Bab 44 - Tentang Jodoh

1936 Words
Pintu menjulang tinggi khas kayu mahoni itu mulai terbuka lebar, Anyelir mengantar Janu menuju mobilnya yang terparkir damai tepat di depan rumah. Entah Janu tidak tahu tempat, atau satpam Anyelir yang tidak sigap memberitakan bahwa area itu bukanlah tempat parkir, masih ada garasi yang cukup luas untuk menampung mobil sekecil milik Janu di area belakang. Gadis itu membuka setengah mulutnya. "Ka—kamu ... parkir di sini?" "Hm, kenapa?" "Parkiran ada di belakang, ini akses jalan menuju pintu ... Januuuu!" Jaraknya cukup dekat dengan pintu masuk, hanya berkisar lima langkah dari tiga anak tangga berlapis marmer. Mata Anyelir menyipit saat seorang satpam tiba-tiba menghampiri dengan ekspresi was-was. "Maaf, Nona ... tadi saya sudah peringatkan, tetapi Bapak ini memaksa masuk dan hanya sebenatar saja untuk menghantarkan dompet katanya, kebetulan Tuan Ayah memperbolehkan masuk jadi saya yakin ini benar tamu, Nona. Saya tidak berani mengganggu." satpam berusia di atas angka empat itu merunduk, merasa bersalah. "Tidak apa-apa, Pak Agi. Tapi, lain kali kalau dia datang lagi ke sini tolong bantu simpan mobilnya ke parkiran, ya?" "Baik, Nona." "Kasih tempat khusus, karena dia bakalan sering datang ke sini!" "Baik, Nona. Khusus untuk tamu bakalan saya siapkan." Pak Agi melempar senyum cukup singkat. "Kalau begitu saya permisi." Lelaki tua itu lantas segera beranjak. "Tunggu, Pak Agi!" teriak Anyelir memerintahkan Pak Agi untuk berhenti, dan benar saja lelaki itu menurutinya. "Ada pesan lain, Nona?" "Nggak ... saya cuman mau menegaskan ... dia pacar saya, bukan tamu!" Pak Agi nampak terkejut, namun tetap memasang wajah datar. Lelaki itu malah melempar senyum ke arah Janu lantas beranjak dari hadapan keduanya. Meski Janu senang dengan pengakuan dirinya pada beberapa pekerja di kediaman Anyelir, tetap saja Janu merasa aneh. Bagaimana jadinya kalau dia melakukan hal itu ke hadapan publik? "Kamu posesif ternyata," bisik Janu tepat di telinga Anyelir. "Mohon maaf, ya, Pak Janu yang terhormat. Yang mengaku tadi jodoh aku siapa, ya? jadi yang lebih posesif kira-kira siapa?" Janu nyengir. "Kamu memang jodoh saya," "Jodoh itu ada di tangan Tuhan, Jan," elak Anyelir. "Jadi saya harus pinjem tangan Tuhan buat cari jodoh saya gitu?" "Enggak gitu juga maksudnya!" "Manusia itu diciptakan berpasang-pasangan, itu yang benar. Bukan berarti jodoh di tangan Tuhan, tapi ketika kita mencari jodoh, haruslah patuh dan ingat sama Tuhan," "Jadi, jodoh itu harus dicari?" "Seandainya saya mencari jodoh, belum tentu saya mendapatkannya. Seandainya juga saya menunggu jodoh, belum tentu saya didapatkannya. Tapi saya memilih mencari jodoh saya, dan saya akan memohon pada Tuhan untuk mendapatkannya," Janu benar benar tampan saat ini, entah karena ia memang bijak atau otaknya menyimpan segudang ilmu. Dulu, berdebat dengan Janu membuat Anyelir malas karena berakhir ia akan dipojokkan oleh mulut cabe yang mengeluarkan puluhan kata pedas. Tapi sekarang, sedikit banyak Anyelir memahami bahwa Janu sebetulnya hanya ingin menjelaskan apa yang ia tahu, hanya saja dulu caranya salah. "Memohon untuk siapa?" "Itu Ayah kamu keluar dari pintu mau ngapain?!" teriak Janu agak berlebihan, sukses membuat Anyelir menoleh ke arah belakang. Cup Dan adegan itu berhasil Janu lakukan, membuat Anyelir terdiam sekejap tanpa mau menoleh ke arah Janu. Pipinya benar-benar panas sekarang, jangan tanyakan warnanya semerah apa, belum lagi sentuhan bibir Janu yang lembut benar-benar masih terasa di pipi kirinya. "Nama kamu yang saya mohon kepada Tuhan untuk dijadikan jodoh," ucap Janu lembut. Tolong carikan dokter ahli jantung sekarang juga untuk Anyelir, rasanya ia sesak. Tidak mampu untuk mendefinisikan rasa yang membludak setiap detiknya. Janu mungkin tidak semanis membuai gadisnya dengan kata-kata 'I love you', memberi cokelat juga hadiah-hadiah mewah semanis dan seromantis pasangan lain. Tapi bagi Anyelir hal itu terlalu biasa, bahkan terkesan membosankan. Dengan perlakuan lembut juga kata-kata yang bijak begini, siapa yang tidak luluh? "U—udah ... kamu pulang dan istirahat sana! ja—jangan bikin aku mati muda karena jantungan!" Anyelir sedikit membuang wajahnya sebab takut ketahuan bahwa ia salah tingkah. "Selamat beristirahat, ya. Sampai ketemu besok." Janu menepuk-nepuk pucuk kepala Anyelir. Ingatlah bahwa itu adalah kebiasaan baru Janu, gemas ia dengan ekspresi Anyelir yang malu-malu seperti itu. "Kamu hati-hati, ya ... Sayang!" Janu beranjak seraya mengacungkan jempol, senyum lebarnya tak sedikitpun sirna. Meski yang ia inginkan saat ini adalah kebersamaan dengan Anyelir, menikmati hari-hari bersama seperti saat berada di Berau. Tapi Janu tidak seegois itu, ia harus membiarkan Anyelir istirahat juga memberikan kelonggaran agar gadis itu selalu nyaman dengannya. Mobil Janu yang bergerak meninggalkan rumah Anyelir sembari menyalakan klakson menggerakan tubuh Anyelir untuk segera masuk ke dalama rumah, ingat pula bahwa senyumnya benar-benar pulas tanpa mau memudar sedikit pun. Sekecil dan semudah itu mendapatkan kebahagiaan dari pasangan. "Seneng banget kayaknya anak, Ayah!" Mihir yang berada di dekat pintu membuat Anyelir reflleks membuka setengah mulutnya terkejut. "Sejak kapan Ayah berdiri di sini?" "Sejak kamu lahir," kekeh Mihir. "Ih, AYAHHHH." Anyelir memasang wajah cemberut seperti bayi merajuk, benar-benar gemas di mata Mihir. "Eh, Ayah ... Ayah!" "Apa? kenapa?" "Kok Ayah bisa langsung menyadari kalau Janu pacarnya Alir?" "Liat aja layar kunci ponselnya," Anyelir melotot, ia berusaha menutupi mulutnya yang mangap buah hasil keterkejutan sang Ayah. Anyelir ingat, layar kunci yang menampilkan foto ketika Janu pertama kali menyatakan cinanya pasti terpampang di sana, apalagi jelas bahwa di situ Anyelir mengecup singkat pipi Janu. Dan yang membuat memorinya berjalan dengan baik, bahwa itu Anyelir sendiri yang mengganti tanpa sepengetahuan Janu. Rupanya Janu benar-benar menyukai hal itu. "AYAH LIAT?!!" "Dia menyodorkan dompet itu sambil pegang ponsel, kebetulan ada notifikasi masuk kayaknya sampai ponsel dia nyala. Yasudah, itu bukan terlihat seperti editan, Ayah aja nggak pernah Alir cium kayak gitu," nada Mihir terdengar cemburu, ia juga memajukan sedikit bibirnya. "Ih AYAHHH! Alir jadi malu!!" "Ayah belum menilai dia baik atau tidak buat kamu ... tapi, apapun yang membuat kamu bahagia, pasti Ayah dukung." Mihir mengelus-elus pipi Anyelir dengan lembuat, membuat putri semata wayangnya tersenyum manis. "Makasih, Ayah." Anyelir justru merentangkan tangan untuk memeluk sang Ayah. Dengan melihat keadaan normal seperti ini terkadang gadis itu berubah menjadi sangat egois, ia hanya ingin tetap di tiitk ini selamanya. Melihat Ayahnya bertindak normal, tanpa memikirkan masa lalu juga menderita oleh luka yang ia buat sendiri, hanya sesederhana itu yang ia inginkan. Tapi di lain sisi Anyelir sadar, bahagianya datang seperti hujan, pasti reda pada waktunya. Tinggal menerima pilihan, akankah setelah hujan muncul pelangi? atau justru banjir bandang? yang jelas Anyelir hanya bisa pasrah. ** Kilatan flash camera, juga intruksi pergantian pose menghiasi ruang studio berukuran sedang yang nampak ramai oleh crew menyaksikan photoshoot pemain utama back and kill it. Siapa lagi kalau bukan Anyelir dan Diego, keduanya nampak serasi dengan pakaian khas musim dingin. Cardigan panjang cokelat dikenakan Diego membalut kemeja maroon dengan tiga kancing terbuka di bagian atas menampilkan sedikit d**a bidangnya. Make up Anyelir yang natural cukup menimbulkan aura yang sangat kuat, benar-benar cantik, anggun juga semerbak wangi yang mampu membius siapapun. Warna senada dengan Diego membalut kaus musim dingin orange oleh box-stitched coverlet yang menjuntai sampai bawah perut. Meski filmnya belum tayang, tapi karya terbesar Janu ini sudah menjadi buah bibir para penggemar Anyelir juga Diego di ibu kota. Maka jangan salahkan jika keduanya menjadi wajah utama majalah 'Logue' yang paling hits di metropolitan sebagai pasangan paling baik dalam chemistry terbaik. "Oke! good! wahhh cantik sekali!" salah seorang director berdiri memberikan tepuk tangan, kemudian wanita berusia tiga lima itu berjalan mendekat ke arah Diego, membuka cardigan miliknya lantas menoleh pada Anyelir. "Coba ambil pose bersembunyi di sini. Jadi, kepala kamu aja yang keliatan, pegang ini." Helaian cardigan diberikan kepada ANyelir, membuat gadis itu mengangguk paham. "Oke, kita mulai lagi!" Director yang bernama Lusia itu berdiri kembali di samping fotografer, memberikan aba-aba kepada keduanya. Anyelir dapat melihat dengan jelas d**a bidang Diego, membuat dirinya kesulitan menelan saliva. Tapi sudut matanya menangkap Janu tengah berdiri tegak di belakang Lusia dengan memasang tampang datar, belum lagi lengannya terkepal kuat. Kilatan flash kamera juga bunyi pengambilan gambar menjad komando bagi Anyelir untuk mengganti pose-pose. "Oke! back hug! let's ... back hug Berta Bee!" Perintah itu membuat Diego memunggungi Anyelir lantas dengan erat Anyelir memeluknya. Gadis itu memasang ekspresi benar-benar bahagia dan penuh kasih, wajah Janu dibuat merah oleh amarah kecemburuan. "Tempelkan kepalamu ...." Lusia memberikan komando lagi. "Ya ... like that! kurang erat, peluk erat!! OKEE!" Janu kehabisan kata-kata dengan pose yang dilakukan terlampau intim. Sebenarnya tidak terlalu, hanya saja pelukan seperti itu entah mengapa membuat darahnya mendidih, sampai-sampai urat nadinya terlihat mencut menghiasi dahi yang basah oleh keringat. Padahal di ruangan ini air conditioner dipasang dengan temperatur udara sangat rendah agar Anyelir tidak keringatan. Tapi Janu merasa panas sekali. Ia menyesal telah menghadiri undangan photoshoot ini, meski nantinya akan ada sesi wawancara, tetap saja bila harus menyaksikan aksi peluk-pelukan begini d**a Janu terasa sesak. Bahkan air mineral yang disediakan sudah mencapai botol kedua, apalagi meliat Anyelir tertawa seperti itu, rasanya Anyelir nampak menikmati. Janu yang geram lantas beranjak keluar dari studio untuk meredakan amarah, tangan yang masih terkepal semakin bertambah kuat. Anyelir menyaksikan pergerakan Janu, lantas menoleh pada Lucia. "Mbak Luci, can i take a break?" "Oke, kita break dulu ...." Luci nampak mengangkat tangan kirinya untuk melihat angka pada jam tangan. "Sepuluh menit, cukup, 'kan?" "Thank you!" Anyelir tersenyum pulas lantas segera beranjak keluar dari studio. Ia dapat dengan jelas melihat Janu berjalan ke arah parkiran memasang wajah kesal, Anyelir menjadi setengah berlari untuk mengejarnya. "JANUUUU! JAN!" Entah suaranya kecil, atau Janu sengaja tak mau mendengar. Lelaki itu sama sekali tidak merespon apa-apa dan terus berjalan. "JANUUUUUU!!!" Akhirnya Janu menghentikan langkah dan menoleh kar aha Anyelir, dengan napas yang memburu Anyelir berhenti tepat di hadapan Janu. Setelah iini ia harus touch up kembali sebab dahinya mulai berkeringat. "Kamu mau ke mana?" "Saya ada kerjaan," ketus Janu. "Setelah ini 'kan ada wawancara," "Penonton itu tidak menantikan wawancara saya, tapi menantikan wawancara kalian!" "Jannn ...," Anyelir melembutkan suaranya, benar-benar berusaha membujuk. "You doing great tadi! ayo ... lanjutkan!" "Kamu marah?" tanya Anyelir hati-hati. "Kalau kamu ada di posisi saya, terus lihat saya peluk-pelukan seperti itu ... what are you doing? mau ngelabrak cewenya?!" Baiklah, Janu berada dalam mode ngambeknya sekarang. Benar-benar terlihat seperti wanita yang merajuk, belum lagi sorot tajam dari mata Janu yang mmebuat Anyelir sedikit risih saat pemotreatan tadi. "Terus aku harus gimana sekarang?" "Ya, lanjutkan! saya mau pergi!" "Jannnn ... jangan gitu dong," puppy eyes Anyelir dipasangkan untuk membujuk Janu. "You know? semua orang ... di kota ini bahkan di negeri ini, itu pengen ngejodohin kamu sama Diego! Dengan terbitnya majalah romantis ini ... apa mereka tidak akan semakin menjadi-jadi?!" "I'am sorry ... tapi aku nggak bisa mengontrol itu ... itu hak mereka, lagipula kamu 'kan yang ngotot untuk tidak membongkarnya ke publik?" "Hak mereka dari mananya?!" nada bicara Janu meningkat sedikit. Siapa yang tidak kesal? menyaksikan akun-akun sosial media fans Anyelir banyak menjodohkan dengan Diego, belum lagi terror paparazi yang diam-diam menguntit Anyelir untuk mencari informasi. "Maaf," "Saya pulang." Janu hendak membuka pintu mobilnya, bukan ada kerjaan sebetulnya. Hanya saja ia ingin pergi tanpa menyaksikan situasi tadi untuk meredakan amarahnya, tidak lucu juga jika Janu tiba-tiba memberikan bogeman mentah pada Diego. "Jan, Nikah Yuk!!" Janu melotot. Tubuhnya yang kaku juga panas dingin secara tiba-tiba kini bergerak, memutar untuk menoleh dan berhadapan langsung dengan Anyelir yang tengah memainkan ponselnya. Hanya karena Janu cemburu, Anyelir merasa takut lantas mengajaknya buru-buru ker jenjang yang lebih tinggi? Oh, Janu belum siap memantapkan diri. "Jangan terlalu ... jangan terlalu terburu-buru, kita saling kenal dulu," Anyelir yang tengah memainkan ponsel mendongak. "Hm, maksudnya?" "Saya pacaran sama kamu saja baru beberapa minggu, kita butuh waktu untuk saling mengenal lebih dalam satu sama lain!" Dengan jawaban Janu yang terlampau aneh, Anyelir mengerutkan dahinya. "Kamu nggak mau?" "Bukan nggak mau ... saya butuh waktu untuk ... kamu ... ka—kamu juga pasti butuh waktu untuk memantapkan diri," "Aku nggak butuh! ini baru aja rilis, mumpung kita punya waktu senggang!" "Hah?!" Janu tak jadi melanjutkan ucapannya saat Anyelir menyodorkan ponsel, ada poster film yang baru saja rilis terpampang di sana. "I—ini ... ini film?!" "Iya ... kayaknya filmnya bagus, deh. Ayo nonton film ini!" "Jadi ini judul film ... saya kira kamu beneran ngajak nikah," gumam Janu, sangat pelan. Sepertinya semut pun tak mampu mendengarkan apa yang Janu ucapkan barusan. "Kamu ngomong apa?" Janu tersenyum lantas menggeleng. "Ah ... bukan apa-apa! ayo nikah yuk!" pekiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD