***
Wira baru saja kembali dari rumah sakit sekitar pukul setengah Lima sore. Pria parubaya itu segera mencari putrinya setelah sampai ke rumah. Ada yang harus Wira tanyakan perihal laporan Dias tadi pagi. Putrinya mengacau, itu kesimpulan yang Wira temukan. Wira ingin bertanya secara langsung pada Ziya agar anak gadisnya itu tak melakukan hal konyol lagi.
“Ziya?” Wira memanggil nama Ziya sebab tak juga menemukannya di mana-mana. Wira mengerut heran, biasanya Ziya akan berada di kamar jam segini, tetapi anaknya itu tidak ada di dalam kamarnya.
Wira pun mencarinya di tempat lain, tetapi tak juga menemukannya. “Bibi?” panggilnya mencari asisten rumah tangganya.
Dengan tergopoh Minah, asisten rumah tangganya berlari menghampiri. “Iya tuan?” tanya wanita yang sudah sedikit lanjut usia itu.
“Ke mana Ziya?”
Bi Minah terlihat gelisah. Pasalnya, Nona muda yang baru dua hari ini berkeliaran di rumah tuannya itu pergi dengan mobilnya tanpa supir. “Anu tuan … Nona pergi tanpa Pak Pari,” terangnya.
“Tanpa Pak Pari? Kenapa bisa?” tanya Wira bertubi. “Panggil Pak Pari sekarang juga!” perintah Wira yang saat ini mencoba menahan emosinya. Ziya membawa mobil sendirian di Kota Jakarta, padahal ia baru saja kembali dari Singapura. Putrinya itu tidak bisa seenaknya. Bagaimana jika dia terluka?
Wira mengusap wajahnya dengan kasar. Segera ia menghubungi ponsel Ziya, tetapi tak diangkat sama sekali. Kepala Wira terasa berdenyut memikirkan anak gadisnya yang tidak juga dewasa. Wira beralih mendial nomor orang kepercayaanya.
“Halo Dias?”
“Iya, Pak. Ada apa?” Sahut Dias yang merupakan orang kepercayaan Wira. Satu-satunya yang bisa membantunya saat ini adalah Dias. Kebetulan jam kerja dokter muda itu pun sudah habis. Wira bisa memintanya untuk mencari Ziya dulu.
“Tolong saya,” ucap Wira. Ia tahu ini sedikit egois. Dirinya pun tahu, waktu Dias sudah terbagi untuk Rara, tetapi Wira tidak memiliki pilihan lain selain meminta Dias untuk membantunya.
“Ada apa, Pak?” Di tempatnya, Dias menatap lurus adik perempuannya yang sedang dijaga suster. Jujur, Dias bisa menebak ke mana arah pembicaraan Wira. Sejak Arziya Windira kembali ke Jakarta, tak jarang yang menjadi bahasan mereka adalah perempuan itu.
Dias enggan sebenarnya, ia terpaksa, tetapi sekali lagi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Dias tak memiliki kuasa untuk menolak permintaan Wira.
“Tolong cari Ziya. Dia pergi tanpa supirnya.”
Jawaban atasannya itu membuat Dias memejamkan matanya. Dias heran kenapa Ziya ini nekat sekali? Kenapa Ziya tidak memikirkan perasaan Wira yang pasti mengkhawatirkannya? Kenapa Ziya tidak bisa berhenti merepotkannya?
“Baik, Pak. Mobil mana yang dia bawa?” tanya Dias. Meskipun ia sendiri tidak tahu harus mencari Ziya ke mana, tetapi setidaknya dia sudah berusaha. Selebihnya biarkan Wira yang menilainya.
“Warna hitam yang biasa di stir Pak Pari,” jawab Wira.
Dias mengangguk singkat. Ia ingat mobil itu. Dirinya sering datang ke rumah Wira di kala senggang, sehingga hafal semua mobil yang Wira miliki. “Aku pergi dulu, Pak,” pamitnya.
Setelah mendengar Dias berpamitan, Wira segera mengakhiri panggilannya. Wira menghela napasnya dengan berat. Ia tidak tahu kenapa, tetapi perasaannya tidak enak. “Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Ziya?” tanyanya pada diri sendiri.
Wira kembali menghubungi Ziya, tetapi kini justru operator yang menjawabnya. Wira gelisah. Ia berusaha untuk mengontrol perasaannya.
“Tuan,” panggil Pak Pari setelah berlari tergopoh menghampiri panggilan majikannya.
Wira mengalihkan perhatiannya pada Pari, supir yang ia tunjuk untuk menjaga Ziya. “Kenapa kamu biarkan Ziya membawa mobilnya sendiri?” tanyanya dengan ekspresi wajah yang kecewa.
Pari tampak serba salah. Pasalnya, Nona mudanya itu memaksa untuk membawa mobil sendirian. Jika tidak, maka Pari akan dipecat. Memikirkan menjadi pengangguran membuat Pari menyerahkan kunci mobil yang sudah sejak lama Pak Wira percayakan padanya itu.
“Maafkan saya, Tuan. Nona mengancam akan memecat saya, Tuan,” ucap Pari sembari menundukan kepalanya. Ia tahu dirinya bersalah karena telah membiarkan Ziya memanfaatkan kelemahannya. Padahal Pari tahu betul yang berhak memecatnya hanya Pak Wira. Namun, tetap saja ancaman Nona mudanya menakutinya.
Mendengar penjelasan Pari, Wira menghela napasnya. Pari tidak salah, Ziya memang tak pernah memikirkan perasaan orang lain. Jangankan memikirkan perasaan Pari, memikirkan perasaan Rara yang merupakan seorang pasien saja Rara tidak bisa. Bagi anak gadisnya itu semua orang sama. Hanya dia yang berhak mendapatkan perhatian lebih.
Wira menggeleng sedih. Ia tidak tahu di mana putrinya sekarang berada. Wira juga tidak tahu bagaimana cara menemukannya. “Kalian berdo’a saja semoga Ziya tidak kenapa-napa,” ucapnya sembari melambaikan tangan, meminta keduanya pergi.
“Sepertinya lebih baik membiarkan kamu berkeliaran di rumah sakit, Zi, daripada berkeliaran di luar seperti ini.” Wira sudah memutuskan, ia tidak akan mempermasalahkan kelakuan Ziya di rumah sakit bila anaknya itu kembali dalam keadaan selamat. Lebih baik memantau Ziya dari dekat, daripada tidak tahu kemana Ziya pergi seperti ini.
Wira tidak akan merasakan kekhawatiran yang berlebihan andai Ziya sudah hafal seperti apa jalanan Jakarta. Wira juga tidak akan mempermasalahkan ke mana Ziya pergi andai anak gadisnya itu memiliki sifat yang bisa diandalkan. Dalam pertemuan yang singkat ini saja Wira sudah tahu bagaimana watak Ziya. Sifat tak ingin mengalah yang Ziya miliki benar-benar akan memberi putrinya itu masalah. Wira hanya bisa pasrah dan mempercayakan pencarian Ziya kepada Dias.
Sementara itu, yang bisa Wira lakukan adalah menunggu. Wira akan memastikan Dias mendapatkan sesuatu yang sama besarnya atas usahanya mencari Ziya hari ini. Terlebih ketika nanti Dias menemukan keberadaan putrinya.
***
Dias memutar kemudinya. Beberapa tempat yang biasa menjadi tujuan anak muda menghabiskan waktunya sudah Dias datangi. Pekerjaan mencari Ziya lebih melelahkan daripada menjaga pasiennya. Ziya benar-benar tidak punya otak sepertinya, kenapa dia tidak menghubungi Pak Wira atau mengangkat panggilan teleponnya? Apa Ziya benar-benar ingin menghilang?
Dias menghela napasnya dengan berat. Jika sampai ia berhasil menemukan Ziya di antara banyaknya jiwa di Kota Jakarta ini, maka takdir benar-benar berpihak padanya. Tuhan menyayanginya bila sampai ia berhasil menemukan Ziya.
“Mustahil.” Senyum sinis muncul di wajah dokter ganteng itu. Tidak mungkin dirinya bisa menemukan Ziya. Memangnya ia tahu ke mana perempuan yang melebihi pasiennya itu berada? Dias hanya menjalankan perintah Wira untuk menemukan Ziya. Dia tidak memiliki tujuan yang pasti, dirinya hanya menebak beberapa tempat saja.
Namun, beberapa saat setelah ia memikirkan itu, matanya mengenali mobil hitam yang sedang terparkir sembarangan di pinggir jalan. Seharusnya, Dias sadar, Tuhan selalu memiliki andil dalam setiap langkah yang ia buat.
Dias menemukan Ziya yang sedang terlihat berdebat dengan seseorang. Dias menggeleng tidak percaya. Putri seorang Windira Jaya memiliki emosi yang meledak-ledak seperti ini. Entah apa yang membuat Ziya mengeluarkan semua sumpah serapahnya pada perempuan di depannya. Dias pun menghentikan mobilnya di tempat yang ia rasa aman. Lalu turun untuk menghampiri gadis yang sebenarnya berparas cantik itu.
“Dasar nggak punya otak!” bentak Ziya yang dapat didengar oleh Dias. Perempuan yang sedang menghadapi Ziya tampak tidak terima. Dengan cepat tangan perempuan itu melayang ke pipi Ziya, dan segera dibalas oleh Ziya.
Tidak hanya sekali, Ziya berniat melakukannya Dua kali. “Ziya!” bentak Dias menghentikan perbuatan Ziya. Dias menghalangi tangan Ziya, ia mengempaskannya kemudian.
“Dokter Dias?” Ziya menyebut nama Dias. Matanya tampak kecewa karena perlakuan Dias kepadanya.
Dias tidak peduli pada tatapan mata Ziya. Ia mengalihkan perhatiannya pada perempuan di depannya. “Mbak nggak apa-apa?” tanyanya. Dias tahu betul yang bersalah di sini adalah Ziya, mengingat betapa buruknya tabiatnya.
“Saya minta maaf atas nama dia.” Dias mewakili Ziya.
“Dias kamu …”
Dias menghentikan ucapan Ziya dengan mengangkat tangannya. Dias melarikan matanya untuk mencari permasalahan yang sebenarnya. Jantungnya terkesiap karena ia menemukan alasan kenapa Ziya marah-marah. Posisi mobil Ziya dan mobil perempuan di depannya ini tampak bermasalah. Dias enggan mengakui bahwa Ziya tidak bersalah. Dias melirik Ziya yang juga sedang menatapnya.
Ziya mengangguk agar Dias sadar bahwa memang benar dirinya tidak bersalah. Tanpa mengatakan apapun lagi, Ziya berlari pergi. Masuk ke dalam mobilnya sendiri. Menekan klakson agar pemilik mobil dan Dias menyingkir dari hadapannya.
“Ziya … Ziya tunggu!” teriak Dias memanggil Ziya yang telah melaju pergi meninggalkannya.
Tck. Dias tak bisa kehilangan perempuan itu lagi. Buru-buru Dias mengejarnya. Namun, sebelum itu ia berbicara sejenak pada perempuan yang memiliki masalah sebenarnya. “Lain kali jangan sembarangan menyalahkan orang lain. Belajar nyetir dulu agar tidak merugikan pengendara lain.” Peringatnya dengan dingin. Ada pembelaan untuk Ziya di setiap kata yang Dias ucapkan. Andai Ziya mendengarnya, Ziya pasti kegirangan dan sedikit bangga. Namun, sekarang Ziya terlanjur salah paham.
.
.
To be continued.
Terima kasih yang sudah baca dan bersedia tap LOVE :-) Cerita ini akan aku update setiap hari ya...