Bab 45 - Janu dan Idolanya

1930 Words
Anyelir berkali-kali menghela napasnya menahan rasa gugup yang sejak tadi terus bermuara di hatinya, sementara Janu justru terkekeh menyaksikan gelagat sang kekasih yang dilanda kekhawatiran. Padahal, itikad baik Janu tidak mungkin membuat Anyelir berada dalam bahaya. Tapi Anyelir terlihat seperti gadis yang mau diculik orang tidak dikenal. Usai pemutaran film perdananya kemarin. Anyelir sempat bertemu dengan Ibu Janu, ia hanya memperkenalkan diri alakadarnya, tidak menyangka juga bahwa Janu akan membawa keluarganya di hadapan publik. Meski Janu tidak memperkenalkan atau membiarakan ibunya sedikit pun tersentuh media. Tetap saja, itu membuat Anyelir terkejut. Hari ini, Anyelir diundang menghadiri jamuan makan malam dari Ibu Janu, undangan khusus yang membuatnya kelimpungan setengah mati. Yang lebih parahnya lagi, Janu menjemput Anyelir dari siang bolong. Di saat Anyelir belum mandi apalagi menyentuh make up, matanya saja baru melek dari mimpi. Memang kalau soal janji, janu tidak pernah main-main. Sampai Anyelir pun teringat kali pertama bertemu Janu yang mencap dirinya orang munafik karena ingkar janji. "Kamu kenapa?" Janu yang heran sejak tadi akhirnya bertanya juga. Anyelir menyalipkan helaian rambut gelombang berwarna brown pada telinganya, anting berlian yang nampak cantik terlihat jelas di hadapan Janu. "Ibu kamu kira-kira bakal suka aku nggak?" tanya Anyelir takut. Janu yang hendak menyalakan mesin mobil untuk segera berangkat menuju kediamannya malah tertawa singkat, wajah maskulinnya berubah seperti bola salju saat tergelak, benar-benar membuat Anyelir gemas sendiri. "Kok kamu malah ketawa, sih?!" geram Anyelir, padahal ia memang benar-benar overthingking semalaman penuh. Memikirkan apakah ia akan diterima oleh Ibu Janu? apakah ibu Janu akan menyukainya atau tidak? atau bahkan yang lebih parah ibu Janu mempercayai banyak rumor yang beredar tentang kebusukan Anyelir. Baru kali ini ia menyesal tidak pernah turut menyangkal atau memberikan klarifikasi terhadap gosip-gosip murahan itu. Ia takut kalau sampai Ibunya Janu berpikiran bahwa Anyelir benar-benar sering berkunjung ke hotel dan melayani p****************g. Padahal dalam kenyataannya ia ke hotel untuk staycation, menghabiskan waktu sendiri sebagai healing, versi Anyelir. "Pertanyaan kamu aneh," "Aku takut, kalo sampai Ibu kamu percaya sama gosip-gosip tentang aku gimana?" "Ibu nggak suka gosip." Janu menyalakan mobil miliknya. "Sudah, kamu jangan khawatir, ya?" "Beneran?" wajah Anyelir nampak memelas. "Beneran apa?" "Ibu kamu beneran nggak suka gosip? padahal itu salah satu kenikmatan duniawi! profesi pertama seorang wanita adalah ... julid, gibah, gosip, bersama antek-anteknya!" kali ini Anyelir malah telihat antusias, soal profesi yang satu ini memang tidak ada tandingannya. Berawal dari kalimat 'Tau nggak?' berakhir dengan kisah panjang bertabur bumbu-bumbu cinta. Jika dihitung kegiatan gibah antara Anyelir dan Batari, bisa muat sampai satu buku diterbitkan berjumlah ratusan halaman. Sangking rajinnya, bergibah. "Buat apa gosip? manfaatnya buat kamu apa? bisa bikin kaya?" Mati kutu Anyelir kalau sudah begini caranya, Janu si bijak pandai berbicara tidak boleh dilawan bila situasinya terlalu berbahaya. Anyelir tiak punya segudang alasan untuk dijadikan benteng pertahanan dari ceramahanya Janu. Lagipula memang begitu faktanya, meski nikmat, berjulid tetap tidak bermanfaat. "Udah ...." Anyelir tersenyum paksa. "Jangan dibahas, ya? daripada kita jadi bahan gibah karena perang dunia ketiga di mobil kamu ... mending bahas yang lain, ya." "Kamu yang mulai duluan, bukan saya." "Iya ... saya yang salah Bapak Janu yang bijaksana!" "Janu sadajiwa." Janu terfokus pada jalanan, memegang kemudi mobil tanpa menoleh meski ia berucap barusan. "Bukan Janu Bijaksana!" "Iyaaaa." Pasrah Anyelir. ** Setelah menghabiskan banyak drama selama di perjalanan perkara gosip, akhirnya dua insan itu tiba di kediaman Janu yang terbilang unik. Segala sesuatu tentang rumahnya berbau etnis, pedesaan, dan tradisional yang dikelilingi banyak pohon kelapa rimbun. Anyelir sendiri sempat terheran dengan nuansa asri di tegah hiruk-pikuk metropolitan. Benar-benar seperti rumah Jawa pada umunya, banyak bagian bangunan yang terbuat dari kayu juga warna-warna yang diciptakan hangat. Anyelir turun dari mobil, menjuntaikan dress simple selutut berwarna merah jambunya dengan indah. Mulutnya setengah terbuka, bahkan menatap sekeliling cukup berbinar. "Ayo masuk." Janu menggenggam tagan Anyelir. Saat pintu masuk terbuka, sebuah halaman terbuka sederhana paduan desain brick wall jaman dahulu yang dialihfungsikan menjadi area tempat duduk dikelilingi tanaman hijau. Seorang wanita berambut pirang, iris hazel yang terang khas orang-orang Eropa tersenyum menyambut Anyelir—ia adalah Flender—Ibu kandung Janu. "Selamat datang di rumah kami." Wanita berusia di angka lima yang masih terlihat cantik itu menghampiri sembari mendekap Anyelir, melakukan ritual cepika-cepiki seperti ibu-ibu arisan. "Terimakasih, Tante." Anyelir tersenyum pulas. "Ibu." Flender, atau kerap disapa Ander itu berujar sembari duduk dan mempersilahkan Anyelir ikut mendaratkan bokongnya saling berhadap-hadapan. "Hmm?" Anyelir kurang paham dengan maksudnya. "Panggil saya Ibu," ucap Ander. Sukses membuat Janu dan Anyelir saling beradu pandang, seketika pikiran negatif tentang ibu Janu sirna. Benar kata puteranya, Ander memang tidak suka gosip. Terbukti aura positif yang terpancarkan benar-benar nampak tulus. "Oh ... i-iya, Ibu." Senyum Anyelir nampak kikuk, tapi justru jauh di dalam lubuk hatinya ia berteriak kegirangan. semacam menadapat lampu hijau. "Karena makanannya belum siap, gimana kalau kita keliling rumah. Ada beberapa hal yang Ibu pengen tunjukkan tentnag Janu pada kamu," "Boleh, Tante. EH!" Anyelir menutup mulutnya yang terlapau antusias tapi malah salah ucap. "Maksud saya, Ibu ...." "Ibu mau tunjukkin apa?" Janu berkomentar sebelum keduanya benar-benar beranjak. "Semuanya tentang kamu," "Jangan yang aneh-aneh!" ketus Janu. "Tanpa ditunjukkin juga Berta Bee pasti sadar kalau kamu memang aneh," "Eh ... Sijaz, 'kan?!" Anyelir tersenyum pulas saat seekor kucing berlari menghampirinya, seolah Anyelir adalah Tuannya, kucing itu berlagak mengelus-eluskan kepalanya di kaki Anyelir. "Kenapa? mau aku gendong?" Anyelir terjongkok. "Sepertinya dia suka banget sama kamu," ujar Janu, memberikan penilaian. Anyelir menggendong Sijaz dengan gemas, hampir enam bulan lebih padahal Sijaz tidak bertemu dengan Anyelir. Dulu baby munchkin ini berukuran sangat kecil dan gemas, lihatlah Sijaz tumbuh menjadi kucing gendut, tapi sepertinya tidak lupa dengan pertolongan Anyelir dan kisah dibaliknya. Di mana Janu dan Anyelir tak pernah akur barang sedikit saja. "Kamu gemuk banget, sih! uuu gemes!" Anyelir mengelus-elus pucuk kepala Sijaz dengan lembut, kulit putihnya yang bersih semakin membuatnya gemas. "Kayak Rose!!" "Rose? kucing kamu?" tanya Ander Masih asyik bermain-main dengan si gemas Sijaz Anyelir berujar tanpa menoleh. "Bukan, Rose kaktus saya," "H—hah? kaktus?! kamu pelihara kaktus?" "Bukan pelihara, Bu. Tapi merawat ... ada dua belas jenis kaktus berbeda dan itu semua langka!" "Tuh, 'kan, Bu? Berta Bee lebih aneh daripada Janu," ucap Janu tak ingin kalah dengan anggapan bahwa dirinya aneh, padahal menurutnya Anyelir juga aneh, lebih tepatnya unik. Memelihara tanaman berduri yang orang lain menghindarinya karena sebagian berbahaya. Sijaz yang mulai loncat dan kabur memfokuskan Anyelir pada pembahasan terkait tuduhan Janu kepadanya mengenai kebiasaan aneh. "Kamu tetep yang paling aneh!" tukas Ander bersikukuh. "Berta Bee ... kamu tahu singkatan dari Sijaz apa?" Anyelir sebetulnya tidak mengerti kenapa mereka berdebat memperebutkan gelar tersebut, yang ia tahu, Janu tidak aneh. Bersikap biasa layaknya lelaki normal, mungkin dulu saat Janu meyembunyikan Sijaz itulah yang terkesan aneh. "Siii ... saya nggak tahu, mungkin saja lupa, Bu." "Ayo ... Ibu mau tunjukkin sesuatu sama kamu!" ** Ander menggeser sebuah pintu berbahan dasar kayu, sementara si pemilik ruangan di belakangnya tengah kelimpungan sendiri. Satu dari sekian kebiasaan dan keanehan Janu akan ditunjukkan sekarang. Wanita berkulit sawo matang yang tak lain adalah Ibunya itu begitu antusias menceritakan tentang Janu kepada Anyelir. Baru kali ini, dan pertama dalam sejarah hidup Janu sang Ibu nampak senang juga nyaman atas keberadaan sosok seorang wanita muda. "Wah ...." Anyelir terpana, matanya yang berbinar turut mendongak mengamati sekitaran ruangan. Semua benar-benar serba biru. Konsep ruangan yang memakai light strip biru di setiap sudut, meja tempat monitor dan PC yang benar-benar serba biru, belum lagi ada sebuah aquarium berisi ikan-ikan cupang berwarna biru juga. Bentuknya kecil, nampak elegan dengan hiasan rumput juga water light berwarna serupa. Janu beranjak, berdiri tegak di dekat PC miliknya, seolah menutupi sebuah poster yang sudah jelas Anyelir lihat, tapi belum seutuhnya nampak wajah asli dari gambar yang ditutupi. "Itu poster apa?" "Bu—bukan apa-apa!" "Coba minggir ... aku mau liat," Si pemilik poster yang panik lantas melotot, menggeleng-gelengkan kepala sekuat tenaga. "Nggak! bukan apa-apa, ngapain di lihat?!" "Semakin kamu tutupi, semakin aku penasaran itu apa!" Anyelir terkekeh sendiri dengan ekspresi panik Janu, gemas dia. "Gampang." Ander yang turun tangan lantas mendekat ke arah Janu, tersenyum singkat, kemudian menggelitik Janu sampai lelaki itu terpaksa menghindar oleh kegelian maut yang selalu dilakukan Ibunya. Lagi. Anyelir melotot sampai-sampai mulutnya setengah terbuka. Bagaimana tidak? dari sekian footage yang aesthetic juga barang-barang yang terkesan elegan. Ada sebuah poster yang orang akan mengira kalau Janu memiliki seorang adik perempuan, itu poster Putri dalam animasi kartun anak. Putri Jasmine, sebuah karakter fiksi yang muncul dalam film animasi Walt Disney Pictures berjudul Aladdin. "Ka—kamu ... kamu suka Putri Jasmine?!" Anyelir malah menahan tawanya. "Ibu seneng banget lihat anaknya dipermalukan!" Janu mendengus, mode ngambeknya terlihat jelas. "Kamu tahu singkatan dari Sijaz apa?" Ander nampak gemar menggona putra semata wayangnya, Janu. "Jaz ... Jaz ... Jazmine?!" tebak Anyelir. "Good job! Sijaz ... Siti Jazmine!" atas pengakuan itu Anyelir juga Ander malah tergelak, sementara Janu memasang wajahnya datar. Ia tak menyangka dari sekian banyak keahlian juga hobi-hobi keren Janu. Anyelir malah diajak menceritakan kebiasaan anehnya. "Dulu tuh Ayahnya Janu pengen banget punya anak perempuan ... bakalan dia kasih nama Siti," "Siti?" "Hmm, tapi karena nggak kesampaian ... jadilah kucing munchkin itu dinamai Siti ... dan Jazmine! sejak kecil Janu menyukai karakter Putri Jasmine daripada robot-robotan!" "Seriusly?!" "Iya!" Ander mengangguk antusias menceritakan masa lalu Janu yang tersimpan manis di memorinya. "Sampai dulu Ibu beranggapan kalau Janu mau transgender, ternyata dia hanya sebatas suka saja." "Sampai sekarang?!" Anyelir benar-benar terkejut, bagaimana bisa berita ini terlampau unik? Janu si pemarah, tempramental, dingin, dan gengsinya selangit. Ternyata mempunyai hal aneh yang orang lain akan mengira Janu gila kalau sampai ketahuan. "Kamu bisa lihat sendiri, posternya dengan nyaman menempel di sana!" "Kamu kok bisa sesuka itu sama Putri Jasmine, Jan?" Anyelir menghampiri Janu yang tengah berdiri kesal di dekat aquarium. "Udah puas ledekin saya?" "Hah? siapa yang ngeledek?" "Itu kamu senyam-senyum ... nahan tawa!" gemas sekali Janu, ingin marah pada Ibu, tidak mungkin juga. Tapi memang perlahan-lahan Anyelir juga akan tahu. Tapi masalahnya, kenapa harus sekarang? di saat Janu mati-matian ingin terlihat keren di hadapan Anyelir, malah dipatahkan oleh kenyataan lucu. "Saya hanya suka karakternya ... because she so pretty, baik hatinya maupun wajahnya. Jasmine adalah orang yang baiki, meski dia tahu dia adalah princess dari kalangan istana ... dia tetap merendah, malah menyukai orang pinggiran seperti Aladdin," Anyelir mengangguk-angguk paham, meski idola Janu terkesan aneh. Tetapi tetap saja Anyelir menyukai hal itu, sebab Janu acap kali menilai dari sudut pandang yang berbeda. Di tengah perbincangan mengenai Putri Jasmine dan kebiaaan Janu lainnya, seseorang muncul mengetuk pintu secara perlahan. "Ya, masuk!" petintah Ander sedikit berteriak. Ada seorang pelayan, memakai pakaian hitam putih khas muncul dari balik pintu. "Nyonya Ander, makanan sudah siap." "Really? oke saya akan segera ke sana," "Kalo begitu saya permisi." Pegawai tadi lantas beranjak usai mendapat anggukan dari ANder. "Let's go, you have to try it antara masakan Eropa dipadu dengan masakan Jawa." Ander berjalan lebih dulu keluar dari ruang kerja Janu. Ya, ruangan aneh yang dijadikan tempat Janu mengolah jalur pikirnya menjadi sebuah karya. Langkah Anyelir yang mulai beranjak membuntuti Ander tiba-tiba berhenti, sebab Janu menepuk pundaknya. Gadis itu menoleh. "Kenapa?" "Kalau nanti kita punya anak, kamu mau 'kan kasih nama dia Jasmine?" Anyelir terkekeh, benar-benar pertanyaan random Janu membuatnya geli sendiri. "Ya, kalau anaknya lahir perempuan ... kalau laki-laki?" "Gampang, kasih nama aja dia Jasson Mine!" "Nggak gitu juga kali!" "Nggak apa-apa." Janu menarik pinggang Anyelir untuk mengikis jarak, kini keduanya saling melekat, melempar pandangan yang mengunci satu sama lain. "Asalkan itu anak saya dan kamu, dia pasti suka, karena diberi nama dengan penuh cinta." Janu mengelus-elus helaian rambut Anyelir dengan lembut. "Ekhemm! dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD