bc

SWEET SCAR

book_age0+
456
FOLLOW
2.6K
READ
possessive
friends to lovers
sensitive
CEO
twisted
sweet
like
intro-logo
Blurb

Perjalanan hidup Kibe di antara dua sahabat. Saling mebingatkan dan saling mencaci tidak dapat di hindarkan sebab mereka sama-sama memegang prinsip.

chap-preview
Free preview
SATU
    “Ya sudah, kita putus saja. Semoga lo bahagia." Ujarnya dengan senyum tipis di akhir kalimat. Aku pun ikut tersenyum kala tahu dia bahkan bisa tersenyum.     Baiklah, kami resmi putus setelah dua minggu hubungan kami seolah tak tentu arah.     Bukan sepenuhnya salah dia, mungkin hanya waktunya saja yang tidak tepat. Keadaan juga seolah tidak mau di ajak kerjasama.     Aku cukup mengerti memang jalannya harus seperti ini.     Tapi, ya, aku masih cinta. Sangat malahan. 〰️〰️〰️     Setelah kejadian dia memutuskan aku saat istirahat kedua di taman sekolah tadi, aku sama sekali tidak menaruh perhatian pada tiga Guru berbeda yang sedang mengisi jam pelajaran.     Bel pulang berbunyi membuatku sontak berucap syukur berkali-kali dalam hati. Aku bisa menangis sepuas hati tanpa takut ketahuan setelah ini.     Doa sebelum pulang hari ini di pimpin oleh Mathias, bendahara kelas. Sekiranya satu menit kurang dan kami semua berhamburan menuju pintu kelas setelah Pak Guru di jam terakhir keluar.     Setelah merapikan buku dan kotak pensil milikku, aku memakai tas ransel lalu berjalan pelan ke arah pintu.     Di sana, dia masih menungguku sama seperti hari kemarin.     "Sudah?" Tanyanya yang ku jawab hanya dengan anggukan dan senyum tipis.     "Ayo." Ujarnya lagi dan kami berjalan beriringan ke arah parkiran motor sekolah.     Tidak ada yang berbicara di antara kami berdua bahkan saat dia sudah siap dan aku sudah duduk manis di jok belakang motor vespa warna biru muda miliknya.     Iya, dia mengendarai vespa keluaran merk ternama ke sekolah. Berbeda dengan teman-temannya yang berlomba mengendarai mobil ke sekolah.     Pernah aku bertanya kenapa dia seperti itu, dia hanya menjawab "Pengen aja." meski aku bertanya hal serupa beberapa bulan setelahnya, jawabannya tetap sama. Jadi ya, seperti itulah.     Dia memang sesimple itu. Meski keluarganya bahkan tidak bisa di katakan keluarga yang sederhana. Berbeda dengan aku yang hanya tinggal berdua bersama bibi di rumah beliau.     Perjalanan seolah memakan waktu lama sama seperti dua minggu belakangan. Kami memang berangkat bahkan pulang bersama. Dia juga menjemputku di sekolah saat aku ada jam tambahan untuk ekstra. Tapi tidak ada percakapan berarti di jam-jam tersebut. Kami hanya diam dan menikmati semilir angin yang hanya numpang lewat.     Tidak tahu pasti awalnya bagaimana hingga diam lebih mendominasi hubungan kami. Yang aku ingat hanyalah, dia yang bercerita bahwa sang mantan kekasih menghubungi untuk di temani datang ke sebuah pesta dengan tema formal. Sedang aku, tidak memiliki jawaban apapun untuk pernyataan tersebut. Memilih diam dan menangis diam-diam saat jam tidur datang.     Semuanya akan baik-baik saja. Pikirku begitu. Namun aku salah.     Kenyataannya adalah kami putus sekarang dan perasaanku sedang tidak baik-baik saja. *****     "Mampir warteg dulu ya." Ucapnya tanpa mengurangi kecepatan motornya. Aku mengangguk di jok belakang sambil menatap kaca spion sebelah kiri yang menghadap wajahku.     Dia membelokkan motornya tepat di pertigaan depan menuju warteg langganan kami.     Kami bahkan putus belum genap empat jam dan seolah sudah di hujani kenangan masa lalu.     Motor berhenti dengan mulus sehingga aku harus segera turun dan melepas helm.     Memasuki warteg dengan aku yang mengekor di belakangnya, ia menoleh. "Seperti biasa, kan?" Aku mengangguk sekali lagi. Aku juga tidak tahu kenapa aku jadi irit bicara seperti ini. Jangankan bicara, membuka mulut pun aku enggan.     Aku mengambil duduk tepat di dekat pintu, ini jam tiga lebih sedikit jadi warteg sepi.     "Bu nasi ayam goreng dan oseng kacangnya satu ya, seperti biasa. Minumnya es jeruk tapi jangan manis-manis." Dia berucap dengan suara yang selalu aku suka; tegas dan dalam.     Ibu penjual warteg yang sudah biasa melihat kami datang lalu merespons dengan tersenyum sembari membuat pesanan. "Mas Noah, sama seperti biasa juga?" Tanyanya.     Namanya Noah, kakak kelas lebih tepatnya. Sekarang kelas dua belas dan juara pararel jurusan IPA. Sedang aku, kelas sebelas jurusan IPA juga tapi bukan juara pararel. Aku harus cukup puas dengan peringkat dua atau tiga di dalam kelas. Setidaknya aku mendapat beasiswa untuk uang bulanan di sekolah. Lumayan meringankan beban.     "Saya mie rebus saja Bu. Lagi pengen hehe..." keningku mengernyit spontan. Untuk apa mengajakku kemari kalau dia hanya ingin membeli mie rebus.     "Mas..." panggilku saat ia sudah selesai menyebutkan pesanannya. Ia mengisyaratkan ku untuk menunggu sebentar jadi ya aku hanya bisa mengangguk setelahnya.     Sembari menunggu dia duduk di sebelahku, aku mengeluarkan ponsel untuk mengecek aku dapat giliran masuk sore atau malam.     "Nih," Ia mendekat dengan satu piring nasi pesananku seperti biasa dan satu gelas es jeruk di tangan satunya. "Kenapa?"     Aku menggeleng, "Mas kenapa pesen mie rebus aja. Tahu gitu tadi nggak usah mampir, biar aku masakin di rumah aja." Ucapku sengaja memberi penjelasan sekalian.     Ia menggeleng, "Kalau nanti masak di rumah. Lo akan makan mie juga atau lebih parahnya lo malah nggak makan." Jawabnya dengan menyematkan sejumput rambut ke belakang telingaku. "Dah, makan yang kenyang."     Tuhan, ingatkan aku bahwa kami baru saja putus beberapa jam yang lalu.     Dua minggu belakangan kita hanya berangkat dan pulang bersama. Berbicara seperlunya saja tanpa ada niat lebih dari itu. Mas Noah memang mengantar bahkan menjemputku saat aku akan kerja di kedai. Tapi selalu hanya seperti itu. Tidak ada percakapan lebih dari lima kalimat. Tidak sekalipun dia menanyakan aku sudah makan apa belum. Bahkan aku pun juga enggan bertanya dia kenapa karena dengan dia mengantar dan menjemputku, aku merasa tidak bisa meminta lebih dari itu. Tapi puncaknya adalah tadi siang dan aku cukup kecewa dengan keadaan kali ini. 〰️〰️〰️     Sama seperti yang sudah-sudah, Mas Noah yang membayar tagihan makanan di warteg tadi. Ia juga mengantarkanku ke kedai langsung saat aku bilang mendapat shift jaga sore. Aku bekerja di salah satu kedai kopi sederhana kira-kira sepuluh menit dari kawasan perumahan milik keluarga Mas Noah.     Jika masuk sore seperti ini, aku bekerja mulai jam setengah lima sore hingga jam sebelas malam. Pulang di jemput Mas Noah seperti biasa. Aku tidak pernah meminta, karena aku sudah terbiasa sendiri jauh sebelum kami berdua ada hubungan.     "Nanti pulang seperti biasa kan ?" tanyanya saat aku melepas helm. Aku mengangguk.     "Tapi Mas, kamu nggak perlu loh ngejemput aku lagi. Aku sudah bukan siapa-siapanya Mas lagi." ucapku berharap dia mengerti.     Dia menggeleng dan mengacak puncak kepalaku, "Lo tahu kewajiban nggak dek? Lo itu kewajiban gue. Dah, gue balik dulu. See you tonight."     Sepeninggal Mas Noah, aku melangkah masuk kafe dengan Febri dan Danang yang menyapa riang seperti biasa.     "Kalian sudah baikan?" tanya Febri saat aku memasuki ruangan khusus staff. Menaruh tas sekolah serta bergegas mengganti seragam dengan baju kerjaku.     "Enggak." sahutku sedikit senga. Aku sudah di dalam bilik kamar mandi untuk berganti baju. Teriakan Febri terdengar lagi.      "Tapi tadi bicara kan, Ne." Tanpa sadar aku mengangguk sebagai jawaban padahal sudah pasti Febri tidak dapat melihatnya.     Beberapa menit berselang aku keluar dengan pakaian kerja yang sudah rapi dan siap bekerja, Febri masih duduk santai di ruangan khusus staff.     "Lo ngapain nggak balik ke depan."     Febri menggeleng, "Nungguin lo lah Ne. Serius masih berantem sama si ayang?" Tangannya mengapit tanganku, kami berjalan ke depan beriringan. Aku mengangguk sekali lagi.     "Putus sih." kataku datar. Tidak tahu saja rasanya seperti ingin menangis tapi aku tidak di ijinkan menangis. Lagi-lagi karena keadaan.     "Ha!" Febri dan Danang bak paduan suara yang sudah mendapat gelar kekompakan tingkat professional.     "Kok bisa sih Ne.." itu Danang. Dia memang sedikit memiliki gaya bicara seperti perempuan. Tapi, Danang memiliki jiwa pertemanan yang luar biasa solidnya.     Aku mengangguk lalu mengedikkan bahu. Aku pun juga tidak tahu.     "Siapa yang mutusin?" Febri menyahut. Suasana kedai sedang sepi, maklum masih sore. Biasanya setelah jam enam, beberapa remaja seusiaku baru akan berkunjung hingga malam menjelang.     "Mas Noah." Sahutku singkat.     "Selamat datang di Kedai 61!" Ujarku setengah berteriak karena tepat setelah aku menjawab Febri, seorang pelanggan perempuan paruh baya memasuki kedai.       "Ada yang bisa saya bantu?" Tanyaku kepada pelanggan tersebut. Pelanggan tersebut tersenyum lalu kepalanya menengadah menatap deretan menu yang terdapat tepat di papan atas belakang aku berdiri.     "Red Latte satu." Ujarnya.     Aku mengangguk, "hot or cold?"     "Hot sama Brownies cokelatnya satu."     Aku mengangguk sekali lagi, "Dine in or take away?"     "Dine in."     "Atas nama siapa kalau boleh tahu?"     "Agatha." Sahutnya sembari tersenyum lebar. Sangat cantik. Tiba-tiba terbesit wajah almarhum Mama di kepalaku.     "Baik. Saya ulangi, satu hot red latte dengan satu brownies cokelat u ya. Dine in ya. Semuanya tujuh puluh empat ribu delapan ratus rupiah." Selesai pelanggan tersebut melakukan transaksi, aku membuatkan pesanannya dan segera mengantar ke tempat pelanggan tadi duduk. 〰️〰️〰️     Sepuluh lebih tiga puluh tujuh menit aku melihat Mas Noah sudah datang terlihat dari mobilnya yang sudah terparkir apik di depan kedai. Kebetulan sekali kedai hari ini sepi jadi kami menutupnya tepat pukul sepuluh.     Kata kepala manager, shift malam sengaja di liburkan untuk membantu kami yang shift pagi dan sore saat akhir pekan datang.     "Malam Mas Noah!" Febri menyapa dia terlebih dahulu. Mas Noah hanya tersenyum tipis sembari mengangguk.     "Gue duluan ya Ne." Kata Febri di susul lambaian tangan lalu menaiki motornya.     Aku mengangkat ibu jari kananku, "Makasih banyak Febri!." Febri pun membalas hal yang sama lalu pergi melesat dengan motornya.     "Sudah lama? tumben tutup jam segini?" Aku mengangguk membenarkan pertanyaannya.     "Sepi Mas. Mas sudah makan?"     Dia menggeleng. Menarik pelan pergelangan tanganku lalu membukakan pintu di samping pengemudi dan menyuruhku masuk dengan isyarat kepala. Setelahnya ia segera memasuki bagian kemudi.     "Mampir fastmart dulu ya dek, beli nasi goreng di depannya. Lo belum makan kan." Itu kalimat pernyataan karena nyatanya Mas Noah tidak akan pernah mau mendengar jawabanku seperti yang sudah-sudah.     "Mas sudah tahu mau masuk Univ mana?" Tanyaku membuka percakapan di antara kami. Cukup sudah keterdiaman selama akhir hubungan kami.     Ia menggeleng, "Papi nyaranin gue ke UK aja sih. Tapi nggak tahu ntar." Jawabannya sudah sukses membuat kepalaku pening. Selanjutnya dari pada membuka mulut, aku lebih senang menatap jalanan dari jendela samping.     Seolah tahu kegelisahan dalam keterdiamanku, aku merasakan tangan kananku di tarik lalu masuk ke dalam genggaman telapak tangan kiri Mas Noah.     "Dek, kalau nanti gue ke Inggris. Lo ikut gue ya, biar gue yang ijin ke bude. Papi sama Mami juga ngijinin gue bawa lo kok." Aku sontak menatap dia tepat di wajah. Namun, Mas Noah ternyata masih fokus menatap jalanan yang cukup ramai di depan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Married With My Childhood Friend

read
44.0K
bc

Sweet Sinner 21+

read
879.7K
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
285.7K
bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
571.1K
bc

HYPER!

read
559.1K
bc

Partner in Bed 21+ (Indonesia)

read
2.0M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook