Jangan bersikap seolah-olah kau yang paling merasa kehilangan, lalu bagaimana denganku yang bahkan belum merasakan ASInya dan tak tau seperti apa wajahnya. Setiap orang punya luka, jadi jangan menyalahkan siapapun atas luka yang kau terima."
–Elisa Arkandina Maladewa
Elisa memasuki rumah dengan perasaan dongkol, ingin sekali dia menghajar si Shura karna berani menarik rambut membahananya. Raffa yang melihat tingkah adiknya itu hanya bisa menghela napas lalu menggeleng.
"Kurang ajar si Shura, duh kudu mandi kembang tujuh rupa nih gue." gerutunya sembari menaiki anak tangga dan memperhatikan langkahnya
Duk
"Eh Bayu anak dakjal." latahnya saat kepalanya membentur sesuatu yang keras dan hampir saja dia terguling kalau saja tangan kekar tidak menahan punggungnya.
"Perhatikan langkahmu." ucap seseorang dengan suara bariton, Elisa mendongak dan menatap mata sang ayah yang juga tengah menatapnya datar tanpa emosi
"Hm." Elisa langsung melepaskan diri dan tanpa mengatakan apapun dia berlalu melewati Elbara, Elbara memperhatikan punggung putri semata wayangnya itu hingga menghilangkan dari pandangannya.
"Papa ngapain berdiri disitu?" ucap Raffa saat melihat ayahnya berhenti dianak tangga
"Hm? Gak papa." ucap Elbara dan segera melanjutkan langkahnya menuju ruang keluarga.
"Aneh banget nih orang-orang." gumam Raffa
Dikamar, Elisa langsung berlari kekamar mandi guna mencuci rambutnya yang terkontaminasi oleh tangan dakjal.
"Hah~ seger sekali sahabat." Elisa duduk dipinggir kasurnya memikirkan sesuatu.
"Besok weekend, pasti orang rumah pada sibuk sama kegiatannya masing-masing, kudu gue manfaatin nih buat nyari tau apa yang terjadi sama nih cewek." monolognya
"Tapi caranya gimana anjir, Tailah." Umpatnya melempar handuk secara asal, jika ini dirumahnya sudah dipastikan ibu negara akan berkhotbah sepanjang hari.
"Gak bisa dibiarin nih, masa gue bertransisi tapi kagak tau apa-apa soal nih cewek, serasa kek orang d***o anjir. Emang gue d***o sih." gumamnya diakhir kalimat
"Halah, sudahi galaumu mari ngelonT bersamaku." ucapnya girang dan keluar kamar menuju dapur.
Sampai di dapur dia tak melihat seorangpun, menggedikkan bahu dia memilih minum untuk memuaskan dahaganya.
Saat melewati pintu pembatas kolam renang dia berhenti dan membuka pintu tersebut. Dia melihat kolam itu sudah kembali terisi, menatap kearah rumah memastikan bahwa tidak ada orang melihatnya, Elisa langsung menyebur kedalam kolam yang dalamnya lima meter itu.
Menutup mata dan berharap dia mendapat apa yang diinginkan, "gue harap Lo datang dan ngasih tau gue semua tentang Lo." batinnya
Tiba-tiba sekelebat ingatan langsung bermunculan seperti film yang diputar.
Disana dia melihat dua orang yang berbeda jenis sedang berbincang.
"Kalau kau tetap ingin melanjutkan perjodohan ini, kau harus siap menerima konsekuensinya. Kau taukan seperti apa aku, jadi jangan mengharapkan cinta dariku." ucap seorang pria yang diperkirakan seusia kakaknya, Bayu.
"tidak apa-apa, aku juga mengharapkan itu dan aku melakukan ini hanya demi ayahku." balas seorang gadis berambut putih dan kulit seputih salju
Pria itu tertawa sinis, "aku heran padamu, kau tau kalau ayahmu tidak menyayangimu dan menjualmu kepadaku hanya demi mendapatkan pabrik senjata di Siberia, dan kau bersikap seolah-olah kau tidak mengetahuinya. Menyedihkan."
"Sayang? Kok lama banget sih." rengek seorang gadis yang datang entah darimana dan langsung menggandeng lengan pria itu
"Tunggu sebentar sayang, aku harus mengatakan sesuatu pada gadis ini." ucapnya menunjuk Elisa dengan dagunya
Gadis yang menggandeng lengan pria itu beralih menatap Elisa, "oh, hay aku Jihan kekasihnya." jawab gadis bernama Jihan itu
Elisa hanya terdiam tak berniat membalas ucapan gadis itu. "Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan lagi aku pamit." ucap pria itu sembari menggandeng sang kekasih
Elisa hanya menatap dengan pandangan tanpa emosi.
Beralih ketempat lain, kini dia melihat seorang gadis yang dirundung oleh teman sekolahnya.
"Dasar anak freak, kau itu seperti nenek-nenek dengan rambut putihmu itu, jadi jangan sok cantik dan menggoda cowok-cowok disini." ucap seorang gadis dengan bandana kuning
"Siram dia!" sambungnya dan kedua temannya pun langsung menuruti ucapannya
Salah satu teman dari mereka menjambak rambut putih gadis itu dan membenturkan kepalanya pada dinding membuat darah mengalir dari pelipis gadis itu.
"Apa yang kau lakukan! Kalau dia mati aku tidak mau masuk penjara." panik gadis berbandana itu
"Biarkan saja, aku sudah kelewat benci melihatnya menggoda cowok-cowok dikelas kita."
Gadis berambut putih itupun pingsang dengan darah di pelipis dan baju basah kuyup ditambah sudut bibirnya yang robek, ketiga gadis itu segera berlalu meninggalkannya sebelum ada orang yang melihat.
Beberapa saat kemudian gadis itu sadar melirik arlojinya dan segera bangkit dan bergegas menuju gerbang dengan langkah tertatih.
Dia sampai dirumah waktu sudah menunjukkan pukul 18.00
Dia memasuki rumah, diruang tamu sudah berdiri seorang pria dangan kemeja putih yang lengannya sudah digulung sampai siku, "apa ini jam pulang seorang siswa SMP?" ucapnya dingin gadis itu hanya menunduk menatap sepatunya
"Darimana saja kau? Dan ada apa dengan seragam mu itu?" tanyanya lagi yang tak dijawab oleh gadis itu, "sudahlah, kau memang tak berguna. Sekarang masuk ke kamarmu dan bersihkan dirimu."
Gadis itu langsung menuruti ucapan pria itu tanpa mengatakan apapun.
Kini Leodra beralih ke memori lain, disana dia melihat Elisa dengan tatapan kosong sedang memperhatikan kolam renang.
"Mah, El ikut mama aja yah." ucapnya entah pada siapa, "kalau sama mama pasti El seneng, bisa meluk mama, cerita sama mama. Andai dulu mama gak milih El mungkin papa sama kakak gak bakal terpuruk seperti ini, El pengen ketemu mama, kata mba Mery mama orangnya baik, penyayang lagi."
"Maafin El ya mah, karna gak bisa ngehargain pengorbanan mama. Maaf El nyerah, disini gak ada yang benar-benar tulus nerima El yang penyakitan ini." Gadis itu mendongak menatap langit dengan senyum manis yang tak pernah diperlihatkan kepada siapapun, dan melompat kekolam dengan harapan dia menghilang dari dunia ini.
Mata gadis itu meredup bersamaan dia melihat seorang pria yang juga menyebur bersamanya, dan matanya pun tertutup sempurna.
Memori itupun selesai bersamaan dengan seseorang yang melompat kekolam, dan meraih Elisa membawanya kepermukaan. Orang itu menekan d**a Elisa guna mengeluarkan air yang masuk ke paru-paru.
Elisa terbatuk-batuk, orang itu mendudukkan Elisa. Elisa menatap orang yang menolongnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya orang itu
"Apa pedulimu?" balas Elisa, "bukannya ini yang kau inginkan? Melihat ku meninggalkan dunia ini." ucapnya sinis
"Apa maksudmu?" ucap orang itu
"Cih, tidak usah munafik kau membenciku kan. Karna aku istrimu meninggal, bersikap seolah-olah kau orang yang paling kehilangan, dan melampiaskannya padaku." ucap Elisa datar, "lalu bagaimana denganku? Aku bahkan belum merasakan ASInya, dan tak tau seperti apa wajahnya, lantas kenapa kau membenciku? Bahkan rela menjualku hanya demi pabrik senjata di Siberia. Kau tau, kau ayah b******k! Aku membencimu." ucap Elisa membuat Elbara terdiam
"Kau tidak tau bagaimana perasaanku saat kau mengacuhkan ku, bahkan kau tidak mau repot-repot mencari tau apa yang aku alami di SMP, mereka merundungku hanya karna aku memiliki rambut rambut putih yang sama sekali tidak mirip denganmu ataupun ibu, mereka mengejekku karna warna mataku yang tidak mirip denganmu, kau tidak tau kan." Elisa mengusap air matanya, "kau egois. Hanya karna ketidaksiapanmu kehilangan ibu, kau menyalahkan ku. Padahal kau tau kalau aku hanyalah anak yang tak tau apa-apa."
Elisa bangkit dari duduknya. "Saat aku pergi nanti, aku berharap supaya kau tidak hidup dalam penyesalan, karna itu menyakitkan. Dan aku berharap semoga kau selalu bahagia." ucapnya dan berlalu dari sana
"Aku sudah memperingati kalian, tapi kalian tidak mendengarkan ku. Jika mama masih bersama kita dia pasti akan sangat kecewa, sudah cukup sampai disini jangan menambah garam dalam lukanya lagi." ucap Raffa, meninggalkan adik dan ayahnya dan menyusul Elisa.