anyelir tersungging dengan manis. Sementara tangan kanannya masih dengan hangat menggenggam tangan Janu. Lelaki itu tertidur pulas dengan damai. Padahal sebentar lagi pesawat akan segera mendarat di ibukota tercinta, Jakarta. Para penumpang sudah bersedia membereskan barang saat pesawat sudah berhasil mendarat. Janu benar-benar pulas, tak tega Anyelir membangunkan Janu yang sudah pasti kelelahan karena gadang semalam mempersiapkan kepulangan. "Jan ...." Anyelir mengelus-elus pundak Janu untuk membangunkannya. Janu sedikit terusik, matanya terbuka sedikit walau rasanya berat. "Bangun, udah sampai." Lelaki itu spontan membuka mata, penampakan pertama yang dilihat saat terbangun dari mimpinya adalah sosok gadis cantik yang namanya bernaung di dalam hati. Sontak Janu tersenyum, menarik lengan yang saling bergenggaman lantas mengecupnya pelan. "Iya cantik. Saya bangun." Siapa yang tidak merona pipinya? Dasar Janu, sudah mulai berani menggoda. Padahal keduanya ingin sekali saling melanjutkan adegan romantis dan perlakuan manis lainnya, tapi Aruna muncul di pinggir kabin dengan wajah panik. "Jangan pacaran dulu!" "Kenapa? mobil saya aman, 'kan?" tanya Janu. Aruna menghela napas, Janu dan Anyelir sebetulnya sengaja masih terdiam di dalam pesawat padahal burung berjantung mesin itu sudah mendarat dengan selamat. Bukan tak ingin cepat-cepat pulang, hanya malas berdesak-desakan. Lagipula mobil keduanya sudah stand by untuk menjemput. "Mobil memang aman, tapi keadaan di luar yang nggak aman. Banyak wartawan!" pekik Aruna sangat panik. Melotot mata Janu dan Anyelir seketika. "Loh, kok bisa?!" Janu melepaskan genggaman tangan Anyelir, ia bangkit dari tempat duduknya berjalan melihat ke arah jendela. Benar saja para wartawan sudah saling berdesakan dekat jalur kedatangan. "Siapa yang bocorin saya jadian sama Berta Bee?!" nada Janu sedikit naik beberapa oktaf. Pasalnya, seluruh crew yang bertugas selama di Berau sudah berjanji untuk menutupi hubungan Janu dan Anyelor di berbagai media. Bukan apa-apa, keduanya baru saja menjalin kasih, ditakutkan ada hal-hal yang tidak diinginkan padahal baru saja mendapatkan kebahagiaan. "Kayaknya bukan itu topik utama yang mereka bahas," "Terus apa?!" Anyelir juga ikut panik. "Mereka bakalan nanya soal kesuksesan film kita," "Kamu yakin?!" Janu menoleh pada Aruna. "Media pasti bertanya-tanya, hasil syuting film karyanya sutradara Panca. Tapi ... ini masih perkiraan saya," "Oke ... itu tidak apa-apa, asalkan mereka tidak menyinggung hubungan kami ... saya nggak jadi masalah di wawancarai!" tukas Janu. "Saya memang tidak menjamin, Pak. Tapi ... saat turun tolong kalian jaga jarak, dan ... bersikap biasa saja, ya?" Berat memang. Sebab rencana awal, Janu ingin mengantar Anyelir pulang dengan selamat menggunakan mobil pribadinya. Ia ingin mengenal orangtua Anyelir dengan jelas, sungguh bersikap seolah tidak apa-apa adalah hal yang paling sulit dilakukan. "Iya-iya!" jawab Janu pasrah. "Batari di mana?" Anyelir celingak-celinguk mencari keberadaan sahabatnya. "Di bawah, ayo." Aruna berjalan terlebih dahulu untuk mengajak keduanya turun dari pesawat. Baru saja Anyelir hendak beranjak, Janu menepuk pundaknya. "Kamu tahu pom bensin dengan pertigaan dari bandara?" tanya Janu. "Nggak tahu, kenapa?" "Saya bakalan tunggu kamu di sana, saya harus ngantar kamu pulang," "Nggak usah. Nanti ketahuan gimana?" "Kamu nggak mau?" "Bukan nggak mau, tapi saya takut ngambil resiko, Janu." Anyelir menarik pipi Janu dengan lembut, ditatapnya manis wajah khawatir yang terlalu kentara. "Pokoknya berisiko atau tidak tunggu saya di sana, saya antar kamu!" Susah kalau sudah begini, keras kepalanya Janu memang sulit dipudarkan dengan hal apapun, sekarang Anyelir hanya bisa menghela napas dan mengangguk. "Iya sayang." "Astaga! pacaran mulu! ayo cepetan!" Aruna berteriak dengan pintu keluar, membuat keduanya menarik napas panjang. Benar saja, wartawan seperti kehausan memotret tubuh keduanya. Anyelir hanya bisa menunduk, memasang wajah sedikit berseri saat kilatan cahaya dan ratusan wartawan berbondong-bondong merebutkan barisan pertama untuk menanyai keduanya. Satpam yang bertugas menghalangi jalur mereka saja nampak kelimpungan. "Pak Janu bagaimana kesan dan pesan Bapak selama syuting berhari-hari?" "Bagaimana proses syutingnya apakah berjalan lancar?" "Ada berita bahwa, banyak sekali kendala saat syuting Back and Kill it. Bagaimana kalian berdua menghadapi itu?" "Berta Bee, bukannya ini film action pertama anda ... bagaimana tanggapan anda mengenai proses syuting?" "Apakah kalian berdua yakin film ini akan berjalan dengan baik meski ada pergantian sutradara?" "Kenapa jadwal yang ditetapkan tidak sesuai? Apakah karena banyak sekali kendala di sana? Rintangan apa? Tolong tanggapannya!" Anyelir menghela napas, sungguh berhadapan dengan wartawan memang membuatnya lelah harus menjawab A, B, C, tidak boleh salah ucap. Sebab pertanyaan mereka terkadang memberondong sampai ke akar-akarnya. Untungnya, tidak ada satupun wartawan yang menyinggung hubungan mereka, apa karena tempramental Janu? Sebab lelaki itu dikenal tidak mau berurusan banyak wanita. Satu-persatu pertanyaan mulai keduanya jawab secara profesional. ** Sesuai permintaan Janu, Anyelir mengajak Batari untuk berhenti di dekat pom bensin tadi. Mobil Janu masih menyusul, dia benar-benar diberondongi pertanyaan sebab muncul sebagai pengganti sutradara Panca. Beruntungnya media tidak tahu sama sekali bahwa Janu adalah keponakan dari sutradara Panca, bayangkan kalau sampai tahu. Sudah habis Janu dicerca banyak pertanyaan. "Kenapa nggak nunggu nanti aja, sih?! Bucin banget lo bedua!" Batari mendengus kesal. Pasalnya ia ingin segera sampai menuju rumahnya, merebahkan diri sebelum berbagai tuntutan pekerjaan kembali menghantui. "Bucin itu apa?" "b***k CINTA!" "Ohh ... bagus, dong. Berarti kita berdua memang sungguh-sungguh kalau menjalin cinta." Anyelir mengangguk-angguk seolah mengerti, padahal pendapat barusan yang ia katakan berlainan dengan maksud Batari. "Terserah lo, deh, p****t harimau! Inget, ya, nanti malam lo ada kerjaan ... jangan leha-leha!" "Iya." Anyelir menoleh ke arah samping, mobil Janu menepi kian mendekat ke arah mereka. Terparkir di depannya. Anyelir yang paham bergegas. "Gue pergi dulu!" "Hati-hati!" "Oke!" Anyelir membuka pintu mobilnya, berlari terbirit-b***t menuju mobil Janu. Batari hanya bisa menggeleng, tapi ia bernapas lega sebab gadis itu berhasil menemukan cintanya. Banyak cobaan yang menghantui Anyelir sejak ia dilahirkan, mungkin. Yang Batari tahu Anyelir tidak pernah merasakan kebahagiaan sesungguhnya, tertawa lepas seolah tak ada larangan untuk hal itu. Hanya bersama Janu, hanya bersama lelaki yang awalnya ia benci. Janu berhasil menarik Anyelir ke titik di mana semua manusia itu berhak bahagia, meski beban yang dipundak rasanya lebih berat daripada dua kali gelak tawa. Dal sementara Anyelir memahami makna itu, saat bersama Janu. Entahlah ketika Janu tidak ada di sampingnya, akankah gadis itu kembali seperti dulu? Batari hanya bisa berharap, Anyelir melepaskan masa kelam yang terus menghantui. Menerima takdir dan kenyataan bahwa kelainannya tak bisa disembuhkan, tapi bukanlah menjadi penghalang. Tapi sulit, sebab belum tentu yang menurut Batari mudah, menurut Anyelir ternyata susah. Ia hanya bisa berdoa pada Tuhan agar Anyelir diberi kebahagiaan. "Semoga lo nggak pernah mengeluarkan air mata setetes pun lagi... gue bahagia kalo lo bahagia, Lir." Gadis itu tersenyum penuh arti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD