CASE III : PARTY

2221 Words
Kau dengar? Tidak ada suara yang lebih menggairahkan daripada suara teriakan orang-orang penuh kepanikan -Turmoil- *** "Sayang, kau tak lupa bukan bahwa malam ini ulang tahun anak kita?" Terdengar suara wanita dari telepon yang tengah tergeletak di atas meja dengan tertera nama Julia. "Tentu saja. Aku akan pulang cepat malam ini," jawab seorang pria yang tak lain adalah Mater. Ternyata, Julia adalah wanita yang berhasil menjinakkan seorang pria maniak kasus dan berakhir menjadi istri sekaligus ibu dari anak Mater. "Baiklah. Jangan lupa belikan kado untuk anakmu itu. Dia pasti akan senang!" jawab Julia dengan nada semangat. "Baiklah, baiklah. Tolong siapkan masakan terbaikmu." "Kau tak perlu khawatir aku akan meracunimu dengan makanan tidak enak. Tenang saja, tidak akan kubuat kau kecewa dengan masakanku." Terdengar suara cekikikan Julia yang menandakan kebahagiaannya. Mater tersenyum mendengar keceriaan yang ditunjukkan oleh istrinya itu kala sedang bertelepon dengannya. "Baiklah, maaf aku harus melanjutkan pekerjaanku. Akan aku berikan kabar nanti setelah pekerjaanku selesai." "Tentu. Berhati-hatilah dalam bertugas. Kami menyayangimu." "Aku juga menyayangi kalian." Setelah itu telepon ditutup dan Mater kembali fokus pada pekerjaannya. Tanpa ia sadari ternyata patner in justice-nya itu sudah berdiri dengan santai dibelakangnya. Mater yang terkejut langsung memandang tajam ke arah patnernya itu. Merasa tidak nyaman dengan tatapan atasannya itu, Mortis membalas dengan perkataan yang membuat Mater sedikit naik darah. "Oh, maaf. Aku mendengar semua. Ternyata sosok yang paling ditakuti oleh semua penjahat kota pun memiliki sisi penyayang juga. Coba sesekali kau tunjukkan sisi lembutmu itu pada kriminal yang berhasil kau tangkap, mungkin mereka akan menjadikanmu Dewa karena sudah mengasihani mereka." "Mort, bisakah kau sekali saja menggunakan sopan santunmu untuk mengetuk pintu ruanganku terlebih dahulu sebelum memasukinya?" Mater tidak mempedulikan petuah Mortis dan hanya fokus pada kekesalannya terhadap sang bawahan yang masuk tanpa permisi dan mendengar semua pembicaraannya. "Kau menyalahkanku? Bukankah salahmu sendiri karena tidak menutup pintu kantormu? Bahkan orang lain pun bisa mendengar percakapanmu dari luar tanpa harus masuk ke sini dengan pintu yang terbuka lebar seperti itu," balas Mortis dengan nada sedikit kesal karena disalahkan atas keteledoran Mater sendiri. Mater yang bingung pun memandang ke arah pintu kantornya. Benar apa yang dikatakan bawahannya itu ternyata pintu ruangannya lupa ditutup dan terbuka lebar yang menampakkan orang lalu-lalang di depan ruangannya. Merasa tak enak karena kesalahpahaman yang ia ucapkan, Mater menutupinya dengan berdeham dan berjalan ke arah tempat duduk kerjanya. "Ehem. Lalu, apa yang membawamu kemari hingga dengan santainya menerobos ruanganku seperti ini?" Masih saja dituduh asal-asalan, Mortis semakin kesal dan ia lampiaskan dengan melempar secarik kertas lusuh namun terlipat dengan rapi. "Hei! Jangan membuang sampah di ruanganku dasar b******n kecil!" umpat Mater. "Biar kuluruskan. Pertama, aku tidak tahu kalau ini ruanganmu, bagiku terlihat seperti gudang tak terpakai dengan banyak sekali celana dalam pria bertebaran di seluruh ruangan." Mendengar ucapan bawahannya itu, Mater dengan segera melihat sekeliling ruangannya yang ternyata benar seperti yang diucapkan oleh Mortis. Ruangannya bahkan lebih kotor dibanding gudang milik kepolisian. Tanpa mempedulikan atasannya yang sedang memunguti "sampah" yang menghiasi ruangannya itu, ia melanjutkan kalimatnya. "Yang kedua, aku bukanlah b******n apalagi orang kecil. Umurku saja sudah melebihi batas legal untuk seorang laki-laki menyebut dirinya sebagai seorang pria." Tampak wajah sombong dan merendahkan keluar dari wajah tampan Mortis. "Terserah! Kali ini tugas apa yang diberikan oleh Si Tua Baron itu?" tanya Mater. "Seperti biasa. HUNTING," balas Mortis dengan sedikit penekanan pada kata terakhirnya. "Siapa yang harus kita buru?" "Kriminal. Kelas internasional." Mater terdiam. Ia sedikit merasa kesal atas jawaban yang tidak profesional itu keluar dari mulut bawahannya sendiri. "Berikan aku informasi yang jelas atau kutembak kepalamu saat ini juga!" ancam Mater. Mortis kemudian melepas sebuah berkas berisi data seorang kriminal bernama Torres. Mater kemudian mengambil berkas itu dan membaca setiap informasi yang tertera pada tiap halaman. Ia sedikit tertarik ketika melihat nama Torres yang ada pada berkas kriminal tersebut, ketertarikan itu nampak pada raut wajahnya yang seketika penasaran dengan apa yang ada pada berkas itu. "Kau mengenalnya?" tanya Mortis yang melihat wajah Mater seolah ia terheran setelah membaca berkas yang ia serahkan tadi. Mungkin lebih tepatnya ia lempar. "Ah, tentu. Ia adalah Torres. Kenangan bersamanya memang sungguh mendebarkan." Mendengar itu, seketika Mortis terkejut. Ekspresi yang ia tunjukkan seolah tidak dibuat-buat dan murni wujud dari keterkejutannya. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang yang jelas, ia terkejut. "Jadi, kau memiliki kenangan bersama kriminal itu? Jangan-jangan kau juga seorang krim—" "Bukan! Jangan kau berpikir yang ti—" "Atau kenangan yang kau maksud itu, kenangan dalam artian kalau kau g—" "Bukan, sialan! Jangan gunakan otakmu itu untuk memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal!" Mater membentak Mortis. Yang dibentak pun saya acuh tak acuh dan tetap memasang wajah curiga pada atasannya itu. "Wajahmu sungguh mengesalkan, Mort! Intinya, dulu aku dan dia terlibat dalam kasus yang membuatku harus mengejarnya sampai lebih dari 3 tahun. Dia sungguh seorang b******n yang licin, dan sekarang aku harus berhubungan lagi dengannya." Tampak wajah lesu kini terlihat pada wajah Mater. Namun ia masih heran, bukankah Torres sudah bebas 5 tahun lalu dan memilih berhenti melakukan kejatahan? Kenapa sekarang dia lagi-lagi terlibat dalam hal ini? "Lalu, siapa Torres ini?" tanya Mortis. "Bukankah kau yang tadi memberikan berkas ini? Harusnya kau sudah membaca informasi yang ada di dalamnya, bodoh!" Mortis hanya diam menanggapi perkataan Mater padanya. "Dia seorang pemimpin kartel. Dan tentunya pengedar narkoba." Mater kembali melanjutkan kalimatnya. "Kau yakin dia pemimpim kartel? Bukankah itu aneh?" Mater tidak menangkap maksud dari perkataan Mortis. Ia pun kembali membaca berkas yang ada di tangannya itu. Setelah membaca ulang, ia paham apa maksud dari perkataan Mortis. "Pembantaian Kartel. Bukankah itu hal biasa? Pertarungan konyol antar kartel. Bahkan hal itu sering terjadi pada geng-geng jalanan." Mortis menanggapi perkataan atasannya itu. "Aku tahu. Bukan itu yang aku maksud. Bukankah di dalam berkas itu juga terdapat potongan artikel koran mengenai kasus yang ada dirinya?" Mater mencari potongan yang dimaksud oleh Mortis tadi. Benar saja di sana terdapat sebuah potongan dengan tajuk judul yang sangat besar. "Tunggu, dia membantai anggota kartelnya sendiri? Apa dia sudah sinting?!" Mater terkejut setelah membaca judul dari potongan koran tersebut. Mortis menimpali perkataan Mater dengan celetukannya, "Mungkihkan dia sudah bosan dengan anggotanya?" "Mort, apa kau sudah bosan sebagai polisi dan ingin menjadi cenayang?" "Tidak. Kenapa?" "Kalau begitu, lebih baik gunakan otakmu itu untuk membantuku menyelesaikan masalah-masalah yang rumit daripada menerka-terka hal yang bahkan tidak jelas bagaimana kenyataannya." "Bukankan baru saja aku membantu menyelesaikan masalah?" Mater yang kesal kemudian menghela napas dan terduduk di sofa ruangannya. Matanya tertutup dan terdiam tanpa mengatakan apapun. "Kau tak ingin pergi?" tanya Mortis. "Seketika pikiranku sedang tidak ingin bekerja sama dengan ragaku." "Oh. Baiklah mungkin aku akan menyampaikannya pada Tuan Baron." Mendengar itu, Mater langsung bangkit dan menyambar rompinya yang tergeletak di atas meja. "Tidak. Kita berangkat sekarang." "Ke mana?" tanya Mortis lagi. "Bukankah kita ingin menangkap Torres?" "Memangnya kau tahu kita harus menangkap dia di mana?" Kali ini Mater hanya meringis. Apa yang dikatakan bawahannya ini benar. Ia kekurangan informasi jika ingin menangkap kriminal itu. "Kau ingat kertas lipatan yang aku lempar padamu tadi?" Mater kembali mengingat kejadian beberapa saat yang lalu ketika Mortis datang ke ruangannya. "Kertas? Oh, sampah itu? Sudah kubuang," jawab Mater dengan entengnya. Mortis yang mendengar itu seketika terkejut dan mengurut keningnya. Ia mengutuk dalam hati atas kelakuan bodoh atasannya itu. "Entah nasib seperti apa yang aku alami hingga aku memiliki bos yang sangat bodoh ini." "Memangnya ada apa dengan kertas itu? Apakah itu penting?" "Aku mendapat informasi dari informan Tuan Baron kalau Torres akan menghadiri sebuah pesta yang akan diadakan di Gedung Public Hall. Dan kertas yang kau buang tadi adalah undangan untuk kita supaya bisa menyusup ke sana. Dasar bodoh!" Menyesali atas apa yang telah dilakukannya, Mater dengan panik kembali berlari menuju ke tempat sampah yang berisi undangan pentingnya itu. Mortis hanya mampu terduduk lesu melihat kelakuan bos-nya itu yang entah kenapa hari ini terkesan jauh dari kata "Bos Idaman". *** Tepat pukul 7 malam, Mater dan Mortis turun dari mobil di halaman depan Gedung Public Hall, tempat berlangsungnya pesta yang kemungkinan diikuti oleh sosok yang mereka incar. Setelah yakin dengan tempat yang mereka datangi saat ini, mereka mulai menjalankan aksinya untuk mengintai target yang mereka cari. "Kau siap, Mort?" "Kapanpun." Mereka berdua berjalan menuju pintu depan gedung. Di sana terdapat dua penjaga yang menggunakan topeng seperti tokoh fiksi Jason Voorhess. Mereka diharuskan menunjukkan kartu undangan yang mereka miliki sebelum memasuki gedung tersebut. Ketika mereka mulai memasuki gedung tersebut, suasana yang tergambarkan sangat jelas bahwa itu adalah sebuah pesta yang meriah. Orang-orang yang hadir mengenakan pakaian terbaik mereka dengan sentuhan akhir yaitu sebuah topeng yang terpasang menutupi muka mereka, termasuk doa orang agen kepolisian yang saat ini tengah sibuk memasang earphone mereka masing-masing. "Tes... Apakah kau bisa mendengarku, Mort? "Ya. Sangat jelas." Mereka berpisah untuk membaur dengan para pengunjung yang lain agar tidak terlihat mencolok. Mereka benar-benar pandai berakting sampai-sampai Mortis bisa berkenalan dengan banyak wanita di sana. "Mort, bukankah kau terlena dengan pesta ini hingga melupakan tujuan utama kita?" ucap Mater melalui microphone yang tersambung pada earphone. "Tidak. Aku hanya membaur seperti para pengunjung yang lain. Tidak ada yang salah dengan itu, bukan?" jawab Mortis. "Tentu. Hanya saja apa yang kau lakukan sekarang bukanlah membaur tapi mencoba menggoda gadis-gadis itu dan seolah kau mengobralkan tubuhmu untuk sentuhan jari mereka." Terlihat bahwa Mortis tengah duduk di sofa yang ada dalam ruangan itu ditemani dengan dua orang gadis yang juga memakai topeng di wajah mereka. Mortis terlihat menggoda kedua gadis itu dan membiarkan kedua gadis itu menyentuh tubuh atletis miliknya. "Ayolah, Bos. Sebenarnya kau hanya iri bukan karena tidak ada gadis yang mendekatimu? Makanya, orang beristri seperti tidak akan paham apa yang dibutuhkan anak muda sepertiku. Yaitu pelukan hangat dari tubuh seorang gadis." Mortis kali ini mencoba untuk memanas-manasi atasannya itu. "Tanpa melakukan itu pun aku dan Julia tiap haris bisa merasakannya. Bahkan Julia lebih cantik dari gadis-gadis yang ada di sini," ucap Mater membalas perkataan Mortis. "Bukankah kau lebih mencintai kasus daripada istri cantikmu itu?" "Diamlah dan kembali bekerja!" "Setelah aku berdansa dengan gadis ini, aku akan menyusulmu." Kalimat terakhir dari Mortis menutup percakapan mereka saat itu. Menahan rasa kesal di hatinya, Mater memutuskan untuk kembali fokus pada tugasnya. Ia kembali berjalan mengelilingi gedung tersebut, mencari tahu apakah ada informasi mengenai orang yang dia cari atau tidak. Setelah lelah mencari namun tidak ditemukan juga. Mater memutuskan untuk istirahat sejenak, duduk di bar yang ada di pesta itu dan memesan satu gelas minuman. Di kala ia menikmati waktu istirahatnya itu, ia melihat Mortis tengah asik berdansa dengan seorang gadis. Tentu hal itu membuat Mater sedikit emosi dan berharap bisa memukul wajah sombong bawahannya itu. Ia kembali menikmati segelah minumannya sebagai peredam emosinya. Pandangannya teralihkan ketika terdengar suara seseorang menyambut para tamu pesta. "Selamat datang semua pada pesta malam hari ini. Silakan nikmati pesta ini dengan senyum kebahagiaan dan kegembiraan. Penuhilah ruangan ini dengan aroma dari kesenangan yang tulus." Seorang pria dengan setelan jas hitam dan topi tinggi di kepalanya, berdiri di atas panggung dengan banyak properti di belakangnya serta sebuah tongkat panjang yang ia pegang. Yang aneh darinyan hanyalah topeng yang ia kenakan pada pesta malam ini. Sebuah topeng burung gagak terpasang di wajahnya. "Malam ini saya akan membantu kalian untuk ikut memeriahkan pesta kali ini. Saya akan memberikan pertunjukkan yang bahkan tidak bisa diterima oleh logika manusia. Saya akan memperlihatkan kepada kalian sebuah keajaiban yang sulit diterima oleh nalar manusia." Tepuk tangan meriah memenuhi gedung tersebut. Pria itu membungkukkan badannya menandakan dia mengucapkan terima kasih. Kemudian, pria itu mengambil tongka yang sedari tadi ia gunakan sebagai penopang tubuh. Dengan tangannya, ia merubah tongkat itu menjadi sekuntum bunga yang indah. Dapat dipastikan bahwa orang itu merupakan seorang pesulap profesional. Ia kembali memainkan trik-trik sulapnya seperti memotong tubuh menjadi dua dan menyatukannya, membuat ilusi mata dengan gerakan tangannya, bahkan melakukan penyamaran cepat hanya dengan hitungan detik. Mater hanya kepikiran, jika setiap kriminal memiliki kemampuan untuk kamuflase secara cepat, mungkin saat ini kota bukan lagi tempat yang aman melainkan tempat pembantaian. Ketika selesai melakukan penyamaran sembilan kali, yang kesepuluh pria itu kembali ke penampilan awalnya. Namun yang membedakan hanya pada topeng di wajahnya yang sekarang hanya sebuah topeng biasa dengan simbol huruf T berwarna merah. Melihat topeng itu, ia teringat dengan kejadian waktu penangkapan Ed di mana ia menemukan sebuah topeng yang sama persis namun bertuliskan huruf R. Ia juga kembali teringat dengan pengakuan Ed yang mengatakan bahwa petinggi dari Criminal City terdiri dari enam orang dengan sebutan The Six. Karena ia penasaran dan curiga dengan sosok itu, ia membelah keramaian untuk berjalan mendekati sosok tersebut. Namun aksinya tidak selancar yang ia pikirkan karena banyak sekali orang yang berkumpul di depan panggung. Tanpa ia sadari bahwa sosok itu sudah menyadari gerak-gerik Mater yang berusaha berjalan ke arahnya. Ia hanya tersenyum soal ia berhasil melakukan rencana yang ia buat. Ketika Mater berusaha terus untuk mencapai sosok T itu, tiba-tiba lampu menjadi mati. Satu-satunya lampu yang menyala hanyalah lampu sorot yang mengarah kepada pria itu. Kemudian pria itu memainkan sebuah drama monolog dengan ia sendiri menjadi peran. Dalam akhir penampilannya, ia mengatakan kalau ia akan memberikan kembang api kecil untuk memeriahkan malam ini. "Apa kalian siap? Mari kita hitung mundur bersama!" Hitung mundur serentak pun di mulai. "3..." Mater masih berusaha untuk mendekati pria itu, namun lagi-lagi terhalang oleh tamu lain. "2..." Ia mempercepat langkahnya. Usahanya itu ternyata sia-sia ketika tepat pada hitungan satu, "1..." lampu kembali padam. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya, Kyaa! Ctik! Boom!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD