Inilah Pilihan Hidup Laura

1630 Words
  Part 3 : Inilah Pilihan Hidup Laura   Happy Reading ^_^   ***   “Laura, kamu yakin akan meninggalkan asrama mulai hari ini?” Miss. Berlin mengulangi pertanyaannya lagi seolah-olah tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Lagi-lagi Laura mengangguk mantap. “Lima minggu lagi kamu akan ikut kompetisi, Laura. Kamu tidak melupakannya, bukan?”   “Aku ingat itu dengan baik, Miss. Berlin. Tapi keadaannya sekarang memang mendesak.” Laura menunduk. “Clara sakit dan Mama terpukul. Aku tidak bisa terus tinggal di asrama.”   “Lalu bagaimana dengan kompetisi kamu?” Miss. Berlin terlihat bingung dan frustasi secara bersamaan. “Kamu sendiri yang bilang ingin masuk tim nasional dan menjadi atlet skater yang mengharumkan nama bangsa baik dalam kompetisi nasional maupun internasional. Itu cita-cita kamu, Laura, dan kamu akan meninggalkannya begitu saja?”   “Tidak, tentu saja tidak, Miss. Aku hanya...” Laura tercekat. “Semua masih sesuai rencana, hanya saja aku tidak tinggal di asrama lagi. Waktu berlatihku memang tidak setiap hari lagi, tapi aku janji saat weekend akan berlatih dua kali lipat lebih keras dari biasanya. Mimpi-mimpiku masih sama, Miss, percayalah padaku.”   Miss. Berlin berkacak pinggang. Dia masih terlihat tidak rela dengan keputusan anak didiknya. Laura memang tidak berhenti –syukurlah- tapi tidak tinggal di asrama dan mengurangi jam latihan menjadi seminggu dua kali membuat dirinya sebagai pelatih sedikit was-was.   Figure skating bukan olahraga yang mudah. Butuh waktu latihan yang intens agar mendapatkan hasil yang baik. Dan Laura berencana menggantikan waktu latihan dari tujuh  kali dalam seminggunya menjadi dua kali dalam seminggu saja? Mustahil. Dirinya bukan hanya mengkhawatirkan kegagalan Laura saja, tapi dia juga mengkhawatirkan keselamatan Laura. Dua kali dalam seminggu terlalu singkat dan dia takut Laura akan tertekan karena ada banyak hal yang harus dicapai dalam dua kali latihan. Dia tidak ingin tekanan itu membuat Laura melukai tubuhnya sendiri.   Tapi sebagai pelatih dia bisa apa setelah Laura memaparkan alasannya adalah demi keluarga? Sekali lagi, dia hanya seorang pelatih.   “Baiklah. Karena ini keputusan kamu, jadi aku akan menghargainya. Kamu sudah dewasa dan aku yakin kamu sudah tahu konsekuensinya.”   Laura menunduk mencoba untuk tabah. Air matanya ingin mengalir keluar dan mati-matian dia menahannya. Aku tidak boleh menyesali pilihanku sendiri, batin Laura. Ucapan Miss. Berlin benar sekali. Dia sudah dewasa dan tahu konsekuensinya. Jadi dia tidak pantas menangis untuk pilihannya sendiri. Laura menatap Miss. Berlin dengan mantap dan mengangguk untuk menegaskannya.   “Aku harap kamu bisa meraih mimpi yang sudah kamu tanamkan sejak lama, Laura. Dari sekian banyak calon skater yang aku latih, kamulah yang paling aktif mengikuti turnamen dan memenangkan medali emas. Dengan semua prestasi itu, kamu sangat layak untuk masuk ke dalam tim nasional.”   Laura tahu pujian itu bukan hanya sekedar bualan saja. Miss. Berlin jujur karena dia sendiri pun merasakannya. Dia mengorbankan banyak waktunya untuk berlatih dan berlatih. Di saat remaja seusianya menghabiskan waktu di sekolah untuk belajar atau pun di cafe atau mall untuk bersenang-senang, sedangkan Laura hanya tahu satu tempat: ice rink.   Di tempat inilah Laura belajar sekaligus bersenang-senang. Di tempat ini juga Laura mengorbankan waktunya untuk menggapai cita-cita yang sudah bercokol sejak dirinya masih sangat-sangat muda. Dia tidak punya banyak teman dan nilai akademiknya pun tidak terlalu bagus. Tapi sebagai gantinya, Laura punya banyak kesempatan untuk ikut kompetisi figure skating sampai ke luar negeri. Dia juga punya banyak penghargaan dan sertifikat atas kerja kerasnya.  Dan Laura merasa kalau semuanya sepadan. Inilah pilihan hidupnya.   ***   Dan ini juga pilihanku, batin Laura sambil menginjakkan kakinya di pelataran luar sekolah Clara. Ditatapnya gerbang sekolah Clara dengan tatapan yang campur aduk. Sekolah Clara luar biasa –tidak perlu diragukan lagi- tapi Laura selalu yakin kalau sekolah formal seperti ini bukanlah bagian dari hidupnya.   Selama ini dia selalu terbangun dengan pemikiran bahwa latihannya hari ini harus lebih baik dari kemarin. Dia harus memperbaiki postur tubuhnya, mempelajari bermacam-macam lompatan, dan memperbarui koreografi yang terkadang sangat sulit untuk skater lainnya. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana caranya meningkatkan nilai akademiknya karena memang bukan nilai itu yang dia gunakan di atas ice rink.   Tapi setelah ini dia harus memikirkan keduanya. Ya, harus. Kecuali dia ingin gagal untuk masuk tim nasional atau pun gagal mengungkap masalah kenapa adiknya bisa sampai koma. Dalam benaknya yang paling dalam, Laura sedikit pesimis. Akankah dia berhasil? Katakanlah dia serakah, tapi bohong kalau dia sepenuhnya ingin mengorbankan mimpinya demi adiknya. Tapi dia juga tidak bisa mengorbankan adiknya dan terus berlatih demi masuk tim nasional.   Laura menatap surat izin resmi dari rumah sakit dan gerbang sekolah Clara secara bergantian. Dalam hatinya dia sedang memantapkan niatnya. Dia punya kesempatan untuk berbalik dan pergi atau terus melangkah melewati gerbang. Semuanya memiliki konsekuensi masing-masing. Dia bisa pergi dan menjadi kakak yang egois atau dia tetap masuk dan menjadi kakak yang baik.   Dan Laura yang meremas surat izin dari rumah sakit seolah menjawab semuanya. Dia akan masuk ke Dharma Bangsa International School sebagai Clarance Juarsa. Ya, inilah keputusan yang dia ambil untuk mengorbankan waktu latihannya –atau mungkin juga mimpinya- yang berharga demi adiknya.   ***   “Ya ampun, Clara, kenapa lo bisa kecelakaan sih? Lo nggak apa-apa, kan? Gue sama Else berencana jenguk lo, tapi sayangnya kita nggak tahu di rumah sakit mana lo di rawat. Lo bener-bener nggak apa-apa, kan?”   Laura tersenyum karena bingung akan menjawab apa. Ini benar-benar di luar dugaannya. Teman-teman Clara begitu menggebu-gebu, terutama yang ada di depannya dan memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.   “Lo bener-bener nggak apa-apa, Clara? Lo terlihat aneh.” Kata perempuan berambut pendek yang ada di sebelah perempuan yang memberondongnya dengan segudang pertanyaan.   Terlihat aneh adalah suatu larangan. Laura menegaskan kalau selama penyamaran dia tidak boleh terlihat aneh, atau semua orang akan mengetahui kebohongannya. Dan satu orang sudah mengatakannya. Dia harus lebih natural mulai dari sekarang.   Laura tersenyum, dan kali ini dia merasa sudah jauh lebih baik. “Gue nggak apa-apa kok, Els.”   Els adalah panggilan Clara untuk Else Bramantio. Sementara yang di sebelahnya lagi –si cerewet yang memberondongnya dengan pertanyaan- adalah Viony Chrisda. Dari mana dia tahu semua itu? Tentu saja dari riwayat chat di ponsel Clara. Laura tahu, atau lebih tepatnya dia harus tahu. Mereka adalah orang-orang penting di hidup Clara, yang bisa jadi akan membantu Laura untuk membongkar kecurigaannya tentang keadaan Clara di sekolah ini.   “Gue kurang hati-hati makanya kemaren bisa kecelakaan.” Terangnya lagi.   “Pasti parah banget sampe harus izin beberapa hari.”   “Nggak juga kok, tapi emang kepala gue terbentur, jadi beberapa kali suka sakit mendadak. Makanya nyokap khawatir dan nyuruh gue izin selama beberapa hari.”   “Lo nggak kayak di film-film gitu, kan yang mendadak amnesia? Gue siapa?” Si cerewet dengan segudang pertanyaan menunjuk dirinya sendiri.   Laura memutar bola matanya. “Ya ampun Vio, lo apa-apaan sih. Nggak mungkinlah gue lupa sama lo berdua.” Katanya dengan diiringi gelak tawa yang tujuannya untuk semakin meyakinkan.   Dari tawa meyakinkannya, Laura sedikit was-was dengan Else. Berbeda dengan Viony yang begitu cerewet dan riang, Else justru sangat pendiam. Entah dia memang pendiam atau dalam benaknya dia diam-diam mencurigai Laura yang saat ini sedang berakting sebagai Clara.   “Menurut kalian sebaiknya kapan gue ngadep wali kelas buat lapor?”   “Gue yakin keadaan lo belum sepenuhnya membaik, kan? Jadi sekarang mending lo ke asrama aja buat istirahat. Nanti pas jam akademik udah selesai baru gue dan Vio temenin ngadep wali kelas.”   Akhirnya setelah sekian lama bungkam Else membuka suara dengan pendapatnya. Diam-diam terselip rasa syukur karena Laura merasa tidak ada yang salah dengan Else. Mungkin itu hanya perasaannya saja yang tak beraturan karena sedang membohongi orang-orang yang tak dikenalnya.   ***   Laura menyibakkan selimut dan bergegas ke balkon kecil yang memang dimiliki oleh setiap kamar asrama. Sudah pukul sebelas malam dan dia belum merasa mengantuk sedikitpun. Mungkin sekarang tubuhnya sedang beradaptasi dengan tempat baru.   Meski ini bukan kali pertama dia tinggal di asrama, tapi tempat ini benar-benar baru. Terlebih lagi dia datang bukan sebagai Laura melainkan sebagai Clara. Tentu saja ada perbedaan besar yang mengharuskan tubuh dan otaknya benar-benar beradaptasi dengan tempat ini.   Dia tidak boleh salah, apalagi sampai terlihat aneh di hadapan semua orang, terutama Viony dan Else. Laura menopangkan kedua sikunya pada tralis pembatas yang cukup tinggi. Pikirannya melanglang buana.   Bagaimana keadaan Mamanya?   Bagaimana keadaan Clara?   Bagaimana semua ini akan berakhir?   Dan apakah aku akan menemukan jawaban dari semua pertanyaan ini?   Laura menghela nafas pelan.   “Kenapa lo belum tidur?”   Laura terkesiap mendengar suara lain di belakangnya. Dia berbalik sebentar dan mencoba bersikap sebiasa mungkin pada Else yang berdiri di ambang pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon.   “Kepala gue sakit,” Jawab Laura dengan tenang dan dengan ekspresi yang dia rasa sangat mirip dengan ekspresi Clara pada kondisi seperti ini.   “Udah minum obat?”   Laura mengangguk sebagai jawaban. “Lo sendiri kenapa belum tidur?”   “Gue juga nggak tahu kenapa. Padahal tadi ngantuk banget pas ngerjain tugas buat besok.” Katanya sambil terkekeh pelan.   Laura ikut terkekeh saat Else terkekeh, tapi sesudahnya dia diam. Mereka diam. Dia mengetahui sahabat adiknya melalui riwayat chat. Tentu saja riwayat chat tidak menjelaskan banyak hal. Dan karenanya Laura tidak tahu harus mengatakan apa untuk membuka pertanyaan yang sifatnya pribadi. Tidak mungkin, kan di malam yang mulai larut ini dia membahas PR-PR apa saja yang ada selama dia izin tiga hari.   “Clara...”   “Hm...” Laura menengok. Untunglah dia sudah membiasakan refleknya ketika ada yang memanggilnya sebagai Clara. “Kenapa?” tanyanya dengan penasaran.   “Hari itu... kenapa lo bersama Felixia?”   Hari itu... kapan? Dan siapa Felixia?   Laura menelan ludahnya dengan halus. Dia gugup harus menjawab apa, tapi Else jelas tidak boleh melihat kegugupan itu.   “Gue nggak mau membahas dia, Els.”   “Sorry gue ngingetin lo dengan kecelakaan hari itu, tapi Clara, gue bener-bener nggak habis pikir dengan kondisi waktu itu. Lo bareng Felixia, yang faktanya lo nggak akur sama orang itu.”   Jadi benar kalau adiknya kecelakaan. Laura menggenggam pinggiran tralis besi dengan kuat. Sebisa mungkin dia harus menahan amarahnya. Belum sampai duapuluh empat jam dan dia tidak boleh merusak semua rencananya. Laura yakin ada banyak hal yang akan dia dapatkan jika dia bisa sedikit menahan amarahnya.   “Tapi lo bener-bener nggak apa-apa, kan?” Else bertanya lagi dengan khawatir.   “Gue terluka, Els, tapi gue akan membaik. Segera.”      TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD