BAD DAY

1418 Words
Hore untuk anarki! Ini adalah momen paling bahagia dalam hidupku. -Turmoil- *** Lampu kembali padam ketika pria itu mencapai angka 1. Namun, kegelapan itu merupakan awal dari petaka selanjutnya. Di tengah kebingungan yang melanda dirinya, Mater masih tetap berusaha mencari keberadaan pria itu. Dan tidak berselang lama, terdengan suara jeritan wanita yang sangat keras hingga menyadarkan Mater dari aksinya. "Kyaa!!!" Dengan spontan Mater melihat ke arah suara dan alangkah terkejutnya dia menyaksikan sebuah kilatan cahaya yang diikuti suara ledakan yang sangat keras. Ledakan itu menyebabkan Mater terlempar jauh oleh tekanan angin yang sangat cepat. Ia berusaha untuk bangkit namun tubuhnya menolak untuk digerakkan. Darah mulai keluar bercucuran dari keningnya. Telinganya berdenging, tak mampu mendengar dengan jelas apa yang orang lain sedang bicarakan. Matanya mulai kabur, namun ia sempat menyaksikan bagaimana orang-orang histeris ketakutan. Darah berceceran di mana-mana. Entah itu darah pelaku, atau darah dari para tamu. Yang jelas, lantai yang tadinya berwarna krem terang menjadi merah kehitaman, tertutup oleh darah. Mater berusaha menggerakkan mulutnya untuk bersuara, namun tak bisa. Seolah-olah, tubuhnya tak lagi merasakan adanya jiwa di dalamnya. Ia pasrah, yang dipikirannya saat ini adalah apakah ia akan mati? Ia belum menepati janjinya untuk memberikan hadiah untuk putrinya, apakah harus sekarang dirinya pergi? Bagaimana dengan Julia jika dirinya pergi? Lalu Mort? Atau si Tua Baron? Semua pertanyaan tiba-tiba terlintas di kepalanya. Bahkan baru saja ia melihat kilasan balik kehidupannya. Dia yakin kali ini, dia akan kalah dengan takdir. "Ah, mungkin untuk sekarang aku harus membuat kematianku senyaman mungkin," batinya. Perlahan, matanya tertutup. Mater tak lagi merasakan sakit. Ia sekarang hanya merasa tenang. Hingga akhirnya, dia menutup sempurna matanya dan membiarkan tubuhnya terbaring begitu saja. *** Dua hari berlalu sejak kasus bom bunuh diri yang terjadi di Gedung Public Hall. Media mulai memberitakan kasus itu dan menjadikan headline di beberapa surat kabar mereka dengan kata "Bloody Party". Itu hanyalah sebuah julukan dalam pemberian nama kasus berdarah kala itu yang lahir dari masyarakat dan media. Saat ini, Mortis sedang berada di dalam ruangan milik Mater, namun atasannya tidak ada di dalam. Di datang hanya untuk duduk sendirian, menikmati kesedihannya. "Jangan memperlihatkan kesedihanmu itu pada orang lain, Mort." Terdengar suara berat mengejutkan Mortis yang tengah duduk tertunduk sedih. "Ah, Tuan Baron. Kau mengagetkanku," ucap Mort. Nada yang keluar dari mulutnya terkesan lemah dan sedih. Tidak seperti biasanya yang terkesan tegas dan berat. "Berhentilah menunjukkan sikap terpurukmu itu. Kau jadi terlihat sangat menjijikan, Prajurit." Entah itu bermaksud menghibur atau tidak, tapi mungkin kata-kata itu sedikit menyinggung perasaan Mortis. Mendengar itu, Mortis hanya diam saja. Tidak beranjak dari posisinya itu. Belum ada keinginan untuk menyerah, Baron kembali memberikan dukungan kepada Mortis dengan cara mengajaknya beberbicara. Mengajak dia untuk mencari hiburan dan melupakan masalah itu. "b******n kecil! Baiklah, apa yang kau inginkan sekarang?" tanya Baron. "Apa kau menginginkan wanita? Kekasih? Uang? Atau apa? Ayolah, gunakan mulutmu itu untuk merangkai satu kalimat untuk jawabanku," lanjut Baron. Mortis yang sedari tadi diam saja, menghela napas mendengar perkatan Bos Besarnya itu dan memberikan respon atas pertanyaannya. "Entahlah. Terserah." "b******n! Jawabanmu seperti wanita-wanita lemah di luar sana!" Mortis kembali memilih diam. Kali ini Baron kehabisan akal untuk menghibur Mortis. Tanpa pikir panjang, ia akhirnya mengeluarkan titah tanpa penolakannya sebagai cara untuk menghibur Mortis. "Cepat katakan apa keinginanmu atau peluru ini akan tersarang di isi kepalamu," ucap Baron sembari menempelkan bibir pistolnya ke kening Mortis. Mortis kemudian mengangkat kepalanya dan menatap mata milik Baron. "Tidak ada." Itulah jawaban yang terlontar dari mulut Mortis. Penolakan yang simpel tapi jelas. Baron lagi-lagi harus bersabar menghadapi pria di depannya ini. Ia memasukkan kembali pistol ke dalam sarungnya dan duduk bersebelahan dengan Mortis. "Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita atau orang lain. Kita hanya bisa pasrah dengan takdir itu dan berdoa kepada Tuhan agar kau tetap diberikan keselamatan." Begitulah ucapan Baron yang ditujukan padanya. Ia takjud dengan sosok barusan yang mendiami tubuh Baron. Ia tak menyangkat Bos Besarnya itu akan mengatakan hal semacam itu. "Tuan, apa kau kristen?" tanya Mortis setelah mendengar perkatan Baron. "Kalau memang iya kenapa? Apakah masalah?" "Tidak. Saya hanya heran, sosok seperti Tuan memiliki kepercayaan terhadap Tuhan." *** Mater tiba-tiba tersadar dan kebingungan dengan lokasinya saat ini. Semuanya gelap, tidak ada satupun cahaya yang bisa digunakan untuk penerangan. "Mort..." "Julia..." Ia berusaha berteriak memanggil nama Mortis dan Julia, namun nihil. Tidak ada seorang pun yang menjawab atau membalas perkataannya. Ia masih mengingat dengan jelas kejadian sebelum ia berada di sini. Tadinya ia sedang melakukan pengintain di sebuah pesta yang diadakan di Public Hall. Namun ada kejadian terduga yang membuatnya tidak bisa melanjutkan tujuan penyusupannya. Dan setelah itu, boom! Suara ledakan terdengar nyaring dan sangat keras. Dampak dari ledakan itu bahkan mampu membuat Mater terlempar. Setelah itu ia hanya pasrah menunggu kematiannya. Namun, setelah tersadar, ia tiba-tiba sudah ada dalan ruangan gelap ini dengan posisi tangan terikat dentan kursi. Ia bahkan tidak sadar bahwa dia telah disekap oleh seseorang. "Halo! Siapapun yang ada di sini, bisa jelaskan apa yang teradi?" Ia kembali berusaha untuk mencari kebedaraan orang-orang namun hasilnya nihil. Seolah ia sekarang sedant berada pada ruangan yang sangat kedap suara dan panas. Tak lama berselah, muncul siluet hitam berjumlah enam. Namun ada satu yang sangat jelas diperhatikan oleh Mater yaitu sosok siluet dengan sebuah topeng bertuliskan huruf T. "T? Tunggu, bukahkan orang yang bernama T itu sudah mati bunuh diri?" Ia bertanya kepada keenam siluet yang datang berjalan ke arahnya dari segala penjuru. Anehnya, Mater tidak merasa takut dengan apa yang bisa jadi mengancam nyawanya. "Mati? Siapa? Aku?" T bersikap seolah ia tidak memahami maksud dari Mater. Ia kemudian tertawa dan kembali melanjutkan kalimatnya tadi. "Hahaha. Mati? Bukankah kau tahu jika kematian seseorang bisa dimanipulasi?" Mater membalas, "jadi kau belum mati?" "Bisa dikatakan bahwa aku sudah mati, tapi bisa juga tidak." Sebenarnya, Mater tidak memahami perkataan dari T. Tapi ia mencoba tidak mempedulikannya. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana caranya untuk bebas dati ruangan ini. "Kau bisa memberi tahuku kan, sebenarnya tempat apa ini? Kenapa sangat gelap dan tidak ada penerangan sama sekali." Mater memberanikan diri untuk menanyakan perihal itu. Dari keenam sosok yang hadir dihadapan T yang menjawab semua pertanyaan yang Mater tanyakan. "Mater, kau sungguh pria yang lucu. Tentunya tempat ini gelap karena ini merupakan sisi gelapmu, " ucap T. "Apa maksudmu?" Mater kembali bertanya. "Yang kumaksud adalah ruangan ini, suasana ini, merupakan bagian terdalam dari dirimu yang juga diciptakan oleh dirimu sendiri. Mater yang tidak percaya pun malah menuduh T berbohong dan mengancam akan membunuh T. "Berhenti membual dan katakan yang sejujurnya, di mana aku sekarang?! Atau aku akan membunuhmu jika kembali mengatakan hal yang tidak masuk akal." T menanggapi perkataan Mater dengan santai. "Aku sedang tidak membual. Apa yang aku katakan tadi semua adakah fakta!" Mater masih belum bisa berpikir jernih dan masih belum mempercayai perkataan T. "Dan tadi kau bilang akan membunuhku!? Bukankan kau sudah pernah melihat kematianku di pesta waktu itu?" T kembali melanjutkan. "Lalu, apa tujuan kau dengan 5 orang lainnya menyekapku seperti ini? Apa tujuan kalian?" tanya Mater pada T. "Sederhana saja, kami hanya ingin memerintah atas tubuhmu itu." Mater kembali tidak memahami maksud dari perkataan T. "b******n. Apa maksudmu dengan memerintah tubuhku?" T kembali menjawab, "Tenanglah. Kami hanya ingin bergantian denganmu. Kita hanya bertukar tempat, seperti permaian bahwa kita akan melalukan pergantian pemain." "b******n orang ini semakin melantur dalam membual!" ucap Mater kesal. Mendengar itu T menertawakan sikap Mater yang kesal atas pernyataan dari T. "Akau kuberitahu. Tujuan kami adalah ingin mengambil alih tubuhmu menjadi tubuh kami. Dengan kata lain, kami dan dirimu adalah sama-sama jiwa yang mendiami satu tubuh yang sama. Dan kami ingin menguasai tubuh itu." Mater semakin dibuat kesal dengan perkataan dari T. "b******n sialan! Ini adalah tubuh dan jiwaku! Jangan seenaknya kau mengatakan bahwa kau sama denganku dan menginginkan tubuhku!" T menghela napas dan berucap, "Sepertinya kau tidak akan mengerti. Jila diteruskan, percakapan ini tidak akan ada habisnya. Asal kau tahu, kami bisa saja mengambil alih tubuhmu dengan paksa, seperti yang akan kami lakukan saat ini. Setelah mengatakan itu, T berjalan ke arah Mater dengan membawa sebuah belati. Mater yang terjebak dalam posisi terikat berusaha untuk melepaskan diri dan kabur. Namun usaha itu sia-sia setelah ia terjatuh bersana dengan dengan kursi yang ia duduki. Di tengah upayanya meloloskan diri, ia berteriak kepada T. "Terserah apapun yang akan kau lakukan, selamanya tubuh ini adalah milikk—" Jleb! Belum selesai ia mengatakan kalimatnya, tiba-tiba belati yang tadi dibawa oleh T, melayang mengarah tepat ke kening Mater yang saat itu dalam posisi terjatuh dengan wajah menghadap ke arah T.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD