THE MYSTERIOUS-MAN "T"

2179 Words
Aku akan berada di neraka sebelum kamu sempat sarapan. Biarkan dia merobeknya. -Ed Zimu- *** "Hah... Hah... Hah..." Mater terbangung dengan napas yang terengah-engah. Ia masih ingat benar bagaimana sebuah belati terbang cepat ke arahnya dan menancap tepat di dahinya. Untunglah semua itu hanyalah mimpi. Namun, mimpi yang ia alami tadi terasa sangat nyata. Seolah, dia memang sedang disekap dalam ruangan yang gelap dan berhadapan dengan enam orang yang berkata bahwa mereka ingin mengambil alih tubuhnya. Mater yang sudah tersadar mencoba untuk menggerakkan tubuhnya untuk bangun. Namun entah kenapa setengah tubuhnya terasa berat ketika ia berusaha untuk bersandar pada sandaran ranjang. Seperti ada yang menindihi tubuhnya. Ternyata, gerakan itu disadari oleh seseorang yang tengah tidur di atas tubuhnya. Terusik karena gerakan dari pemilik tubuh. "Julia?" panggil Mater melihat ternyata orang yang ada di atasnya adalah istrinya sendiri. Dengan setengah sadar dari bangun tidurnya, Julia merespon panggilan dari suaminya. "Ngh, Mater?" Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Butuh waktu tiga detik untuk Julia kembali sadar dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. "Ya Tuhan, Mater? Sayang?! Akhirnya kau sadar! Apa kau tidak tahu bagaimana aku sangat mengkhawatirkanmu? Tanpa pikir panjang, Julia langsung memeluk bahagia suaminya itu. Ia sangat senang orang terkasihnya akhirnya bisa sadar kembali. Ia tidak kuasa menahan tangin bahagia serta khwatirnya selama ini. "Ouch! Sayang, bisakah kau pelan-pelan? Tubuhku masih sangat lemat. Bahkan dengan pelukanmu sekarang, aku bisa saja mati," ucap Mater sambil setengah menahan rasa sakit dan berat tubuh Julia. Mendengar itu, reflek Julia melepaskan pelukannya itu dari suaminya. Ia mengusap air matanya yang sudah keluar membasahi pipi lembutnya. Mater tersenyum ketika melihat wajah istrinya itu. Entah berapa lama ia terbaring di ranjang rumah sakit ini tanpa membuka mata sekalipun, saat ini ia merasa sangat merindukan kesayangannya itu. "Maaf. Aku terlalu bahagia melihat kau sudah sadar. Aku sangat mengkhawatirkanmu, kau tahu?" Julia tidak mampu lagi menahan air matanya lagi. Semakin berusaha ia tahan, semakin kuat dorongannya untuk segera membiarkan itu membanjiri wajahnya. "Maafkan aku sudah membuatmu khawatir, sekarang aku sudah ada di depanmu dan berbicara denganmu. Jangan khawatir, aku tidak akan meninggalkanmu," ucap Mater. Tanpa basa-basi lagi, Mater menarik Julia dan membiarkannya menangis dalam dekapannya. Ia membelai kepala Julia dengan sangat lembut, bahkan dia merasakan aroma wangi dari rambut Julia, aroma yang ia rindukan. Mater melepaskan pelukannya dan mencium kening istrinya. "Apa kau tidak bersama Jona, sayang?" tanya Mater. Jona adalah anak perempuan dari Julia dan Mater. Biasanya dia akan mengikuti Julia ke mana pun ia pergi. Tapi daritadi Mater tidak melihat anaknya itu bersama dengan Julia. "Jona? Dia tadi pergi bersama Mortis." Julia kembali memeluk Mater seolah ia merindukan tubuh dari suaminya itu. Mater melihat Julia hari ini sangat manja. Apakah karena dirinya yang terbaring di rumah sakit atau karena tidak ada Jona sehingga dia bisa bebas bermesraan dengannya? Atau, Julia sekarang sedang menggodanya untuk melakukan "itu"? Tentu Mater akan dengan senang hati menerima ajakan itu, mengingat entah kapan terakhir kali ia menikmati waktu berdua saja setelah kelahiran Jona dan pekerjaan Mater yang semakin sibuk. Apakah ini efek dari obat dokter yang membuatnya berpikiran m***m terhadap istrinya sendiri? Entahlah, yang jelas istrinya ini sangatlah manja hari ini. "Sayang, sudah berapa hari aku tidak sadarkan diri?" "Sekitar empat hari." "Empat hari? Lalu, apa yang terjadi dengan k—" Belum sempat Mater menyelesaikan kalimatnya, jari telunjuk Julia sudah menempel pada bibirnya dan mengisyaratkan untuk tidak melanjutkan kalimatnya. "Diamlah. Kau baru saja sadar jadi tidak usah membahas hal yang berat. Ini perintah dariku, kau paham kan?" titah Julia. Mater hanya bisa mengangguk pasrah menuruti keinginan istrinya itu. Ia sangat tahu jika Julia sudah berkata seperti itu, maka sudah jadi keputusan mutlak yang bahkan tidak akan berubah walau ia menawarkan sebuah rumah sekalipun. "Baguslah! Aku senang kau menurutiku." Julia tersenyum. "Aku akan memanggil dokter untuk ke sini dan mengecek kondisi tubuhmu. Istirahatlah, aku tidak akan lama." Julia mengecup bibir Mater sebelum ia pergi. Ketika sampai di depan pintu, Mater berkata, "Panggilkan juga Mortis jika kau bertemunya." Seketika mata Julia memincing ke arah Mater. Mater merasakan ada sinyal bahaya dari tatapan Julia sekarang. "Aku hanya ingin melihatnya saja. Aku janji tidak akan membahas pekerjaan." Setelah mendengar itu, Julia tersenyum dan meninggalkan ruangan itu. Tinggallah Mater yang sendirian dengan tangan yang mencoba meraba keningnya. Entah kenapa ia masih merasakan sensai sakit pada dahinya tepat setelah dalam mimpi itu, ia terkena belati terbang. Rasa sakit itu terasa nyata, bahkan setiap adegan dalam mimpi itu terasa sangat realistis. Mater juga masih bingung dan penasaran dengan perkataan dari T. Dia saja sudah bingung dengan keberadaan T dalam mimpinya, ditambah ia mengoceh tentang keinginannya untuk mengambil alih tubuhnya. Siapa sebenarnya sosok T ini? Bahkan ia juga muncul dalam mimpi Mater. Semakin ia memikirkan kemungkinan di balik sosok T, semakin terasa janggal. Siapa itu T? Kenapa ia bisa ada dalam mimpiku? Apakah aku mengenalnya? Apa maksudnya mengambil alih tubuhku? Apa itu berarti dia bukan manusia? Masuk akal jika dia mati dan menjadi roh jahat, menghantui orang-orang dengan teror ingin mengambil alih tubuh mereka. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul ketika ia mulai mencari tahu siapa sosok dibalik "T" ini. Semakin memaksakannya berpikir, Mater semakin merasa pusing dan mual. "Ah, sial! Kenapa tubuh ini lemah sekali?! Kau merepotkan banyak orang dengan terus-terusan berada pada ranjang ini, Mater!" Ia merutuki keadaan dirinya sendiri. Dia berusaha untuk melupakan mimpinya itu, namun tidak bisa. Ia semakin penasaran dengan perkataan T padanya. Seolah itu bukanlah ancaman biasa. "Sayang, dokter sudah datang." Suara Julia berhasil menyadarkannya dari lamunannya itu. "Baiklah, biarkan dia masuk." Setelah itu, Julia membawa masuk dokter yang ia maksud tadi. Dokter itu kemudian tersenyum ke arah Mater dan berjalan mendekatinya. "Selamat pagi, Tuan Mater. Apa kabar hari ini?" sapa dokter itu. "Seperti yang kau lihat, dok. Bahkan untuk menggerakkan tubuhku saja kesulitan." "Tentu saja Anda akan kesulitan tuan. Anda sudah berbaring di ranjang itu tanpa bergerak sedikitpun selama empat hari. Tentu saja tubuhmu akan kehilangan kekuatannya. Baiklah, aku akan memeriksa Anda untuk melihat bagaimana kondisi Anda saat ini." Kemudian dokter itu mengambil beberapa peralatannya dan mulai memeriksa kondisi tubuhnya. *** Di tempat lain, saat ini Jona dan Mortis sedang berada di sebuah supermarket. "Paman Mort, aku ingin itu. Kelihatannya enak," pinta Jona ketika melihat permen dengan kemasan yang lucu. "Apa itu? Permen? Bukankah kau pernah sakit gigi dan ibumu melarangmu makan permen dan coklat, Jona?" balas Mortis berusaha mengingatkan anak dari atasannya itu. "Tapi aku ingin itu, Paman. Bisakah kau merahasiakannya dari ibuku?" Jona mencoba untuk bersekongkol dengannya dan merahasiakan itu dari Julia. Namun Mortis dengan tegas menolak dan membiarkan Jona memilih yang lain. "Tidak. Aku tidak ingin ibumu nanti akan marah padaku atau padamu. Kau boleh memilih yang lain tapi tidak boleh permen." Jona mengangguk pasrah dan memilih makanan yang lain. Benar kata Mortis, daripada ia harus terkena omelan sang ibu, lebih baik mencari aman dengan menghindari hal yang bisa membuat ibu marah padanya. Setelah puas berbelanja, mereka berdua kembali ke rumah sakit dengan membawa barang belanja. Ketika sampai di kamar Mater, Jona masuk dan melihat ayahnya yang sudah sadar. Spontan ia berlari dan langsung memeluknya. "Ayah!" "Oh, Jona sayangku. Apa kabar?" Mater membalas pelukannya dan mengusap kepala Jona. Tak lupa ia juga menyampaikan terima kasih kepada Mortis yang sudah membuat Jona bersenang-senang. "Apa ayah masih sakit? Kalau iya, aku ingin menjadi dokter supaya aku bisa menyembuhkan ayah kalau ayah sakit," ucap Jona polosnya. Mater hanya tersenyum mendengar perkataan gadis kecilnya itu. "Sana taruh belanjaan itu di sana dan ikut ibu sebentar." Kini Julia bergabung dalam percakapan mereka berdua. Jona langsung menuruti perkataan ibunya dan meletakkan belanjaan itu. Kemudian ia dan Julia pergi meninggalkan Mater bersama Mortis. "Jadi, kau belum mati?" ucap Mortis mengawali percakapan. "Apa kau berharap aku mati, b******n?" "Tidak. Tapi jika kau mati, maka aku akan menertawakan lemahnya dirimu yang mati hanya karena terkena ledakan kecil seperti itu." Mater terkejut mendengar perkataan Mortis yang dengan gampangnya mengatakan bahwa itu ledakan kecil. "Baiklah abaikan itu, lalu apa ingin kau bicarakan denganku?" tanya Mortis. "Oh, aku suka ini. Aku suka ketika kau serius kau akan langsung paham apa yang akan lakukan. Baiklah, selama aku terbaring di sini aku merasakan mimpi buruk." Mater mulai menceritakan bagaimana isi mimpi buruk yang pada saat itu. Ia mulai bercerita bagaimana iya terikat dan disekap dalam sebuah ruangan gelap tanpa ada cahaya sedikitpun kemudian ia bertemu dengan enam sosok misterius yang salah satunya merupakan pelaku dari kejadian bom bunuh diri yang ada di gedung Public Hall empat hari yang lalu. Ia juga menceritakan ketika orang dalam mimpinya membual tentang mengambil alih tubuhnya. Mater sendiri tidak paham apa yang pria itu maksud hanya saja itu mengganggu pikirannya karena terkesan seperti bukan hanya sebuah ancaman belaka namun itu sebagai peringatan bahwa ia lain kali akan benar-benar melakukannya. Hingga akhir dari mimpi itu ketika ada sebuah belati yang terlempar ke arahnya dan menancap di dahinya. Mimpi buruk itu jelas menjadi pikiran dari materi sendiri karena ia merasakan bahwa mimpi itu seperti benar-benar terjadi dalam kehidupannya. Seperti ketika dia benar-benar merasakan sensasi dari tubuhnya yang terikat pada kursi dan sensasi ketika belati itu berhasil menancap dengan sempurna di dahinya. "Yah, kurasa itu hanya efek karena kau tak sadarkan diri hampir 4 hari lamanya. Mungkin itu hanya efek halusinasimu saja, jadi jangan kau pikirkan," ucap Mortis setelah mendengar cerita itu. "Awalnya aku berpikir seperti apa yang kau katakan sekarang, aku berusaha untuk melupakan tentang mimpi pada waktu itu. Namun anehnya semakin aku ingin melupakannya sensasi rasa sakit yang ada di dahi ku semakin terasa," terang Mater mencoba memberikan penjelasan lain. "Apakah perlu seorang psikiater untuk membantumu melupakan itu? Aku ada beberapa kenalan yang mungkin bisa membantumu untuk melupakan kejadian itu kejadian aneh dalam mimpimu itu." Mortis mencoba menawarkan metode konsultasi kepada Mater namun ditolak olehnya. Alasannya ia tidak suka jika harus dihipnotis dan sebagainya. "Aku hanya bisa menyarankan untuk melupakan mimpi yang tidak jelasmu itu. Ada kemungkinan itu hanya mimpi karena kau tertidur terlalu lama atau mungkin itu hanya pikiran paranoid saja setelah kita melewati kejadian yang bisa dikatakan mengejutkan bagi kita," lanjut Mortis. Mater mengangguk mendengar ucapan dari bawahannya itu, Mortis. Kali ini ia merasa setuju dengan apa yang dikatakan olehnya mungkin, ia memang harus melupakan apa yang terjadi pada mimpinya kala itu dan menganggap semua itu hanyalah mimpi yang tidak jelas. Atau mungkin dia hanya bisa menganggap mimpi itu hanyalah sebuah efek dari pingsannya selama hampir 4 hari. "Lalu, bagaimana keadaan setelah 4 hari berlalu dari kejadian waktu itu. Apakah kita mengetahui siapa pelaku dibalik bom bunuh diri itu?" Mater mengalihkan topik pembicaraan ini untuk mencari tahu apa yang terjadi selama ia tak sadarkan diri. "Ya apalagi, bukankah sudah jelas yang terjadi selanjutnya dari investigasi tersangka ternyata ia mati bunuh diri, banyak korban jiwa, gedung hancur dan perlu renovasi, dan sampai sekarang polisi belum menemukan bukti siapa yang ada di balik topeng tersangka bom bunuh diri waktu itu," jelas Mortis. "Oh ya. Ada hal yang menggangguku hingga saat ini. Bagaimana caramu bisa selamat dari peristiwa itu mengingat bagaimana kau sangat dekat dengan tersangka hingga terjadi sebuah ledakan pada saat itu. Apa kau memiliki nyawa 9 seperti kucing atau kau ini hanyalah sebuah keajaiban bahwa Tuhan masih menginginkan mu untuk terus hidup di dunia ini?" Mortis sudah tidak mampu menahan lagi rasa penasarannya itu. Memang benar apa yang dikatakan Mortis bahwa ia pada waktu itu sangat dekat dengan sumber terjadinya ledakan. Bahkan ia hanya berjarak beberapa meter dari tersangka, namun anehnya ia bisa selamat dan hanya terdorong oleh angin dari efek ledakan yang menekan aliran angin. "Entahlah. Aku juga tidak tahu. Yang aku ingat waktu itu hanyalah kebodohanku ketika aku mulai putus asa dan menyerah atas hidupku. Waktu itu aku hanya bisa pasrah ketika ajalku sudah datang mendekatiku," jawab Mater. Mater kembali melanjutkan kalimatnya, "Dan sekarang seperti yang kau lihat bahwa aku baik-baik saja. Bahkan aku hanya mendapat beberapa luka gores yang memerlukan sedikit jahitan. Ah, atau mungkin aku memiliki kekuatan super atau bahkan mungkin aku bisa memiliki kekuatan mengebalkan tubuh dari berbagai serangan. apakah itu mungkin? "Apa setelah kau bermimpi bahwa ada orang yang mencoba untuk membunuhmu dan akhirnya kau tersadar setelah 4 hari kau tertidur otakmu menjadi bermasalah? Dengan mudahnya mengatakan bahwa kau memiliki kekuatan super. Mungkin setelah keluar dari sini kau harus bilang kepada Tuhan Baron bahwa kau mengundurkan diri dari agen kepolisian karena kau mulai menjadi bodoh." Mortis mulai merasa geli ketika bosnya itu mengatakan bahwa ia memiliki kekuatan super dan yang paling menjijikkan adalah ketika ekspresi atasannya itu berubah sangat tertarik dan benar-benar memiliki harapan bahwa dia itu memiliki kekuatan super. Sungguh ia tidak pernah melihat atasannya itu menampakan ekspresi seperti orang bodoh yang memiliki harapan untuk memperistri karakter dua dimensi. Mater hanya tertawa melihat ekspresi jijik terpampang jelas di wajah bawahannya itu. Sejujurnya, ia bertingkah seperti itu hanya karena berusaha untuk melupakan kejadian yang ia alami dalam mimpinya itu. Namun seperti yang sudah ia katakan sebelumnya, bahwa melupakan sensasi itu benar-benar sulit. Ia dibuat semakin penasaran dengan sosok dibalik topeng bertuliskan huruf "T" itu. Seolah ia mengenal sosoknya itu, terasa tidak asing ketika mendengar ia berbicara. "Entah bagaimana caranya, mungkin aku harus mencari tahu, siapa sosok dibalik "T" ini. Dengan begitu mungkin aku akan bisa menjawab arti dari mimpiku ini," batin Mater.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD