THE SIX

2128 Words
Tidak ada sebuah pesta yang lebih meriah dari sebuah pesta dengan serbuk mesiu. -Turmoil- *** Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu kamar rumah sakit membuat sang pemiliki kamar merasa sedikit terganggu dikala dirinya sedang membaca sebuah buku novel misteri kesukaannya. "Masuklah." Sesosok pria jangkung bertubuh besar muncul dari balik pintu dengan mengenakan sebuah topeng menutupi wajahnya. Tercetak jelas pada permukaan topeng tersebut terdapat sebuah lambang dengan warna merah darah bertuliskan sebuah huruf "M". Pria itu memandang sekilas ke arah sosok pria tua pemiliki kamar yang tengah dalam posisi bersandar pada sandaran ranjang rumah sakit dengan selang infus yang menempel pada tangan kirinya dan sebuah buku novel misteri dengan judul The Silent Patient karya Alex Michaelides dalam posisi terbuka. "Saat tubuhmu lemah seperti ini, masih sempatkah kau membaca novel itu dibanding dengan kondisimu sendiri?" tanya pria itu dengan nada tegas kepada sosok tua dihadapannya. "Semakin lemah kondisiku, semakin banyak waktuku untuk membaca. Tak kusangka sosok manusia yang masih memerankan aktor antagonis dalam ceritanya sendiri, merasa khawatir dengan orang tua sepertiku," balas pria tua itu dengan senyum tipis terukir di wajahnya. Sosok pria besar tadi kemudian melangkahkan kakinya masuk dan berjalan menuju sebuah sofa yang ada di dalam ruangan itu. Aroma khas obat-obatan rumah sakit membuatnya sedikit merasa pusing karena tidak terbiasa. Ia kemudian melepaskan topeng bersimbol "M"-nya itu dan meletakkannya di atas meja tepat di samping sofa. Menampakkan wajah dengan garis rahang tegas dan sangar yang kini kembali menjatuhkan pandangannya pada pria tua itu. "T—" "Panggil aku Ayah, Nak." Belum sempat pria itu mengeluarkan sebuah kata, ucapannya harus terpotong oleh perkataan yang keluar dari pria tua tadi yang meminta pria itu memanggil dirinya dengan sebutan Ayah. "Berhentilah memanggilku dengan namaku, mulai sekarang panggil aku dengan sebutan Ayah." "Kau bukan ayahku." "Sejak kau mengikuti sepuluh tahun lalu, saat itu juga aku telah menjadi ayahmu dan kau menjadi anakku." Pria itu kembali menatap tajam ke arah pria tua yang notabene adalah ayah angkatnya. Ia hingga sekarang masih enggan menganggapnya sebagai seorang ayah terlepas bagaimana ia diselamatkan dari keterpurukan dan memberikannya sebuah kehidupan layak selama 10 tahun terakhir ini. Pria itu bangkit dari duduknya, mengambil sebuah gelas dan berjalan menuju ke tempat di mana dispenser berada. Ia mengambil segelas air kemudian berjalan ke samping ranjang ayah angkatnya itu sembari meletakkan gelas berisi air yang tadi ia bawa. Ia mengambil napas berat dan kemudia berkata, "Maafkan aku. Aku memang berhutang budi padamu namun tetap saja aku tidak bisa menganggapmu sebagai ayahku, Tuan Rhodes.". Ia kembali mengambil gelas berisi air tadi dan kemudian meneguknya habis. Ia menundukkan kepalanya seolah ada hal berat yang sangat sulit untuk ia ungkapkan. Sang Ayah atau Tuan Rhodes hanya tersenyum mendengar penuturan dan tingkah dari anak angkatnya itu. Di satu sisi ia merasakan kebahagiaan bisa melihat anak yang dulu ia temukan dengan kondisi yang menurutnya mengenaskan, kini telah tumbuh menjadi sosok pria gagah dan dewasa. Namun, di sisi lain ia merasa kecewa, kecewa terhadap dirinya sendiri yang tetap tidak bisa menggantikan sosok ayah kandung dari anak angkatnya itu dan membuat beban tersendiri bagi anaknya. "Baiklah. Terserah kau ingin memanggilku apa, cukup dengan kedatanganmu ke sini setidaknya menandakan bahwa kau tidak lupa dengan hutang budimu kepada pria tua ini." Ia kembali melanjutkan perkataannya, "Kapan kau akan terus memainkan peranmu seperti ini? Sampai Tuhan benar-benar membencimu dan menghukummu dengan kematian?" Pria itu menegang mendengar perkataan dari Tuan Rhodes. Bukan ia takut dengan hukuman Tuhan ataupun kematian, melainkan ia sendiri juga tidak dapat menjawab sampai kapan ia harus seperti ini. Apakah sampai dendam yang dirinya rasakan terbalaskan? Atau sampai dirinya benar-benar merasa puas dan akhirnya lelah? "Entahlah. Yang ingin kucapai di dunia ini hanyalah ketenangan dan kebahagiaan namun semuanya direnggut begitu saja dariku. Aku tidak peduli dengan Tuhan atau balasan yang akan dia berikan padaku, bagiku hanya kebahagiaanlah yang mampu membuatku merasa puas," ucapnya menjawab pertanyaan yang Tuan Rhodes lontarkan padanya. Memang benar apa yang ia cari selama ini hanyalah kebahagiaan. Sebuah emosi positif yang sangat ia dambakan dan pernah ia rasakan selama 20 tahun. Namun, semuanya sirna hanya karena ketamakan manusia yang saling berebut sebuah singgahsana fana, tanpa mempedulikan apa efek dari semuanya. Balas dendam yang ia rasakan dan yang selalu ia jadikan alasan atas segala tindakannya, tak lebih hanya sebagai bentu luapan kemarahan dan kemalangan yang ia terima. Perasaan gelap dan sakit yang membentuk sebuah kepribadian seperti dirinya sekarang dengan idealisme pembalasan dendam sebagai pondasi dari karakternya. Tuan Rhodes memandang anak angkatnya itu dengan tatapan nanar. Ini juga bukan sepenuhnya hasil dari karakter yang diciptakan sendiri oleh anaknya namun itu juga merupakan hasil dari naungannya selama 10 tahun terakhir. Kegagalannya dalam memberikan sebuah kehangatan keluarga, menurutnya juga andil besar dalam pembentukan karakter anaknya itu. "Aku mungkin tidak akan pernah bisa melawanmu atau menahanmu. Namun aku hanya ingin membuatmu camkan kata-kataku ini. Bagaimana pun keadaanmu, seburuk apapun kondisimu, aku tak akan pernah membuangmu, aku adalah rumahmu, jangan sungkan untuk pulang, aku selalu menyayangimu walaupun kamu bukanlah anakku," pesan Tuan Rhodes kepada anaknya itu dan diakhiri dengan sebuah senyum menenangkan. Setelah mendengar perkataan dari ayah angkatnya itu, ia kemudian berjalan ke arah topengnya berada kemudian mengenakannya. Sebelum ia meninggalkan ruangan itu, ia berkata, "Terima kasih, Tuan.". Kemudian ia kembali melanjutkan langkah kakinya menuju pintu kamar dan meninggalkan pria tua itu kembali menikmati waktunya sendiri ditemani novel misterinya. *** Di depan sebuah pondok tua di tengah hutan, terdapat sebuah mobil Alfa Romeo berjenis 8C 2900B terparkir dengan rapi. Dari dalam mobil keluar sosok pria dengan topeng berlambang huruf "M" dengan warna darah. Ia kembali ke tempat persembunyiaannya setelah berkunjung di rumah sakit ayah angkatnya. Pria "M" itu melangkahkan kakinya menuju ke teras depan dari pondok tersebut. Di sana ia disambut oleh seorang pria dengan tinggi badan yang memiliki 99% kemiripan yang juga memakai sebuah topeng di wajahnya. Topeng dengan dengan lambang warna merah darah tersebut memiliki simbol yang berbeda yaitu huruf "A". "Selamat datang, Mr. M," sambut A pada pria yang kini ada dihadapannya itu dengan sebutan Mr. M. "Hm. Apakah semuanya sudah datang?" tanya Mr. M kepadanya. "Mari masuk terlebih dahulu, Tuan. Saya sudah menginformasikan kepada yang lain bahwa Tuan ingin bertemu dengan The Six." "Baiklah." Ia memasuki pondok tersebut dan diikuti oleh A yang kemudian berjalan menuju sebuah ruang tamu namun terlihat kosong tanpa ada perabot sama sekali di sana. A kemudian berjalan mendekati sebuah saklar lampu yang berapa tepat di atas sebuah perapian. Ia menekan tombol saklar tersebut yang kemudian muncul suara berderak dari lantai ruang tamu tersebut. Bersamaan dengan suara itu, sebuah pintu rahasia yang terdapat di bawah lantai kemudian terbuka yang menampakkan lorong gelap dan menyeramkan. Mereka berdua berjalan menuruni tiap anak tangga di lorong gelap itu dengan bantuan sebuah obor. Lantai yang merupakan pintu ruang rahasia kembali menutup setelah kedua makhluk bertopeng itu menginjakkan kaki mereka pada anak tangga ke-6. Mengingjakkan kaki ke anak tangga terakhir, mereka telah sampai pada sebuah ruangan besar dengan tembok terbuat dari baja, satu sumber penerangan yang berapa tepat di tengah ruangan dengan posisi menggantung membuat suasana terkesan redup dan juga mencekam. Tak ada furnitur lain dalam ruangan itu selain sebuah meja bundar dengan enam buah kursi mengelilinginya. Di atas sebuah meja tersebut terdapat enam buah gelas kaca bening dan sebotol anggur yang kemungkinan disiapkan oleh A untuk sebuah perjamuan yang mereka rencanakan. "Hanya satu?" tanya Mr. M pada A. A hanya mengangguk sebagai tanggapan membenarkan atas pertanyaan dari Tuannya itu. Mengerti maksud dari ajudannya, Mr. M hanya diam dan segera mengambil sebuah gelas yang ada di atas meja dan menuangkan anggur ke dalamnya. Ia meneguk anggur dalam gelas itu hingga habis tak tersisa, seolah ia hanya meminum segelas air putih untuk melepas dahaganya. Plok! Plok! Plok! "Lihatlah kawan, bos meminum jamuan hari ini terlebih dahulu tanpa izin dari kita." Terdengar suara tepuk tangan diikuti suara lantang dari seorang pria yang tidak dirasakan kehadirannya oleh A dan juga Mr. M. Pria dengan topeng berlambang huruf T itu dengan santai memposisikan tubuhnya menyandar pada pintu ruangan itu sembari terus menepukkan tangannya. "Memangnya kau siapa dengan santainya meminta dia untuk memohon pada kita?" ucap pria lain menanggapi perkataan T dengan nada datar. Pria itu kini berada tepat di belakang T dengan topeng bertuliskan huruf E. "Bisakah kau berhenti muncul secara tiba-tiba dibelangku, Effe?!" "Apakah di tempatmu tidak ada cermin, Turmoil?" Melihat kemungkinan mereka berdua akan terus beradu mulut, A yang sedari tadi diam mengamati kini mulai angkat bicara. "Jika kalian ingin terus melanjutkan debat konyol kalian, dengan senang hati aku persilakan untuk pergi dari sini." Ucapan tegas itu mampu membuat kedua makhluk pembawa keributan itu menutup mulut mereka rapat-rapat. "Hahaha. Sampai kapan kau akan terus bersikap layaknya anjing penjaga rumah, Aide?" Nada sarkas yang ditujukan pada A atau Aide keluar dari mulut pria lainnya dengan topeng bertuliskan huruf R. "Ruthless! Jaga mulutmu!" sentak Aide geram. "Lihatlah! Si Anjing menggonggong!" balas Ruthless dengan tawanya yang terkesan merendahkan. "Ruthless." Mr. M yang sedari tadi hanya diam dan tak ingin menanggapi mereka, sekarang memanggil nama Ruthless yang dengan sekejap mampu mengubah suasana menjadi mencekam hanya dengan suaranya. "M–Master," ucap R dengan nada bergetar. Hanya dengan suara beratnya mampu membuat R atau Ruthless, orang yang paling kejam di antara mereka, menundukkan kepalanya dan membuatnya bergetar ketakutan. "Aide, ke mana V?" tanya Mr. M. "Maaf, Tuan. Kemungkinan sebentar lagi dia akan datang." Seolah terpanggil oleh tuannya, sosok yang sedang mereka cari dan mereka tunggu akhirnya muncul di hadapan mereka semua. Seorang pria namun memiliki tingkah laku dan sifat yang menyerupai wanita membuat dirinya terkesan lemah lembut dan tak berbahaya. Tak ada yang menyangka bahwa pria flamboyan dengan topeng bertuliskan huruf V itu telah melakukan banyak tindak kejahatan seksual yang melibatkan banyak pasangan homo maupun heteroseksual di luar sana. "Ah, maafkan Vestal karena terlambat," ucapnya dengan nada centil. "Berhentilah bersikap seperti wanita dasar pria sial! Mendengar suaramu membuatku ingin menggorok tenggorokanmu dan menarik keluar pita suara menjijikkan itu!" bentak R. "Kya! Apa kau tidak bisa memperbaiki kosakatamu di depan makhluk suci sepertiku?! Sungguh kasar sekali! Pantas tidak ada yang mau dengan pria kasar sepertimu!" Kali ini V membalas perkataan R seolah tidak ingin kalah dalam adu mulut. Mereka kembali terdiam dan tidak melanjutkan adu mulut mereka setelah melihat pimpinan mereka yang telah duduk di kursi perjamuan dengan aura yang mampu menekan kelima orang disekelilingnya itu. Tanpa berkompromi lagi dengan segera mereka memposisikan diri mereka masing-masing dan duduk sesuai pada tempat sesuai urutan nomor yang merupakan posisi pangkat dalam The Six. Mr. M sebagai pemimpin dari The Six menempati sebuah kursi dengan nomor 1. Perlambang dari kekuasaan puncak dan penghormatan tertinggi dengan julukan The Master Mind. Posisi nomor 2 ditempati oleh ajudan, pengawal, anjing paling setia dari Mr. M dalam The Six yaitu Aide. Turmoil dan Effe berada dalam posisi pangkat yang setara namun posisi mereka dibedakan sesuai dengan umur mereka yang membuat Turmoil sebagai yang lebih tua berada pada posisi 3. Pada posisi kursi bernomor 5 ditempati oleh anggota paling kejam dan tak berperasaan, sosok pembangkang yang hanya mendengarkan perkataan dari orang yang paling kuat dan berkuasa, dia adalah Ruthless. Dan posisi terakhir atau nomor 6 ditempati oleh anggota yang paling lemah namun paling berbahaya, Vestal. "The Six akhirnya lengkap. Sekarang, kita akan membahas rencana untuk aksi kriminal berikutnya. Target kita adalah markas kepolisian pusat," ucap Mr. M. Mendengar perkataan itu dari pemimpin mereka, membuat mereka tercengang dan sedikit heran dengan apa yang sedang bos mereka pikirkan. Membuat sebuah tindakan kejahatan dengan menargetkan sebuah markas dari para orang-orang meggaungkan aksi keadilan nyata, aksi yang tentu saja bisa menjadi sebuah pedang bermata dua. Aide yang kepikiran dengan apa yang ada dipikiran tuannya itu, memberanikan diri bersuara dan bertanya, "Tuan, apa yang sedang Anda pikirkan? Bukankah menyerang mereka sama saja bunuh diri bagi kita? Bukankah Criminal City adalah tujuan yang ingin Anda wujudkan?" "Aide, pernahkah aku mengatakan akan mengorbankan The Six dan Criminal City?" Benar. Dia tidak pernah mengatakan bahkan aksinya ini bertujuan untuk menghapus keberadaan mereka. Dia hanya mengatakan bahwa target selanjutnya adalah kandang dari para makhluk keadilan. Kali ini R angkat bicara. "b******n ini! Lalu, bagaimana rencanamu untuk membuat aksi kita lancar dan jaminan bahwa kita tidak akan tertangkap setelahnya?" "T." Merasa dirinya dipanggil, Turmoil segera memberikan responnya kepada sang pemimpin. "Master." "Kau sadar bukan, apa yang harus kau lakukan?" "T–Tapi, Mast—" "Turmoil. Tunjukkan dengan caramu bagaimana sosok Dewa Kekacauan yang sebenarnya." Setelah mengatakan itu, Mr. M pergi meninggalkan ruangan tersebut diikuti oleh Aide kembali menaiki lorong tangga gelap menuju permukaan. Seolah paham dengan apa yang disampaikan pemimpinnya, T tersenyum dan menjawab, "Baik, Master. Dengan senang hati akan aku persembahkan sebuah pesta megah di tengah kota." Entah apa yang akan direncanakan oleh T dalam menjalankan aksinya, hanya dirinya yang tahu dengan apa yang harus ia lakukan. Sebuah kehormatan baginya dapat menerima sebuah tugas langsung dari Mr. M membuatnya tidak ingin mengecawakan kesempatan itu. "One Eye, selamat datang diperayaan pesta Turmoil!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD