17 - Keputusan terbaik.

1004 Words
"Astaga, Anna, kenapa ponsel kamu enggak aktif si?" Untuk kesekian kalinya Sein mengeluh, khawatir karena ponsel Anna dalam keadaan tidak aktif atau tidak bisa dihubungi. Sejak beberapa menit yang lalu, Sein sudah berulang kali mencoba menghubungi Anna, tapi tidak bisa. Sein tidak tahu pasti kenapa Anna tidak bisa dihubungi. Apa Anna sengaja mematikan ponselnya? Atau mungkin ponsel Anna kehabisan baterai? Sein berharap jika Anna tidak mematikan ponselnya agar tidak bisa si hubungi, tapi alasan Anna tidak bisa dihubungi karena ponselnya kehabisan baterai. Sein keluar dari kamar sambil terus mencoba menghubungi Anna. Tapi hasilnya masih sama seperti sebelumnya, Anna tidak bisa dihubungi. Rasa takut, cemas, sekaligus khawatir Sein semakin menjadi. Dalam sekejap, otak Sein di penuhi dengan berbagai macam pikiran-pikiran buruk. "Daddy!" Teriak Sein sesaat setelah keluar dari dalam lift. "Daddy di belakang, Mom!" Anton mendengar teriakan Sein, jadi Anton langsung menyahut. Sein bergegas pergi menemui Anton. "Dad." "Ada, Mom?" Anton meletakkan ponselnya di meja, lalu menatap Sein yang saat ini sudah duduk di sampingnya. "Kenapa, hm? Kok raut wajahnya khawatir gitu?" tanyanya dengan kening mengkerut. "Anna, Dad. Sejak tadi, Mommy mencoba menghubungi Anna, tapi Anna tidak bisa di hubungi. Ponselnya tidak aktif, Dad," jelas Sein dengan raut wajah panik. "Seharusnya Anna sudah pulang sejak 1 jam yang lalu, loh. Tapi kenapa sampai sekarang, Anna belum juga pulang ya?" Anton melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kanannya, seketika sadar jika apa yang Sein katakan memang benar, seharusnya, sejak 1 jam yang lalu sang putri sudah pulang. "Iya, ya. Kok Anna belum pulang juga ya?" gumamnya bingung. "Mommy takut terjadi sesuatu yang buruk pada Anna, Dad? Bagaimana ini?" Anton segera menenangkan Sein yang terlihat sekali sangat khawatir serta panik. "Tenanglah, Mom, Anna pasti baik-baik saja." "Ya, semoga Anna baik-baik saja, Dad." Sein tidak akan bisa sepenuhnya merasa lega sebelum melihat Anna dengan mata kepalanya sendiri. Anton menenangkan Sein dengan cara memeluk Sein. "Kita tunggu 10 menit lagi ya, kalau dalam kurun waktu 10 menit Anna belum datang juga, baru kita cari Anna." Belum sempat Sein menanggapi ucapan Anton, teriakan Anna sudah terlebih dahulu terdengar. Anton melepas pelukannya, membiarkan Sein pergi menghampiri Anna sebelum akhirnya ia menyusul Sein. "Sayang," panggil Sein sambil berlari menghampiri Anna yang baru saja memasuki ruang keluarga. "Hai, Mom," balas Anna sambil tersenyum lebar. Sein memeluk Anna dengan erat, dan Anna membalas pelukan Sein dengan tak kalah eratnya. Perasaan takut, cemas, sekaligus khawatir Sein seketika hilang begitu ia bisa memeluk Anna, dan melihat Anna secara langsung. Sein melerai pelukannya, begitu juga dengan Anna. "Sayang, kamu baik-baik aja, kan?" Sein merangkum wajah Anna, memimdai penampilan Anna, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Sein bernafas lega ketika melihat Anna baik-baik saja, tidak ada yang terluka sedikitpun. "Seperti yang Mommy lihat, Anna baik-baik saja," ucap Anna sambil tersenyum lebar. "Yakin?" Sein menatap lekat mata Anna, mencoba untuk mencari tahu apa yang ada dalam pikiran Anna. "Iya, Mommy. Anna baik-baik saja." Anna kembali tersenyum, terus meyakinkan Sein jika saat ini dirinya baik-baik saja meskipun sebenarnya ia tidak sedang baik-baik saja. "Lalu kenapa sejak tadi kamu sulit sekali Mommy hubungi? Seharusnya kamu juga pulang sejak 1 jam yang lalu, lalu kenapa kamu baru pulang sekarang, hm?" Sein bertanya dengan nada lemah lembut. "Baterai ponsel Anna habis, Mom. Jadi ponsel Anna mati. Tadi setelah mengantar Kak Juan, Anna mampir dulu di kedai es cream." Anna tidak berbohong, karena setelah bertemu dengan Bella, Anna memang memutuskan untuk pergi ke kedai es cream, hanya saja, Anna tidak ingin memberi tahu Sein jika tadi dirinya bertemu Bella. Anna tidak mau membuat kedua orang tuanya, terutama Sein khawatir. "Kamu tahu, Mommy khawatir sama kamu. Mommy takut terjadi sesuatu yang buruk sama kamu saat kamu tidak bisa Mommy hubungi." Anna seketika merasa bersalah karena sudah membuat Sein khawatir. "Maaf ya karena Anna sudah membuat Mommy khawatir." "Mommy maafkan, tapi lain kali jangan di ulangi lagi ya, Sayang." Anna mengangguk. "Iya, Mom. Anna janji jika Anna tidak akan mengulanginya lagi." "Ya sudah, sekarang kamu istirahat aja, atau kamu mau makan dulu?" "Anna masih kenyang, Mom. Jadi Anna mau istirahat aja si kamar." Anna butuh waktu untuk sendiri, merenungkan apa yang baru saja terjadi. "Ya sudah, istirahat aja." Sebelum pergi ke kamar, Anna terlebih dahulu memeluk Anton yang sejak tadi menyimak pembicaraan antara Sein dan Anna. Setelah melihat Anna memasuki lift, Anton segera menghampiri Sein yang masih saja melihat kepergian Anna. Anton memeluk Sein, dan hal tersebut sempat membuat Sein terkejut. "Mom, Anna sudah pulang loh, tapi kenapa masih terlihat khawatir?" "Mommy merasa jika ada sesuatu yang Anna sembunyikan dari Mommy, Dad," lirih Sein sambil menghela nafas panjang. "Tentu saja setiap anak mempunyai rahasia, Mom. Pasti ada beberapa hal yang tidak ingin mereka bagikan pada orang tuanya." "Mommy tahu, hanya saja, Mommy merasa khawatir pada Anna, Dad." "Tenanglah, Sayang, Anna pasti baik-baik saja." Anton membawa Sein pergi istirahat, dan Sein sama sekali tidak menolak. Sein berharap, ketika bangun nanti, perasaannya sudah jauh lebih membaik. Anna sudah sampai di kamar. Anna membaringkan tubuhnya yang terasa lelah di tempat tidur dengan posisi menyamping. Anna memejamkan matanya, saat itulah, pembicaraannya dengan Bella beberapa jam yang lalu kembali muncul ke permukaan. Tak ada alasan bagi Anna untuk tidak percaya pada ancaman Bella. Anna 100% yakin jika ancaman Bella bukan hanya isapan jempol belaka, itu artinya, Bella akan benar-benar nekat untuk menyebarkan tentang perselingkuhannya dengan Juan pada awak media. Anna tidak mau Bella benar-benar merealisasikan ancamannya, jadi Anna akan menepati janjinya untuk menjauhi Juan. Anna yakin, jika itu memang pilihan sekaligus keputusan terbaik, untuknya, untuk Juan, dan juga semua orang yang ada di sekitar mereka, terutama orang tua mereka. Anna tidak mau membuat orang tuanya malu. Anna juga tidak mau membuat orang lain terkena imbas dari kebodohannya jika ia tetap memilih mempertahankan hubungannya dengan Juan. "Sejak awal, seharusnya aku menolak untuk bertemu dengan kamu, Kak. Seharusnya aku tidak setuju untuk menunggu kamu, Kak," lirih Anna sambil meremas kuat bantal yang ada dalam pelukannya. Anna membenamkan wajahnya di bantal. Tak lama kemudian, Anna menangis. Anna terus menangis sampai akhirnya Anna tertidur pulas karena lelah menangis, menangisi kisah asmaranya yang begitu menyedihkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD