"Jadi bagaimana natalmu?",
Disinilah Emily berada. Kembali melakukan sesi bersama Dokter Willsburgh. Seperti biasa Emily duduk dengan nyaman di sebuah sofa bergaya parisian yang memiliki sandaran besar dan tinggi, lalu bagian dudukan memanjang sehingga Emily dapat meluruskan kakinya. Emily mengangguk lambat. "Semuanya baik-baik saja.".
"Benarkah?".
Emily kali ini mengangguk cepat. "Aku berhasil melewati natal bersama keluargaku.",
Dokter Willsburgh tersenyum lebar. "Oh itu bagus sekali.", balasnya sebelum mencatat sesuatu di lembaran kertas. Entah apa yang dituliskan wanita itu namun Emily tahu jika kertas itu adalah catatan kesehatannya. Ia sempat melihat namanya tertera di bagian atas kertas tersebut. "Bisa kau ceritakan sedikit padaku?".
"Hmmm kilatan itu sempat kembali ketika salju pertama kali turun. Tepat setelah sesi pertamaku denganmu, dok. Tapi kakakku berhasil menenangkanku.",
"Kakak?".
Emily mendesah pelan. Dokter Willsburgh tidak tahu jika Emily memiliki Aram sebagai kakak karena memang sampai detik ini belum ada yang tahu menahu tentang hubungan Adrian dan Natalie. Hanya mereka-mereka yang kemarin datang di makan malam natal. Kecuali Steven- Emily belum sempat memberitahu pria itu.
"Ibuku dan Adrian Langford akan menikah.",
Dokter Willsburgh terkejut mendengarnya. Ia melepaskan kacamata baca yang selalu dikenakannya ketika menulis. Lalu meletakkan kacamata itu sebelum melipat tanganya diatas meja. "Natalie dan Adrian akan menikah?",
Emily hanya mengangguk. Ia tahu jika Dokter Willsburgh tidak mungkin membocorkan apapun yang mereka bicarakan di ruangan ini. Sudah menjadi etika kerjanya sebagai dokter. Untuk itu Emily menjawab pertanyaanya.
Dokter Willsburgh menggeleng pelan. "Maafkan aku. Mari kita kembali pada topik sesi.", ia dengan cepat kembali memakai kacamatanya. "Jadi kakakmu berhasil menenangkanmu. Lalu?",
"Ia juga menyarankanku untuk menyibukkan diri dan berfokus untuk merayakan natal.", Emily terdiam beberapa saat sebelum kembali berkata. "Entah kenapa aku lebih mengikuti perkataannya daripada perkataanmu, dok. Jangan tersinggung.", tambahnya terang-terangan.
Dokter Willsburgh terkekeh pelan. "Tenang saja. Aku tidak mudah tersinggung.", balasnya tetap ramah. "Lagipula itu hal yang bagus. Kau jadi memiliki orang yang dapat kau percaya untuk membantumu bangkit.",
Emily mengangkat bahunya samar. "He's the right man in the right place.",
"Benar sekali.", Dokter Willsburgh menunjuk Emily dengan ujung pena yang dipegangnya. "Kau juga dapat menggunakannya sebagai jangkar untuk bertahan. Dan akan lebih baik lagi jika semua orang disekitarmu seperti kakakmu itu.",
...
Aram bersandar pada Rover-nya yang terparkir di tepi jalan tepat di depan gedung Richmond Private Therapy and Counselling. Ia melirik jam tangan yang diberikan Emily sebagai hadiah natal sudah menunjukkan pukul satu kurang tujuh menit. Tepat di menit berikutnya. Wanita yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar.
"Hai...", sapa Emily sambil berjalan menghampiri Aram. "Nice car by the way.", tambahnya setengah menyindir.
Aram mendengus geli. Ia meneggakkan tubuhnya kemudian membukakan pintu belakang. "Cepat masuklah. Udara siang ini sangat dingin. Tidak baik untuk wanita mungil sepertimu.",
Emily hampir terbiasa dengan perkataan Aram yang menyebalkan. Ia tidak menjawab dan masuk kedalam mobil disusul oleh Aram. Kemudian supir yang sejak tadi juga menunggu di depan mobil menutupkan pintu.
Ketika mereka di dalam. Emily melepaskan syal dan juga topi beanie yang dikenakannya sambil bertanya setengah berbisik. "Tumben sekali kau membawa supir?",
Aram melirik Emily. "Aku masih ada pekerjaan.", jawabnya singkat. Ia mengambil iPad dari dalam kantung yang ada dibelakang kursi pengemudi dan menyalakannya.
"Kalau kau masih ada pekerjaan tidak perlu menjemputku. Aku bisa pulang sendiri. Lagipula ada Nate atau Jhonson- supirku.",
"Aku tahu. Hanya saja ini sudah kewajibanku. Jadi sesibuk apapun- aku akan tetap berusaha menjemputmu.", katanya tanpa menoleh. Ia mulai sibuk mencari-cari berkas di dalam penyimpanan memori.
Emily meringis. "Apa ayahmu memaksamu?".
Aram menoleh menatap Emily. "Untuk tempo hari? Jawabannya iya. Sekarang dan seterusnya? Itu kemauanku sendiri. Kau dan Nate sudah menjadi tanggung jawabku.",
"Baiklah...", Emily terpaksa menyetujui. Ia terdiam dan membuang pandangannya keluar jendela untuk menatap jalan-jalan yang dipenuhi salju.
Sedangkan Aram. Ia kembali fokus pada pekerjaannya membuat suasana di dalam mobil dilanda keheningan. Hanya ada suara dari mobil dan juga klakson. Sampai beberapa saat kemudian, Aram bertanya.
"Apa kau sudah makan siang?", ia baru teringat jika ini sudah sangat melewati jam makan siang. Jika tidak ada Emily maka Aram tidak peduli karena dirinya sudah terbiasa. Tapi Emily? Apalagi sesi pertemuan Emily dimulai sejak jam sebelas tadi.
Emily menoleh menatap Aram. Ia menggeleng kecil. "Belum.",
"Kau mau makan dimana? Aku akan menemanimu.",
"Menemaniku itu artinya kau juga harus makan.",
Aram menyudahi pekerjaannya. Ia mengkunci layar iPadnya sebelum menjawab, "Baiklah...", ia mendesah. "Kita mau makan dimana? Gordon Ramsay? Atelier Robuchon? Le Gavroche? Alain Ducasse? Atau kau mau makan di restoran yang ada di hotelku?",
"Actually... i want to go to LEON.",
"Leon?",
"Kau tidak tahu? Restoran cepat saji yang menyediakan ayam goreng dan burger?",
"Aku tidak tahu restoran lainnya.",
Emily pikir. Hidupnya yang berkelimpahan harta dan sering menghamburkan uang adalah yang terparah. Tapi ternyata Aram jauh lebih parah dibandingkan Emily. "Kalau begitu sudah diputuskan. Kita akan ke Leon.",
...
"Bagaimana?", Emily bertanya sambil tersenyum lebar ketika Aram berhasil menelan gigitan pertamanya pada burger mushroom dan egg muffin-nya.
Aram yang mengunyah dan mengangguk. "Sangat murah namun rasanya sangat lezat. Tidak kalah dengan burger restoran bintang Michelin.", jawabnya setelah berhasil menelan.
Emily mendengus geli. Ia mulai membuka bungkusan burger miliknya. Kemudian memberi saus sambal di antara roti dan daging didalamnya.
"Darimana kau tahu tempat ini?", Aram mengedarkan pandangannya ke seluruh restoran cepat saji ini. Selain harganya yang murah tempat ini juga bersih dan nyaman. Sedikit ada rasa penyesalan kenapa ia baru mengetahuinya sekarang.
"Saat aku masih sekolah menengah pertama. Aku beberapa kali pernah kemari bersama ayahku. Mungkin sebanyak tiga kali. Entahlah... Semua kenangan di masa laluku tidak begitu jelas dapat kuingat.", pasca trauma stress disordernya membuat Emily tidak begitu jelas mengingat kejadian dalam hidupnya sebelum kecelakaan itu terjadi.
"Jadi itu alasanmu kemari? Kau ingin mengingatnya?",
Emily terdiam mendengar pertanyaan yang dilotarkan Aram. Sejujurnya ia kemari hanya karena ingin makan burger dan kentang goreng. Namun sepertinya jauh di dalam hati Emily pertanyaan itu benar adanya. Akhirnya ia mengangguk kecil.
Aram mengangkat sudut bibirnya. "Kalau begitu kau harus membuat daftar keinginanmu. Atau mungkin daftar ingatanmu.", ia meletakkan burger di tangannya. "Lalu aku akan membantumu mewujudkannya. Bagaimana?".
"Ide yang bagus.", jawabnya. "Tapi apa menurutmu daftar itu tidak akan membuatku... kau paham maksudku?",
"Aku paham maksudmu.", kata Aram. Ia menyesap sedikit cola miliknya sambil berpikir sejenak. Dan sebuah solusi terlintas dalam benaknya beberapa detik kemudian. "Menurutku kita jalankan saja ide itu. Kalau kau takut- kau hanya perlu berpikir jika daftar itu adalah daftar keinginanku. Lagipula aku juga belum pernah melakukan hal-hal yang mungkin semenyenangkan yang ada dalam daftar itu. Contohnya hari ini.".
Emily menatap Aram. Dalam hati ia membenarkan perkataan Dokter Willsburgh mengenai sosok Aram yang dapat membantunya untuk bangkit. "Aku setuju.", putusnya final. "And now. Talk less and eat more. Im starving!', tambahnya sambil mendorong tangan Aram agar pria itu menyantap kembali burger miliknya.
Aram hanya bisa tertawa.
...
Disisi lain. Natalie dan Adrian berada di kediaman Langford yang ada di The Bishop Avenue. Natalie duduk di sebuah sofabed bludru hitam tebal sambil memejamkan matanya dan wajahnya di tutupi telapak tangan.
Ia tidak sabaran hadiah apa yang ingin Adrian berikan untuknya sebagai hadiah natal. Pria itu sengaja tidak membawa hadiahnya pada saat makan malam natal dua hari lalu karena ingin membuat kejutan yang spesial.
"Apa aku sudah boleh membuka mata?",
"Belum.", teriakan Adrian terdengar cukup jauh. Seolah pria itu tidak di ruang tamu bersama Natalie.
Natalie menghela napas pendek. "Karena kau membuatku penasaran dan menunggu. Sebaiknya hadiah yang kau berikan harus bagus.",
Adrian yang baru saja mengambil dua koper besar dari dalam kamarnya tergopoh kembali ke ruang tamu. Ia menggeret koper itu hingga di sebrang meja di hadapan Natalie duduk. "Aku yakin kau akan menyukainya.", balasnya. "Dalam hitungan ketiga kau baru boleh membuka matamu. Mengerti?",
"Mengerti.",
"Baiklah...
Satu
Dua
Tiga.",
Natalie menurunkan telapak tangannya dan perlahan membuka matanya. Samar-samar ia melihat Adrian karena pandangannya memburam beberapa saat. Namun ketika melihat apa yang ada disisi pria itu. Natalie menatap Adrian dan koper itu bergantian. Natalie tidak mengerti apa maksudnya. Apakah Adrian memberinya koper?
Bukannya tidak bersyukur. Koper itu sangat bagus dengan warna cokelat hazelnut dengan corak khas Louis Vuitton. Hanya saja Natalie memiliki cukup banyak koper.
Kini ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak ingin membuat Adrian tersinggung karena ia tahu berapa uang yang sudah dikeluarkan untuk membeli dua koper besar itu.
Sedangkan Adrian. Ia hanya bisa menahan senyumnya melihat raut wajah Natalie yang kebingungan. "Nat.", panggilnya.
Natalie mengerjap. Ia mendongak menatap Adrian. "Ya?",
Adrian terkekeh sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi bukan dua koper ini hadiahnya.".
"Bukan?", Natalie nyaris melompat senang.
Adrian menggeleng lagi. "Bukan ini hadiahnya...", ia sengaja menggantung kalimatnya dan mengeluarkan sebuah amplop yang sejak tadi ia sembunyikan dengan melipat tangannya kebelakang. Kemudian ia menyodorkan amplop itu kepada Natalie.
Natalie menerimanya. Ia membuka aplop itu dan mengeluarkan selembar kertas yang terlipat menjadi tiga bagian. Didalam kertas itu terdapat tulisan tangan sederet angka dan huruf.
"Aku masih tidak mengerti.",
Adrian sengaja membuat hadiah yang akan diterima Natalie dalam bentuk teka-teki. Ia mengangkat sudut bibirnya. Kali ini ia menyodorkan ponsel miliknya pada Natalie.
"Ketikan angka dan huruf itu di internet.",
Natalie dengan cepat mengambil ponsel itu dari Adrian. Ia mengetikkan angka dan huruf sama persis dengan tulisan tangan di kertas itu. Ketika mesin pencarian di internet mengluarkan semua data tentang garis bujur dan lintang kota Paris. Natalie melebarkan matanya. Ia mendongak menatap Adrian.
"We're going to Paris.",
"No way!", Natalie masih tidak percaya.
Adrian melirik dua koper di sisinya. "Aku sudah berkemas untuk kita berdua.", didalan koper itu sudah ada barang-barang milik mereka berdua. Adrian meminta bantuan Lily untuk mengisinya dan beberapa barang yang tertinggal bisa dibeli di tempat tujuan.
Natalie langsung melompat kedalam pelukan Adrian. Ia begitu senang mendengarnya. Tanpa henti-hentinya Natalie menghujani Adrian dengan kecupan di seluruh wajahnya selama beberapa saat. Sampai ia menyadari sesuatu. "Kapan kita berangkat? Kau sudah berkemas.",
"Malam ini.",
"Malam ini?!", Natalie memekik. Ia memukul d**a Adrian dan sedikit mendorong pria itu menjauh. "Jangan bercanda!",
Adrian meringis sambil mengelus dadanya. "Aku tidak bercanda. Aku serius. Aku ingin menghabiskan malam tahun baru hanya berdua denganmu. Untuk itu kita berangkat malam ini.",
"Lalu bagaimana dengan anak-anak? Apa mereka tahu rencanamu?",
Adrian menggeleng tanpa dosa. "Aku belum memberitahu mereka.",
"Kau memang benar-benar sedang bercanda, Adrian.",
...