***
Sepanjang jalan menuju rumah, Ziya dan Dias sama-sama bungkam. Keduanya memilih diam karena malas berdebat. Setidaknya itu yang Dias pikirkan kenapa ia memilih untuk mengunci mulutnya rapat-rapat. Entah bagaimana dengan Ziya. Gadis yang biasanya lebih suka bicara itu tampak enggan menatapnya. Bahkan meliriknya pun terlihat tak sudi.
Tanpa sadar, mobil sudah memasuki area perumahan Ziya dan papanya. Gadis cantik itu mengembuskan napasnya dengan lega. Satu mobil bersama Dias terasa sangat amat mencekiknya. Hanya tinggal sebentar lagi halaman rumah papanya sanggup digapai oleh mobil Dias.
“Bagus juga kamu diam. Daripada bicara yang enggak-enggak seperti biasa,” ucap Dias setelah ban mobilnya berhasil melewati pagar rumah Wira.
Ziya menoleh bersama tatapan tajamnya. Sedikit lagi ia terbebas dari Dias, tetapi lelaki itu akhirnya membuka mulut juga. Ziya kesal karena Dias tidak memiliki sikap yang bisa membuatnya menyukainya. Namun, alih-alih membalas sindiran itu Ziya memilih untuk tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Ziya tak ingin kecewa lagi seperti beberapa saat yang lalu. Tak hanya menyalahkannya atas kejadian di jalan raya yang menyebabkannya ribut bersama perempuan itu, tetapi Dias pun mempermainkannya pasal ciuman.
Bungkamnya Ziya menciptakan kerutan di dahi Dias. Ia bertanya-tanya, bukankah biasanya Ziya akan membalasnya dengan ketus? Kenapa Ziya hanya diam?
Mendadak ingatan Dias kembali pada kejadian di pinggir jalan saat ia menemukan Ziya. Dias akui, dia belum mengutarakan maaf pada Ziya atas kesalah pahamannya. “Maaf soal tadi,” ucapnya.
Namun, Ziya salah paham. Maaf yang Dias ucapkan ia kira berhubungan dengan ciuman. Ziya ingin membalas Dias, tetapi Dias lebih dulu melanjutkan ucapannya. “Ternyata lo nggak salah, yang salah perempuan itu,” ucap Dias.
Ziya pun mengurungkan niatnya untuk membalas Dias. Ia mengangguk singkat tanpa bermaksud mengatakan apapun lagi.
Roda mobil Dias yang sudah tidak bergerak menandakan bahwa mereka sudah sampai di halaman rumah Wira. Keduanya turun tanpa mengatakan apa-apa. Ziya berlari menghampiri Wira yang sudah menunggu di ruang tamu. Seharusnya gadis Dua Puluh Dua tahun itu menyesal karena telah membuat Wira khawatir, tetapi Ziya justru merasa senang karena menurutnya dengan seperti ini, ia mendapatkan banyak sekali perhatian dari papanya.
Ziya memeluk Wira dengan manja. Wajahnya sumringah, tanpa peduli pada wajah Wira yang tampak khawatir bercampur lega. “Papa nggak usah suruh dia jemput segala. Ziya bisa kok pulang sendiri,” ucapnya sembari menunjuk Dias yang baru saja bergabung bersama mereka. Ziya melupakan keluhannya tentang ia yang tidak tahu jalan pulang.
“Kamu harusnya berterima kasih pada Dias, Zi. Kalau bukan karena dia, entah apa yang akan terjadi,”
Tck. Ziya tak suka papanya membela Dias. “Papa sayang … dokter Dias hanya ngacauin rencana aku aja. Kehadirannya nggak diperlukan. Papa nggak usah repot-repot minta dokter Dias ngawasin aku,” ucapnya.
Wira sadar, putrinya sudah mengetahui tujuannya meminta Dias mengawasinya. Wira pun tak ingin menutupi. “Kamu harus ngerti, ini Jakarta, bukan Singapura yang jalannya sudah kamu hafal di luar kepala,” balasnya.
“Astaga Papa! Just Jakarta, you know? Aku bisa dengan mudah ke mana pun walaupun untuk pertama kalinya aku menjelajah lagi setelah sekian lama,”
“Jangan lupakan kalau kamu sendirian, Arziya!” ujar Wira dengan tegas. Ziya sungguh susah diatur. Dia memang sudah Dua Puluh Dua tahu. Bisa menjaga diri sendiri, tapi Wira tidak mempercayainya. Wira tidak percaya putrinya bisa menjaga diri.
“Pap!” Ziya tidak terima. Ia ingin papanya menuruti apapun keinginannya. Kedatangannya kembali ke Indonesia adalah untuk bersenang-senang, bukan dikekang. Jika seperti ini terus, apa bedanya di sini dan di sisi ibunya? Ziya menggeleng keras. Hidupnya harus berubah. Namun, jika memberontak sekarang, maka bukan tak mungkin dia pun akan kehilangan kasih sayang dan perhatian papanya.
“Baiklah … sekarang apa mau Papa?” tanya Ziya dengan lesu.
Mendengar Ziya tak berdaya, membuat sudut bibir Dias tertarik membentuk senyuman. Gadis cerewet dan tidak punya otak itu ternyata bisa juga tunduk pada perintah Pak Wira.
“Kamu yakin mau turutin maunya Papa?” Wira balas bertanya. Ziya mengangguk karena tidak memiliki pilihan lain.
“Kalau gitu biarin dokter Dias jadi pelindung kamu.”
“What?”
“Apa?”
Tak hanya Ziya yang terkejut, tetapi Dias juga. Dias pikir tugasnya sudah selesai, ternyata dirinya salah. Justru sekarang atasannya itu secara terang-terangan mengatakan keinginannya di depan mereka.
“Ada yang keberatan?” Wira bertanya pada keduanya.
Ziya ingin sekali protes. Lebih baik ia diawasi oleh dokter ganteng lainnya daripada diawasi oleh kulkas berjalan yang kalau disentuh membuatnya ikut membeku. Namun, Ziya tak bisa melawan papanya. Ia takut papanya juga mengabaikannya seperti yang dilakukan mamanya. Membayangkan hal itu saja membuat Ziya kecewa. Ia tidak ingin kejadian mengerikan itu terulang lagi.
Buru-buru Ziya menggeleng, lalu berlari menghampiri Dias. Tanpa tahu malu ia memeluk lengan Dias. “Nggak apa-apa, Pa. Lagi pula Mas dokter ganteng juga, lumayan buat cuci mata,” ucapnya.
Dias mendengkus kecil. Suaranya hanya dapat didengar oleh Ziya semata. Sebenarnya dia malas berurusan dengan Ziya lagi, tetapi Dias sadar dirinya tak punya kuasa untuk menolak permintaan atasannya.
“Kalau gitu masalah sudah selesai. Ziya, kamu boleh kembali ke kamar sekarang juga.”
Tanpa membuang waktu, Ziya pun melepas rangkulannya pada lengan Dias. Ia berlari menuju tangga, naik ke lantai atas di mana kamarnya berada.
Sementara itu, Wira menghela napasnya dengan berat melihat tingkah putrinya yang tak wajar di matanya. Ziya tampak kesepian dibalik sifat cerianya. Ada sesuatu di mata putrinya itu, tetapi Wira belum sempat membacanya, atau sejak awal ia tak bisa membaca mata Ziya. Hal itu membebankan bagi Wira. Itulah kenapa ia ingin Dias mengawasi Ziya.
“Pak, tentang …” ucapan Dias terpotong begitu decakan kesal keluar dari mulut Wira.
“Sudah berapa kali Om bilang, Dias? Kalau di luar jam kerja jangan bicara formal. Kamu sudah Om minta untuk mengganti panggilan kakumu itu,”
Dias mengembuskan napasnya yang sempat ia tahan akibat mendengar decakan sebal dari atasannya. Ia pikir dia telah melakukan kesalahan besar. “Maksudku Om,” ulangnya.
“Nah, gitu. Sekarang apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Wira.
Dias menimbang sejenak. Ia memilih kata yang tepat agar tak menyinggung Wira. “Soal laporan hari ini, apa Om sudah menegur Ziya?” tanyanya.
Helaan napas berat kembali terdengar. Wira sudah memutuskan apa yang harus ia lakukan. Menjawab pertanyaan Dias, Wira pun menggeleng mantap. “Om tidak bisa menegur Ziya karena hal itu. Kamu lihat sendiri kan bagaimana kelakuan Ziya hari ini? Lebih baik Ziya berkeliaran di RS daripada kita tidak tahu ke mana dia pergi seperti tadi,” ucap Wira.
“Tapi, Om …”
Wira meminta Dias untuk diam, dan menuruti perintahnya. Wira pikir membiarkan Ziya bermain-main di rumah sakit jauh lebih aman, daripada melepaskannya di jalanan. “Om pikir sesuatu terjadi pada Ziya, Dias. Tapi sampai detik ini Om tidak tahu itu apa. Dulu, Ziya tidak seperti ini. Sikapnya manis dan santun,” ucapnya.
Dias tidak mengenal Ziya dengan baik seperti Pak Wira, tetapi melihat sendiri kelakuan Ziya sejak kedatangannya, membuat Dias mengerti Ziya tidak normal seperti kelihatannya. Emosinya kerap kali melebihi batas. Kadang ada kesedihan juga di mata gadis itu. Namun, bukankah akan semakin tidak aman bagi Rara bila Ziya dibiarkan melakukan apapun sesukanya di RSJ?
“Kalau begitu terserah Om saja.” Seperti biasa, Dias tidak bisa menolak apapun keinginan Pak Wira.
.
.
To be continued.
Hai dear... Lanjut ya. Aku cuma mau ngingetin, cerita ini akan fastupdate selama bulan juni. Semoga suka :-)