Bab 6. Adegan Manis

1604 Words
*** Bibir Ziya berkedut senang saat melihat mobil Dias mengikutinya dari belakang. Bukan karena ia ingin sekali diikuti oleh Dias, tetapi karena dirinya lebih suka melihat dokter ganteng itu peduli padanya daripada bersikap menyebalkan seperti beberapa menit yang lalu. Lagipula kali ini dia tidak bersalah, tetapi dokter Dias sembarangan menghakiminya. Ziya tentu tidak terima. Dia ingin dokter Dias menyesali perbuatannya dan mengakui kesalahannya. “Sungguh kebetulan bisa ketemu Mas dokter ganteng,” kekehnya. “Kita lihat, sebatas mana dokter Dias betah buntutin gue?” “Kali aja sampai ke mana-mana,” kekehnya sekali lagi. “Ahaa aku ada ide!” ujarnya. Dalam beberapa detik Ziya menekan pedal gasnya dalam, membuat kecepatan mobilnya bertambah berkali-kali lipat. Hal itu menyebabkan kedua bola mata Dias membesar dengan sempurna. Ia pun ikut menekan pedal gasnya demi menyusul Ziya untuk menghentikan perbuatan konyolnya. “Arziya!” geram Dias frustrasi. Sebenarnya, ia tak memiliki waktu untuk bermain kejar-kejaran seperti ini bersama Ziya. Lebih baik dirinya menghabiskan waktu bersama Rara daripada membuang waktu bersama Ziya. Namun, sekali lagi Dias tidak memiliki pilihan lain. Maafkan Dias yang merasa terbebani sejak kehadiran Ziya di Negeri ini. Entah kenapa ia berharap Ziya enyah dari hidupnya secepatnya. Dias berdo’a semoga Ziya kembali ke Negeri singa. Di saat Dias menggeram kesal karena Ziya mengebut di jalanan, justru Ziya terkikik senang karena idenya berjalan lancar. Dokter songong yang sudah memusuhinya sejak pertemuan pertama itu sedang mengejarnya. Ziya tahu Dias sedang berusaha untuk menghentikan mobilnya. Namun, jangan harap Ziya berbaik hati menurunkan kecepatan. Ziya akan membuat dokter Dias tercengang atas kelakuannya. “Lo pasti dikirim Papa buat buntutin gue,” tebak Ziya. Mustahil dokter Dias tiba-tiba menemukannya di tengah padatnya Kota Jakarta jika bukan karena sejak awal lelaki itu telah membuntutinya. Tck. Ziya menggeleng tak percaya. Mau-maunya Dias melakukan perintah papanya. Padahal Ziya yakin sekali, pekerjaan dokter Dias pasti lebih banyak dari yang dirinya bayangkan. “Entah apa yang Papa berikan,” ucapnya sembari menggeleng tak yakin. “Eh? Kok nyalip sih?” Pupil mata Ziya membesar kala melihat mobil Dias tiba-tiba saja sudah berada di depan mobilnya. “Sial!” Ziya merasa terbodohi. Ternyata, dokter menyebalkan itu bisa menyusulnya dengan mudah. Bahkan sekarang mobilnya diberhentikan secara paksa oleh dokter Dias. Dalam beberapa detik, Dias sudah turun dari mobilnya dan mengetuk kaca mobil Ziya. “Turun!” ujarnya memerintah. Ziya dapat membaca gerakan mulut Dias meskipun ia tak mendengarnya. Apalagi ekspresi lelaki itu tampak kesal terhadapnya. Mau tak mau Ziya pun membuka pintu mobilnya. Ia turun dari sana. “Kenapa sih?” tanyanya tak suka. “Kenapa lo bilang?” Dan seperti inilah cara Dias berbicara pada Ziya. Tak ada manis-manisnya. Hal itu membuat Ziya semakin dongkol saja. “Lo ngapain pergi tanpa pamit sama bokap lo, huh?” Ziya bertanya-tanya ke mana sikap manis Dias yang lelaki itu berikan pada Rara? Kenapa Dias tak bisa berlaku yang sama terhadapnya? Ziya merasa kecewa. Ia tidak terima dan semakin ingin memberi pelajaran pada Rara akibat sikap kasar Dias kepadanya. Ziya merasa Dias membencinya karena pasien aneh itu. “Apa itu menjadi urusan lo, dokter Dias?” Ziya bersedekap. Matanya menatap tajam kea rah Dias yang juga sedang menatapnya demikian. “Lo itu nggak bisa dibilangin, ya? Tolong dong jangan repotin gue!” Tanpa berniat menjawab pertanyaan Ziya, dokter Dias justru balik bertanya. Ia menunjuk wajah Ziya dengan kasar. Kekesalannya bertambah setelah melihat tingkah Ziya yang sengaja melarikan diri darinya. Dias menyesal telah bersimpati dan merasa bersalah pada perempuan itu beberapa saat yang lalu. Seharusnya ia biarkan saja Ziya tampak bersalah di matanya. Bukan justru membelanya. Untung Ziya tidak mendengar sendiri pembelaan yang ia berikan, kalau tidak Ziya pasti besar kepala dan semakin semena-mena. “Gue tanya apa itu jadi urusan lo? Gue mau pergi ke mana pun itu urusan gue! Lo nggak berhak marah.” Andai Ziya tahu, Dias pun enggan sekali ikut campur pada semua yang Ziya lakukan. Namun, dirinya terlanjur setuju untuk membantu Pak Wira menjaga Ziya. Dias menghela napasnya, bertanda betapa beratnya tugas yang harus ia lakukan saat ini. “Itu jadi urusan gue sejak Papa lo mint ague jagain lo, puas?” bentak Dias. “Okay! Gue bakal bilang ke Papa kalau lo keberatan jagain gue. Lo bisa bebas jagain pasien gila lo itu!” Mulut Ziya semakin tidak terkendali saja. Ziya bermaksud menyindir kebaikan Dias untuk Rara. “Ehh mulut lo dijaga ya!” Lagi-lagi Ziya mendengar dokter Dias membelas Rara. Demi apa emosi Ziya semakin besar saja. “Dasar nyebelin!” ujarnya. “Lo tuh yang nyebelin. Udah nggak punya otak, sekarang nggak punya sopan santun!” balas Dias. Mulut Ziya menganga tidak percaya. Seorang dokter bisa bersikap sedingin ini padanya hanya karena membela perempuan gila seperti Rara. Kebencian semakin menyala di mata Ziya. Ia bersumpah akan membalas Rara dengan setimpal. Tak rela dirinya mendapat perlakuan berbeda dengan perempuan itu. Dari segi mana pun dia jauh lebih sempurna dari Rara. “Mau lo apa sih?” bentak Ziya. Menyesal sudah ia sempat tersenyum karena Dias mengikutinya beberapa saat yang lalu. Lebih baik dia tidak pernah bertemu Dias bila pada akhirnya hanya rasa sakit yang ia terima. Sudah disalah pahami, sekarang dibentak-bentak lagi. Ziya benar-benar sial hari ini. Maksud hati ingin menghibur diri, justru kembali dipertemukan pada lelaki yang selalu saja menghakimi. “Gue mau lo pulang sekarang juga karena dengan begitu tugas gue selesai!” jawab Dias dengan nada yang penuh perhitungan. Ia ingin Ziya tahu keseriusan dari setiap kata yang dirinya ucapkan. Dias benar-benar tidak ingin membuang waktunya seperti ini. Bersama Ziya membuat kepala Dias seakan pecah. Menjaga Ziya melebihi menjaga Rara dan pasiennya yang lain. Ziya betul-betul sulit untuk diatur. “Fine! Gue pulang sekarang juga biar lo puas.” Ziya memang mengatakan itu, tetapi ia tidak bermaksud benar-benar melakukannya. Ia belum menemukan tempat yang bisa dirinya kunjungi di kala suntuk seperti hari ini. Namun, tatapan mata Dias yang tegas membuat Ziya menyadari ia memang harus pulang. Dias pasti tidak akan berhenti mengganggunya bila ia tak juga pulang. Menghela napas berat, Ziya akhirnya mengatakan masalahnya. “Gue nggak tahu harus pulang lewat arah mana,” cicitnya. Sejak tadi juga itu yang menjadi masalah bagi Ziya. Sembari ia mencari tempat yang enak untuk dijadikan tongkrongan, dirinya pun berusaha untuk menemukan jalan pulang. Namun, alih-alih mendapatkan salah satunya, justru ia bertemu perempuan sok pintar yang berani menamparnya. Dan sekarang? Dirinya harus berhadapan dengan dokter Dias yang menyebalkan. “Tolong pimpin jalan,” pintanya. Dias terdiam sesaat. Seolah sedang menimbang sesuatu. “Masuk mobil gue,” putusnya. Membiarkan Ziya pulang dengan mobilnya sendiri adalah sesuatu yang salah bagi Dias. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ziya bisa saja kabur dari pandangan matanya lagi. “Terus mobil Papa gimana?” tanya Ziya heran. Ia paham Dias pasti takut dirinya melarikan diri. Memang, pemikiran itu sempat terlintas dalam benaknya, tetapi Ziya tidak akan melakukannya lagi. Ia sebaiknya pulang jika tak ingin terlalu lama berurusan dengan dokter Dias yang menyebalkan. Tanpa menjawab pertanyaan Ziya, Dias meraih ponselnya. Mencari nomor Pak Wira di sana, lalu mendialnya. “Halo Pak, aku sudah menemukan Ziya. Boleh minta Pak Pari untuk menjemput mobilnya? Biar Ziya aku yang antar,” ucapnya setelah Wira menjawab teleponnya. Ziya heran, saat ini Dias bisa berbicara dengan sangat lembut. Namun, ketika dengannya lelaki itu selalu saja ketus. Ziya menggeleng berkali-kali. Dias memang pilih kasih, pikirnya. “Ohh nggak ada apa-apa, Pak. Aku hanya ingin memastikan Ziya pulang sampai ke rumah,” ucap Dias saat Wira bertanya tentang keadaan putrinya. Setelah mendapat kesepakatan, Dias pun menutup teleponnya. Ia menatap Ziya yang juga tengah menatapnya. “Kenapa?” tanyanya ketus. Ziya mengembuskan napasnya dengan berat. “Lo berkepribadian ganda, ya?” sindirnya merujuk pada Dias yang sudah kembali pada sikap dinginnya. Berbeda seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya. “Pertanyaan itu seharusnya milik lo sendiri, Ziya.” Dias melambaikan tangannya. “Sudahlah.” Mata Dias menatap sekitar. Ia menemukan tempat yang bagus untuk memarkirkan mobil Ziya. “Masuk mobil gue sekarang juga!” perintahnya. Meskipun enggan, tetapi pada akhirnya Ziya menurut juga. Buru-buru Dias mengaktivkan central lock begitu Ziya duduk di bangku tepat di sebelah kemudi. Sementara itu, dirinya masuk ke mobil Ziya untuk memindahkan benda roda Empat itu ke tempat yang aman. Dias kembali menghubungi Wira untuk memberitahu di mana lokasi mobil Ziya berada. Setelah itu, Dias menyusul Ziya. Bibir maju, wajah ditekuk adalah pemandangan pertama yang Dias lihat saat ia baru saja masuk ke mobilnya. Dias merasa ingin tertawa, tetapi ia menahannya dengan sangat baik. “Ayo pulang!” ajaknya. Berada di dalam mobil bersama Ziya membuat Dias harus sabar menahan diri untuk tidak marah lagi. Seolah sengaja, Ziya tidak mengenakan safety belt hingga membuat Dias terpaksa memasangkannya terlebih dahulu. Kejadian ini sedikit membuat Ziya gugup. Ia terkejut ketika tiba-tiba saja Dias mencondongkan tubuh ke arahnya. Ziya pikir Dias ingin menciumnya hingga membuat wajahnya memerah dengan sempurna. Ziya sampai menutup matanya karena salah paham. Lalu ia kembali membukanya setelah mendengar bunyi klik dan bisikan yang berembus di atas wajahnya. “Jangan mimpi gue mau cium lo, Nona nggak waras!” Dengan cepat Ziya mendorong Dias. Selain malu, Ziya juga marah atas apa yang Dias katakan. Ia berpaling dari Dias. Enggan menatap langsung ke mata dokter paling menyebalkan itu. “Lag pula, siapa yang mau lo cium,” sangkalnya. Dias yang sudah kembali pada tempat duduknya hanya menarik salah satu sudut bibirnya saja. Pengalamannya terhadap wanita memang tidak banyak, tetapi ketika melihat mata Ziya terpejam erat saat ia dekati seperti tadi, Dias tahu otak gila Ziya sedang memikirkan adegan manis yang tidak mungkin terjadi dalam benaknya. Dias menggeleng lucu. Mana mau ia memberi kecupan untuk perempuan seperti Ziya.  . . To be continued.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD