THE GUY

2418 Words
Aku hanya menjalankan tugas. Jika kau tidak berguna, maka tidak ada artinya membiarkanmu melihat indahnya dunia. -Mater Vivere- *** Terlahir dari keluarga yang lengkap dan harmonis membuat dirinya tak merasa kurang dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Bahkan ketika ia juga memiliki saudara kandung yang berjarak 2 tahun lebih muda darinya, orang tua mereka tetap memberikan cintanya secara adil tanpa mengacuhkan satu sama lain. Kala itu dia berumur 9 tahun dan adiknya menginjak umur 7 tahun. Mereka berdua dimasukkan dalam satu sekolah yang sama. Itu merupakan permintaan dari sang Kakak dengan alasan supaya ia dapat melindungi adiknya itu dari segala hal yang akan membahayakannya. "Tenang saja, Ayah. Biarkan dia masuk sekolahku dan aku akan menjaganya dari orang-orang jahat!" seru bocah laki-laki itu pada sang Ayah. Pria itu tertawa mendengar penuturan heroik dan penuh semangat dari anak laki-lakinya itu. "Benarkah? Apa kamu bisa menjaga adikmu dari orang-orang jahat seperti superhero yang sering kamu tonton?" tanyanya. "Tentu saja, Ayah. Aku, sebagai seorang kakak akan menjadi superhero yang akan melindungi tuan putri dari para penjahat!" 'Baiklah, baiklah. Aku mengandalkanmu, superhero kecil," ucap sang ayah yang diakhir dengan senyum ramah dan bahagia. Sang Adik yang sedari tadi hanya mendengarkan percakapan antara kakak dan ayahnya seketika berlari dan memeluk kakak kesayangannya itu seraya mengucapkan, "Terima kasih. Aku mengandalkanmu, Kak." "Baiklah. Jangan ragu untuk memanggilku ketika kamu memerlukanku." Sang Kakak membalas pelukan adik kecilnya itu. Adegan itu disaksikan oleh kedua orang tua mereka yang terlihat senang sekaligus terharu dengan kedekatakan buah hati mereka. Ikatan batin yang terbentuk, kepercayaan satu sama lain, hingga tekad untuk saling melindungi membuat mereka berdua menjadi sosok saudara yang tidak akan terpisahkan. Kedekatan mereka bahkan tetap terjalin hingga mereka menginjak usia remaja. Sebagai kakak yang kini sudah berusia 20 tahun, tentu membuat pola pikirnya sedikit berubah. Itu dibuktikan dengan betapa protektifnya dia ketika sang Adik memiliki kekasih. "Dengarkan aku. Putuskan dia dan jangan pernah biarkan dia mendekatimu lagi," ucap sang Kakak dengan nada tegas. "Kenapa? Apa yang salah dengannya? Aku menyayanginya dan menurutku dia baik." Sang Adik tak ingin mengalah dan tetap membela laki-laki yang berstatus sebagai kekasihnya. "Apa kau bilang? Kau menyayanginya? Bodoh! Katakan, apa yang kamu rasakan setelah melihat foto ini?" Sang kakak melemparkan beberapa lembar foto yang memperlihatkan seorang pria tengah tidur dengan seorang wanita tanpa sehelai kain pun yang menutupi tubuh mereka berdua. Tak hanya foto itu, masih banyak lagi foto dengan pria yang sama namun berbeda wanita pada setiap lembarnya. Tentu sang adik terkejut pasalnya ia mengenal siapa pria yang ada di foto itu. Pria yang tadi ia bela dengan alasan menyayanginya. "K–kak? D–dari mana kamu mendapatkan semua ini?" tanya sang Adik dengan suara yang bergetar. Ia merasa hatinya sekarang hancur dan kecewa dengan sosok pria yang ada dalam foto itu. Sebenarnya ia masih tak ingin mempercayai apa yang dilihat oleh mata kepalanya itu namun foto-foto itu tidak terlihat seperti hasil rekayasa. "Tentu saja aku mencarinya. Informanku banyak dan tentu dibantu oleh ayah. Kamu sendiri harusnya tahu aku dan ayah sangat ahli dalam memata-matai seseorang," ucap sang kakak bangga. Foto-foto itu berhasil merusak momen sang adik dengan kekasihnya. Perasaan yang ia miliki ternyata hanya dianggap mainan oleh pria yang ia kira akan menjadi seseorang yang akan melindunginya selain kakak dan ayahnya. Ia pun mulai menangis. Memeluk kakaknya itu dan mengucapkan, "Terima kasih karena kamu dan ayah selalu melindungiku dari orang yang ingin berbuat jahat padaku." "Itulah tugasku sebagai kakakmu. Itu juga janjiku padamu sejak kecil. Sekarang berhentilah menangisi pria b******k seperti dia, air matamu terlalu berharga untuk laki-laki yang tak tahu diri itu." Sang Kakak mengatakan itu sembari memeluk dan mengelus kepala adik kesayangannya. Ia berusaha menenangkan sekaligus memberikan kekuatan pada adiknya yang sedang patah hati. "Tenang saja. Aku akan memberikan pembalasan yang setimpal untuknya kelak," ucapnya kepada sang Adik. *** Seminggu setelahnya, mereka berencana untuk mengadakan sebuah pesta perayaan kenaikan pangkat sang ayah di tempat kerjanya sebagai Ketua Biro Kepolisian Khusus. "Bagaimana kalau malam ini kita makan di luar? Kalian ingin makan apa?" tanya sang Ayah ketika ia sepulang dari kantor. "Tumben sekali ayah mengajak kita makan di luar," ucap sang Adik. "Betul! Ada kabar bagus apa hari ini, Ayah?" Sang Kakak pun menimpali perkataan adiknya dengan pertanyaan. Sang Ibu yang melihat suaminya baru saja pulang mencoba untuk membujuk mereka untuk tidak keluar dan makan di rumah saja. "Sayang, kamu baru saja pulang. Makan saja di rumah setelah itu kita istirahat," ucapnya lembut. "Aku tidak apa, Sayang. Lebih baik sekarang kita siap-siap dan segera pergi untuk makan." Setelah mendengar penuturan dari sang Ayah, sang Ibu mendekat kemudia mencium lembut sang Ayah tanpa mempedulikan kedua anaknya yang sedang menyaksikan kemesraan mereka. Puas dengan adegan mesra itu mereka berempat mulai berkemas dan mempersiapkan diri mereka masing-masing. Sang Ayah sempat mengatakan bahwa ini merupakan perayaan kenaikan jabatannya di Biro Kepolisian, jadi tentu saja mereka harus berpenampilan baik. Ketika mereka tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing, terdengar suara ketukan di pintu rumah mereka yang segera dihampiri oleh sang Ayah. "Tunggu sebentar." Ia berjalan menuju pintu depan rumahnya. Alangkah terkejutnya dia ketika pintu dibuka terdapat sosok pria mengenakan jaket tudung berwarna hitam sedang membawa sebuah kapak kecil di tangan kanannya. Tanpa basa-basi si pria dengan mudah membacok kepala sang Ayah dengan kapak yang ia bawa. Bruk! Suara itu terdengar oleh sang Istri yang kemudian berencana untuk menghampirinya. "Sayang, kenapa tidak kamu bi—" Kalimatnya terhenti ketika melihat suaminya kini tergeletak tak bernyawa, bermandikan darah segar berwarna merah. Tak lupa dengan aksen sebuah kapak menancap tepat ditengkorak kepalanya. Sang Istri yang melihat keadaan suaminya itu seketika menjadi pucat, terkejut dengan apa yang ada di depannya. Kakinya bergetar, lemas hingga tak mampu lagi untuk menopangnya berdiri. Air matanya keluar namun sebuah suara tak mampu untuk ia ucapkan. Ia hanya bisa menutup mulutnya sembari menangis ketika pria yang membunuh suaminya itu mencabut kapaknya kemudian berjalan mendekati sang Istri. Ia menunduk, tak sanggup melihat keadaan suaminya yang sudah meninggalkannya dengan kondisi kepala terbelah dua. Dia hanya bisa menangis dan pasrah hingga akhirnya sebuah mata kapak memenggal lehernya. Mendengar suara gaduh di lantai bawah, kakak beradik itu bergegas menuju arah suara tersebut. Ketika sampai di bawah, mereka terkejut dengan kehadiran seorang pria bertudung yang tengah memakan sepotong roti dan terdapat sebuah kapan penuh darah menancap pada meja makan. Dengan sigap sang Kakak merentangkan tangannya untuk melindungi Adiknya itu. Ia sedikit yakin dengan kemampuan bela dirinya yang ia pelajari sejak duduk dibangku SMA. "Siapa kau?! Di mana Ayah dan Ibuku?!" bentaknya pada si pria yang tengah santai menyantap makanannya. Tanpa memandang ke arah anak laki-laki itu, ia menunduk seolah mengambil sesuatu dari bawah meja dan kemudian melemparkannya tepat di depan kedua kakak beradik itu. Terjawab sudah apa yang terjadi dengan kedua orang tua mereka tak kala melihat benda yang pria itu lemparkan pada mereka tidak lain adalah kepala sang Ibu. Sontak sang Adik menutup mulutnya dan mulai menangis ketika Ibundanya telah dibunuh oleh seseorang yang kini tengah santai tanpa rasa penyesalan. Sang Kakak masih mencoba tenang dan mencoba mendekati kepala yang tadi pria itu lemparkan. Ia kemudia menoleh ke arah pintu yang berhasil membuatnya jatuh tak berdaya ketika apa yang ia lihat adalah kondisi Ayahnya dengan kepala terbelah dua. "K-kau... Apa yang telah kau lakukan? Kenapa kau melakukan semua ini?" tanyanya dengan suara lemah. Kali ini ia tak kuasa menahan kesedihannya ketika ia melihat kedua orang tuanya tewas dengan kondisi yang mengerikan. "Ayah... Ibu... Kalian bisa mendengarkanku bukan?" Ia mendekat ke arah kepala sang Ibu dan kemudian mendekapnya. Tangisan terdengar sebagai tangisan paling menyakitkan baginya. "b******n! Apa yang telah kau la-" Bugh! "Kakak!" Sebuah pukulan tepat pada tengkuknya membuat sang Kakak kehilangan kesadarannya sebelum akhirnya semua menjadi gelap. *** "Hah... Di mana ini?" ucapnya ketika mulai memperoleh kesadarannya kembali. "Kenapa aku terikat pada kursi? Di mana adikku?" "Tenang saja. Adikmu sudah bahagia bersama Ayah dan Ibumu." Terdengar suara pria dari belakangnya. Suara langkahnya terdengar semakin mendekat ke arah sang Kakak yang sedang terikat pada sebuah kursi. Pria itu kini berhenti tepat di belakangnya dan kemudian memegang pundak sang Kakak seraya menunjuk ke arah salah satu tempat di ruangan dan berkata, "Kau lihat yang di sana? Adikmu sungguh cantik jika dilihat dengan posisi tergantung seperti itu." Matanya terbelalak ketika melihat satu-satunya keluarga terakhir yang ia punya harus ikut tewas di tangan pria b******k itu. Ia tak bisa lagi membendung kemarahannya. Emosi serta kebenciannya kali ini memenuhi otak serta jiwanya. "b******n! b******n! b******n! Apa yang kau mau dariku hingga membunuh semua keluargaku?! b******n setan!" Ia berteriak-teriak layaknya orang kesetanan dengan air mata mengalir deras. Hal itu hanya ditanggapi remeh oleh pria bertudung itu. "Sstt... Sstt... Sstt... jangan terlalu keras kau bisa membangunkan mereka," ucapnya. Sang Kakak sudah tidak peduli lagi dengan apapub selain melepaskan diri dan kemudian membunuh sosok yang kini ada dihadapannya itu. Tatapannya menyorotkan mata yang penuh kebencian. Sorot mata tajam yang menampakkan gejolak dendam dalam dirinya. "Ah, tatapanmu sungguh mengerikan anak muda. Seolah kau bisa kapan saja membunuhku," kata pria itu dan perlahan berjalan menjauh dari sang Kakak. "Kau ingin tahu apa yang membuatku melakukan ini semua? Hah. Kau tak akan paham dunia orang dewasa. Kau tak akan paham bagaimana rasanya ketika usahamu harus dipatahkan oleh seseorang." "Apa? Apa yang kau inginkan hah?!" Tak sabar dengan ucapan bertele-tele dari pria itu, sang Kakak membentaknya dan berusaha untuk melepaskan diri dari ikatannya. "Bisakah kau tenang sedikit dan dengarkan perkataanku?!" Kali ini balasnya membentak. Sang Kakak terdiam setelah mendengar bentakan dari pria itu. Walaupun begitu sorot matanya tidak menunjukkan ketakutan sekalipun. "Kau tahu apa yang dilakukan Ayahmu? Jabatan. Ia membeli jabatan yang seharusnya menjadi milikku dengan uang yang ia miliki." Sang Kakak terkejut mendengar penuturan dari si pria. Ia masih tidak mempercayai perkataannya bahwa Ayah yang ia banggakan tega melakukan hal kotor seperti itu. Pria itu menangis dan kembali melanjutkan kalimatnya. "Ya, dia membelinya. Semua usahaku dipatahkan oleh uang busuknya. Hingga keluargaku mulai membenciku dan meninggalkanku karena kembali menjadi pecundang." Sang Kakak hanya bisa terdiam. Ia masih tidak mempercayai pernyataan itu sepenuhnya. Kalaupun itu benar, ia tak tahu harus apa, ia hanya tak ingin keluarganya berakhir seperti ini. "Inilah keadilan. Dia merebut semua hal dariku, dan aku akan bertindak sebaliknya. Tuhan memberikan jalan yang adil bagi hamban-" Ucapannya terpotong oleh sang Kakak yang tiba-tiba membentaknya. "k*****t! Kau tak layak menyebut nama Tuhan setelah melakukan hal i-" "Berisik! Kau tidak tahu apapun tentang keadilan dan rahmat dari Tuhan! Tuhan selalu mendengarkan doa hambanya yang terus disakiti dan memberikan rahmatnya untuk bisa melakukan pembalasan yang lebih kejam," ucapnya sembari mengusapkan tangan penuh darahnya itu ke wajah bengisnya. Pria itu sudah benar-benar gila dan salah jalan, itulah yang dipikirkan anak laki-laki itu. Ia berusaha sekuat tenaga melepas ikatan tali itu ketika melihat si pria berjalan mendekati mayat Adiknya yang tergantung. "Beruntungnya Ayahmu memiliki gadis cantik ini sebagai anaknya. Aku penasaran seperti apa nikmatnya tubuh gadis muda secantik ini." Setelah mengatakan itu dia mulai melepas ikatan yang melilit leher sang Adik dan kemudia menidurkannya di atas meja didekatnya. "Apa yang akan kau lakukan pada Adikku k*****t?!" tanya sang Kakak dengan emosi. Si pria hanya melirik sekilas kemudian menampakkan senyum yang mengerikan sebelum akhirnya ia melanjutkan aksinya. Bret! "k*****t?! Jauhkan tangan kotormu dari Adikku!" Kali ini sang Kakak mulai kehilangan akal dan meronta-ronta berharap ikatan pada tubuhnya melonggar dan lepas. Sedangkan pria itu mulai menyobek pakaian sang Adik dan memainkan tubuh gadis itu. Ia mulai menikmati tiap inci tubuh gadis itu di depan Kakaknya sendiri. Ketika puas dengan menjilati tubuh itu, ia mulai memasukkan kelaminnya ke alat vital sang Adik dan kemudian memperkosa tubuh dingin itu tanpa perasaan bersalah. "b******n gila! Berhenti melakukan itu dan jauhkan tubuh busukmu dari Adikku!" Sang Kakak tak henti-hentinya berteriak dan meronta berusaha menghentikan aksi dari si pria. Ia tak kuasa lagi menahan air matanya untuk menerjang keluar. Sudah cukup baginya melihat keluarganya dibantai dan sekarang ia harus menyaksikan yang lebih menyakitkan ketika jasad dari Adiknya harus dijadikan pemuas nafsu dari orang gila yang tak berperasaan. "Hiks... Hiks... Ku-kumohon sudah cukup! Hentikan! Aku mohon, biarkan Adikku tenang," mohonnya dengan isakan tak lepas keluar dari mulutnya. Seolah tak mendengarkan, si pria terus saja melakukan aksinya dan menikmati kegiatannya itu. Sang Kakak terus saja memohon dan menangis supaya si pria menghentikan aksinya. Ia sudah tak tahan harus menyaksikan adegan yang menyakitkan lagi. Sudah cukup dengan kehilangan semua yang ia sayangi. Sudah cukup dengan melihat bagaimana orang yang ia sayangi harus mati dan diperlakukan tidak layak tak tidak dihormati. Sudah cukup. Dengan tenaga yang tersisa, sang Kakak mencoba melepaskan ikatannya. Namun hal itu tak berhasil. Ia hanya bisa menangis, tenaganya sudah habis, dan lagi-lagi ia harus pingsan. *** Satu tahun berlalu sejak pembantaian kala itu. Ia berhasil selamat dan tidak dibunuh oleh pelaku. Si pelaku pun ditangkap dan harus menjalankan hukuman seumur hidupnya di penjara. Tentu saja bagi sang Kakak, hukuman itu tak setimpal dengan apa yang ia alami. Hal itu meninggalkan luka traumatis yang menyebabkan dirinya kehilangan jati dirinya sendiri. Selama setahun hidup sebatang kara sebagai gelandangan. Tidak memiliki tujuan hidup selain membalas dendam. Tak pantas lagi dikatakan sebagai manusia selain menyandang gelar orang gila. Ia ingin mengakhiri hidupnya namun diriny yang lain masih ingin hidup dan membalaskan dendamnya. Ia tak bisa apa-apa. Ia hanya bisa meratapi dan larut dalam kesedihannya. "Pak, tolong beri saya makan. Saya sudah seharian belum makan pak," ucapnya pada seorang penjual nasi keliling. "Kerja sana! Masih muda bukannya cari kerja malah minta-minta. Makanya dulu waktu sekolah yang benar!" Begitulah kata si penjual makanan itu. Ingin sekali dirinya membunuh si penjual itu sebelum akhirnya ia mengurungkan niatnya karena ia masih memikirkan keluarga yang dimiliki oleh si penjual. Kesehariannya sekarang hanya berjalan tanpa arah dan meminta-minta pada orang-orang. Tak ada lagi tujuan hidupnya, tak ada lagi alasan untuknya melanjutkan hidup. Semua kebahagiaannya direnggut oleh keegoisan dua orang bodoh yang saling memperebutkan kekuasaan. Jabatan adalah segalanya dibanding keselamatan. Itu yang mungkin dipikirkan oleh pria itu dan ayahnya. Ia sudah tak kuat lagi untuk berjalan, sehingga memutuskan untuk duduk istirahat di emper toko. Tak lama setelah itu muncul seorang pria tua yang berjalan ke arahnya. Pria itu berpakaian rapih berjas menampakkan orang yang berjaya. Ia mendekati pemuda itu dan kemudian tersenyum ramah. Ia mengulurkan tangannya dan mengatakan, "Sepertinya kau kesulitan. Maukah kau ikut denganku? Begitu katanya. Kalimat tanya yang ia lontarkan dengan senyuman ramah yang dia tunjukkan membuat pemuda itu menjabat tangannya. Pemuda itu sudah tidak peduli lagi dengan hidupnya, entah ia nantinya akan dijual atau organ dalamnya akan diambil dia sudah tidak peduli. Dia lelah dengan penderitaan yang ia alami selama ini. Melihat pemuda itu merespon jabat tangannya, pria itu tertawa dan berkata, "Tenang saja. Kau akan kembali merasakan yang namanya kehidupan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD