Bab 43 - Dia Jodoh Saya

2136 Words
"Saya mau ketemu orang tua kamu," Janu berujar nampak serius, sengaja memiringkan tubuhnya guna menghadap Anyelir yang malah merespon dengan bingung. "Hah? ngapain?" Alunan tanya yang nampak terdengar tabu itu membuat dahi Janu bertaut, Anyelir seolah tak ingin jika Janu bertandang menemui kedua orangtuanya. Meski hanya sebatas berkenalan atau mungkin bercengkrama, tapi apa salahnya? Lagipula tidak ada hukum yang mengatur hal tersebut sebagai larangan. "Ya, memperkenalkan diri ... masa saya ajak baku hantam," goda Janu, agaknya lelaki itu berusaha mencairkan suasana. "Nggak usah, nanti aja. Buat sekarang anterin saya pulang sampai depan rumah, ya?" "Loh kok kamu begitu sama saya, kenapa saya nggak boleh kenal orang tua kamu? Memangnya itu sebuah kesalahan?!" nada Janu sedikit naik, lagipula siapa yang tidak kesal punya itikad baik ingin bersua dengan orangtua sang kekasih malah dilarang. "Bukan gitu maksud aku, sayang ... wait!" Anyelir agak sedikit melotot, pasalnya gadis itu berusaha berbicara tidak terlalu formal dengan Janu, menggunakan sebutan 'aku-kamu'. "Can i??" Janu mengangguk. "Aku sama kamu itu kan baru aja pacaran, aku maunya Bunda sama Ayah tau dari aku dulu, baru nanti kalo aku udah cerita ... kamu boleh kenalan. Malah bakal aku yang ajak kamu dan bikin acara khusus buat memperkenalkan kamu," Meski penjelasan Anyelir terdengar masuk akal, tetap saja Janu masih setia memajukan bibirnya menunjukkan rasa kesal. Melihat tingkah kekasihnya begini, alih-alih bertambah heran juga kesal. Anyelir malah gemas sendiri dengan ekspresi Janu. "Yaudah." Singkat Janu sembari merunduk malas. Anyelir terkekeh, lantas matanya tiba-tiba melotot sempurna. "Jan! Itu wartawan nyamperin mobil kita!" teriak Anyelir. Siapa yang tidak terkejut? Janu seperti maling yang berhasil jadi buronan warga. Lelaki itu mendongak dengan ekspresi melotot bukan main, bahkan mulutnya setengah terbuka bercampur panik. Cup Satu sentuhan bibir yang terkesan manis tapi singkat mendarat di pipi Janu, Anyelir tertawa kecil melihat tubuh kekasihnya yang malah mematung. Bahkan untuk sekedar menoleh ke arah Anyelir saja Janu merasa kesulitan. Dirasa-rasa ada getaran di setiap nadi juga ribuan kupu-kupu yang menggelitik perut Janu, Anyelir-nya berhasil membuat salah tingkah. "Jangan marah gitu, ya? mukanya keliatan jelek!" ledek Anyelir. "Ka—kamu ...." Janu akhirnya menoleh. "Bukannya saya udah pernah bilang ... kalo mau cium kasih aba-aba, ja—jantung saya ... jantung saya mau lompat ini!" Anyelir terkekeh sendiri, tidak menyangka ia. Kalau dipikir-pikir memang soal goda-menggoda Janu agak sedikit polos. Berbeda dengannya yang dipenuhi segudang cara untuk meluluhkan hati lelaki buah hasil kerja kerasnya bermain film romantis. Pengalaman memang memberi banyak kesan. "Emang jantung bisa loncat?" Anyelir semakin semangat menggoda Janu. "Nggak, sih." "Kata siapa? bisa kok!" Alis Janu saling bertaut. "Bisa? Gimana caranya?!" "Liat wajah kamu." Anyelir kembali tergelak singkat, Janu benar-benar kalang kabut. Salah tingkahnya terlihat jelek sampai wajahnya hampir memenuhi batas kepolosan, pikir Anyelir. "Ekhm ... udah! Mobil saya bisa kehabisan bensin kalau kita cuman diem aja!" Tubuh Janu kembali duduk tegak, terfokus pada jalanan di hadapannya guna menetralkan detak jantung juga pipi yang bersemu merah. "Di lain waktu aku kenalin, ya?" Anyelir sedikit memiringkan kepala untuk melihat wajah Janu seutuhnya. "Aku janji, Sayang. Pasti aku kenalin, tapi jangan dulu sekarang," ucap Anyelir lembut. Janu sedikit menghela napas, lantas menoleh ke arah Anyelir. "Iyaa ... ayo pulang, kamu harus istirahat." Sepanjang perjalanan menuju rumah Anyelir, tak ada perbincangan lagi. Sebab Anyelir sibuk mengeluarkan berbagai macam barang dari dalam tasnya yang terdengar bising oleh panggilan telepon. Padahal, baru saja beberapa jam ia menginjakkan kaki di ibukota, tapi panggilan kerjaan sudah memenuhi tuntutan dirinya. Entah Batari sudah tertidur pulas atau pergi ke suatu tempat, ponselnya benar-benar tidak bisa dihubungi. ** "I—iya, Pak ... iya nanti saya hubungi manager saya terlebih dahulu," Janu mencolek pundak Anyelir tipis, membuat gadis itu menoleh dan mengangkat kedua alisnya. "Baik, Pak ... baik Pak Gilang, nanti saya kabari lagi." Anyelir mematikan ponselnya yang sejak tadi mengajak dirinya bertelepon ke sana kemari. "Udah sampai," ucap Janu. Sontak gadis itu mendongak, melihat sekeliling yang nyatanya terpampang nyata sebuah pagar menjulang tinggi milik rumahnya. "Ah, Iyah ... bentar." Anyelir masih menempelkan ponselnya di telinga, benar-benar terlihat sibuk sampai Janu pun tidak di hiraukan keberadaannya. "Ini Batari kemana, sih?! Kok nggak bisa dihubungi!" Selain sibuk telepon sana-sini, Anyelir juga heboh membereskan barang-barangnya yang sempat ia keluarkan guna mengambil ponselnya yang berbunyi nyaring. Wajahnya nampak cemas juga kesal, entah ini kesalahan Batari atau memang pihak perusahaan itu yang menuntut banyak hal. Janu menghela napas berat dengan tingkah Anyelir, merasa kasihan sebab hari ini harusnya Anyelir full untuk me-recovery tubuhnya. "Kenapa, hmm?" "Ini perusahaan shampo, waktu itu kita sudah syuting iklannya sebelum berangkat ke Berau. Tapi beberapa hari setelahnya, dia minta ada beberapa adegan yang harus diulang karena takut memojokkan beberapa pihak. Kita minta pengunduran waktu, karena 'kan kamu tau sendiri aku lagi syuting di Kalimantan, mana mungkin aku balik ke Jakarta cuman buat merevisi satu adegan iklan? hah! Bikin nambah kerjaan aja!" Tangan Janu terulur untuk mengelus-elus pucuk kepala Anyelir, wajahnya yang berbinar menandakan makna kepedulian yang mendalam. Juga kasih sayang yang Anyelir sendiri tak bisa mendefinisikan secara nyata. "Perlu saya yang bicara?" "Buat apa?" "Saya hanya ingin kamu ... hari ini istirahat, jangan ngomongin soal kerjaan lagi," "Nggak apa-apa, kalau Batari pun susah dihubungi ... aku bakalan ikut kayak gitu juga!" cengir Anyelir. "Jangan dong ... itu namanya nggak profesional. Jangan kayak gitu, ya? Saya nggak suka." Sentuhan Janu yang lembut kini beralih pada tangan Anyelir, menggenggam dengan erat sampai mengecup punggung tangannya begitu lembut. "Kamu telepon lagi pihak perusahaannya, kasih tahu bahwa kamu siap di hari apa. Untuk sekarang jangan dulu menghubungi karena kamu butuh istirahat, bisa, 'kan me-lobby mereka dengan alasan seperti itu?" Anyelir mengangguk. Sontak Janu tersenyum pulas. "Sudah, masuk sana." Sekali lagi Janu mengacak-acak pucuk kepala Anyelir. "Mau vitamin sebelum istirahat, nggak?" tanya Anyelir menggoda. "Hah? Vita—" Cup Ucapan Janu terhenti sebab Anyelir mengecup singkat bibirnya, lantas tersenyum geli menampilkan deretan gigi-gigi putihnya. "See you, Sayang!" ucap Anyelir sebelum seluruh tubuhnya keluar dari mobil dan masuk menuju pekarangan rumahnya. Sementara Janu, benar-benar terlihat kaku sembari memegangi bibirnya yang masih terasa seperti ada sentuhan di sana. Bahkan ia tak mengedipkan mata melihat pergerakan Anyelir yang masih melambaikan tangan kepadanya. "Bisa-bisa saya kena serangan jantung, Bee," ucap Janu pelan. Anyelir sedikit berlari saat langkahnya hampir tiba di depan pintu, tanpa berlama-lama gadis itu memasukkan kode lantas menghamburkan diri menuju sepasang insan yang dirindukannya selama tinggal di Berau. "ALIR PULANG!!! BUNDA! AYAH!" Hal pertama yang nampak dari sepasang maniknya adalah senyum sang ayah yang begitu tulus tersirat kerinduan, Mihir lantas mendekap putrinya begitu erat. Detik berikutnya disusul dengan sosok ibu yang memakai celemek tengah berlari kecil menghamburkan diri guna menepis rasa rindu terhadap gadis semata wayangnya. "Alir kangen banget sama, Ayah," adu Anyelir disela-sela pelukannya. "Ayah juga," balas Mihir. Sang Ibu melepaskan dekapan. "Ke Bunda enggak?" Anyelir dan Mihir turut melepaskan pelukannya. "Of course I miss you so much!" Anyelir kembali memeluk erat sang bunda lantas mengecup pipinya singkat. "Kok Tari tadi cuman nganterin koper kamu ... kamu pulang sama siapa?" Refleks Anyelir melepas pelukannya, dan mundur beberapa langkah. Matanya mengerjap, ia baru ingat bahwa setumpukkan barang-barangnya diurus Batari. Dan sudah pasti gadis itu menghantarkannya kemari, Anyelir lupa kenapa ia tidak memindahkan semuanya ke mobil Janu tadi? "I—itu ... Emmh ... Alir tadi pulang sama staff lain, soalnya tadi heboh banyak wartawan pas Alir turun dari pesawat. Jadi ... Alir suruh Tari pulang duluan." Cengiran khas seperti kudanya diperlihatkan dengan kaku. Beruntung sang Bunda mengangguk. "Yaudah, naik dan bersih-bersih sana ... habis itu kita makan karena Bunda udah siapkan menu spesial buat kamu!" Napas Anyelir nampak lega sekarang, ia kembali tersenyum lantas setengah berlari menuju kamarnya. Ada hal yang lebih dirindukan dibandingkan masakan dari sang Bunda. "ANAK-ANAK MOMMY!!!" jerit Anyelir dengan semangat. Mata Anyelir berbinar saat tiba di balkon kamarnya, puluhan kaktus-kaktus kesayangan terlihat masih segar dan cantik di matanya. Membuat gadis itu terbaru, aneh memang. Seharusnya bersua dengan kedua orangtua yang menbuat dirinya menitikkan air mata oleh gejolak kerinduan, bukan saat menjumpai sebatang kaktus. "Rose! Kamu tambah gendut! Ahh ... Park Chanyeol, Jeon Jungkook! Kalian ... kalian membuat Mommy terharu karena tumbuh sehat ... sending hugg!" Anyelir merentangkan tangannya lebar-lebar, hanya maju dua langkah saja lantas membentuk gerakan seperti menepuk-nepuk. Tapi tidak menyentuh tanaman peliharaannya, terkesan menepuk angin malah. Lagipula, mana mungkin Anyelir memeluk erat kaktus-kaktus kesayangannya, bisa-bisa ia segera masuk rumah sakit. "Mommy mau minta maaf juga, ya? Karena Mommy nggak berhasil menemukan kerabat baru buat kalian ... hah hutan Kalimantan terlalu subur!" Mulutnya malah maju beberapa cm. Bukan kesal, hanya sedikit kecewa sebab harapannya untuk menjumpai jenis kaktus baru sirna. "Mommy janji ... Mom—" "Lir ...." Panggilan yang terdengar seperti suara sang Bunda itu menghentikan pidatonya, padahal ia sudah terlihat membusungkan d**a demi terlihat berwibawa di depan anak-anaknya. Tapi panggilan itu membuatnya menghela napas lantas menoleh. "Apa, sih, Bun? Alir lagi pidato ini!" "Nanti dulu pidatonya, itu staff kamu yang tadi nganterin ada di bawah mau nga—" Tanpa pikir panjang apa-apa, bahkan mendengarkan penjelasan sang bunda sampai tuntas pun tidak. Anyelir mengerti maksudnya, ia melotot lantas berlari sekuat tenaga. Inilah salah satu hal yang membuat Anyelir tercekang dengan tingkah Janu, tak terduga. Langkah Anyelir semakin gemetar kala mendapati Janu tengah terduduk santai bersama sang Ayah. Harusnya Anyelir sadar dan mengerti, bahwa sekali Janu tetaplah Janu. Lelaki nekat yang bertindak semaunya. Anyelir jadi kalang-kabut sekarang. "Hai, Bee!" sapa Janu ramah saat Anyelir sudah mendekat ke arah keduanya. Anyelir tak membalas. Ia hanya berjalan sembari meloto ke arahnya, mengirimkan sinyal bercampur kesal dengan makna 'kamu ngapain?' terlihat marah. "Duduk, Lir," perintah sang Ayah. Anyelir yang gugup bercampur ngeri mendudukkan bokongnya di samping sang ayah, memandangi wajah Janu yang nampak benar-benar santai. Padahal dirinya ketar-ketir sekarang. Bukan tak ingin Anyelir memperkenalkan Janu, pasalnya ia baru menjalin hubungan beberapa hari yang lalu. Masih dalam fase menaruh kepercayaan sebelum diperkenalkan kepada orang tua masing-masing. Tapi lihat Janu? Oh Anyelir ingin sekali menggampar wajahnya, hanya sedikit niat, tidak sepenuhnya. Takut wajah tampan Janu terluka nanti. "Pak ... Janu ... a—ada keperluan apa?" Mihir yang berada di samping lantas menghela napasnya. "Kamu kok bohong sama Ayah?" Deg Oh Janu yang terlampau nekat, mengapa harus dibicarakan sekarang juga. Dasar Janu, benar-benar membuatnya kembali darah tinggi padahal menit sebelumnya Anyelir luluh dengan kata-kata Janu yang nampak bijak dan profesy menghadapi pekerjaan. "A—anyelir nggak bermaksud ... Emhh ... Anu, Yah ... Alir ... Al—" gelagapan sudah Anyelir. "Nggak bermaksud apa? Ayah nggak pernah ajarkan kamu buat berbohong, Lir!" "Ta—tapi Alir memang nggak bermaksud, Ayah ... ta—tadi Alir ... Ali—" "Janu ini bukan staff kamu, dia sutradara kamu, 'kan? Kok kamu tadi bilangnya staff?!" "Hah?" Refleks Anyelir mengerutkan dahi. Itu berarti Janu belum memperkenalkan diri tentang identitas yang kali ini bersandang di tubuhnya. "Maksudnya?" "Tadi Pak Janu ke sini, dompet kamu tertinggal di mobilnya. Ayah bilang kalo Pak Janu staff yang baik dan jujur, tapi tiba-tiba dia bilang kalo dia bukan staff kamu ... tapi sutradara kamu ... kok kamu malah bilang dia staff, padahal dia sutradara kamu?!" "Sutradara 'kan juga termasuk staff, Ayah ...." "Ya, berbeda ... meski Ayah nggak paham dunia perfilman, tapi Ayah tahu kalo sutradara lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan staff," "Iya ... Maaf, Ayah ... Alir salah." Anyelir menoleh pada Janu yang memasang wajah datar, hanya sedikit tersenyum saja, sedikit. "Maafin saya, ya? Pak ... Jan—nu! Makasih udah nganterin dompet saya." Anyelir sedikit kaku kembali menyebut Janu dengan sebutan 'Pak'. "Iya Say—"Anyelir melotot, membuat Janu tidak jadi melanjutkan ucapannya. Hampir saja ia mengatakan hal yang akan membuat Mihir tercengang. "Ma—maksud saya ... tidak apa-apa." "Bagaimana perasaan kamu? berbulan-bulan menghadapi anak saya? Apa dia banyak melakukan kesalahan?" Mihir nampak penasaran dengan Janu, membuat Anyelir semakin bertambah jantungan. "Berta Bee rekan kerja yang baik, meski banyak melakukan kesalahan tapi ... Ia akan berusaha untuk memberbaiki dan terus belajar dengan kerja keras," "Kamu suka dengan kerja keras anak saya?" "Ya, siapapun pasti akan suka dengan seorang pejuang seperti, Berta Bee ... dia benar-benar tak kenal lelah," "Itu yang membuat saya yakin untuk menjodohkan putri saya!" Tukas Mihir nampak antusias. "HAH?! refleks Anyelir Sontak Janu juga Anyelir melotot sempurna. "Ma—maksud, Ayah? Apa-apaan, sih, Ayah! Kok main jodoh-jodohan!" "Usia kamu 'kan sudah cukup, Ayah bertanya soal sikap kamu dihadapan sutradara Janu ... dia 'kan juga laki-laki, makanya Ayah bertanya soal kamu dari perspektif seorang lelaki," "Tapi Alir bisa nyari sendiri! Nggak usah jodoh-jodohan kayak gitu!" "Nyari gimana? Coba Ayah tanya kapan terakhir kamu pacaran? Udah lama banget, 'kan? Mau sampai kapan sendiri kayak gini?!" "Tapi ... Ayah ... Al—" "Sudah! besok ... Ayah mau temuin kamu sam—" "Jangan jodohkan Berta Bee, Om!" Janu bersuara. Tangannya yang terkepal menandakan dirinya kesal bermakna kecewa juga. "Kenapa? Saya takut anak saya jadi perawan tu—" "Karena dia jodoh saya," ucap Janu tegas sontak membuat Mihir tersenyum pulas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD