***
Wajah Ziya berubah manis dalam waktu Tiga Puluh detik. Gadis itu maju selangkah ke depan Dias. Merangkul lengan Dias tanpa tahu malu. "Dokter Dias...." katanya sengaja menggantung ucapannya.
"Jangan bilang Papa ya kejadian hari ini." Sengaja mata gadis itu mengerjap lucu demi membuat dokter Dias luluh padanya.
Sayang, Dias Pratama tak semudah itu untuk diluluhkan. Ziya memerlukan waktu cukup lama untuk merayu. Mungkin seumur hidupnya. "Dok!" ujar Ziya karena tak juga mendapatkan respon dari Dias. Dokter ganteng itu hanya menatap Ziya dengan tajam. "Lepaskan saya!" balasnya.
Astaga! Ziya ingin sekali mengganti rangkulannya dengan cubitan andai otaknya benar-benar sudah tidak waras. "Jangan gitu dokter, bantu aku ya dok?" Kembali matanya mengerjap lucu. Ziya juga tak melepaskan rangkulannya, justru semakin mengeratkannya. Selain itu, panggilan aku pun sudah tersemat manis dalam kalimat permohonannya.
"Aku janji bakalan langsung pulang, Dok! Nggak akan ngulangin lagi," ucapnya. Tentu saja semua itu penuh kebohongan.
Dias tidak mudah percaya. Dirinya memang belum mengenal Ziya dengan baik dan tidak berniat untuk mengenalnya lebih dari ini. Namun, Dias yakin seratus persen Ziya bukan gadis yang mudah untuk dipercayai.
Dengan tegas Dias menghempaskan rangkulan tangan Ziya yang mengerat di tangannya. "Ikut aku!" Lalu berganti telapak tangan Dias yang melingkari pergelangan tangan Ziya.
Tak urung perlakuan yang tidak ada manis-manisnya itu membuat Arziya memutar matanya di belakang punggung Dias. “Mau ke mana sih?” gerutunya yang jelas terdnegar oleh telinga Dias. Dokter muda yang selalu saja mendapat pujian sana sini itu membawa Ziya ke ruangannya. "Diam di sini! Jangan ke mana-mana." Perintahnya mutlak, tak bisa dinganggu gugat meski Ziya ingin sekali memberontak.
"Tapi dok...."
"Diam!" Ziya tak berkutik. Menaklukan hati dokter Dias sama saja dengan mengahncurkan batu. Butuh waktu dan proses yang lama. "Sial! Sial! Kenapa juga dokter Dias Pratama harus muncul di depan gue?" kesalnya setelah Dias meninggalkannya sendirian di dalam ruangan yang terkunci.
Demi apa Ziya benci sekali pada Dias. "Ganteng kok nyebelin!" ujarnya. “Coba aja ramah, baik dan nyenengin hati ini, pasti tuh dokter jadi salah satu dokter ganteng incaran gue,”
Tidak ada yang bisa Ziya lakukan selain mengunci mulutnya, karena percuma saja dirinya banyak bicara, dokter Dias juga tak lagi mendengarnya.
Lama Ziya terdiam di ruangan tanpa penghuni selain dirinya sendiri itu. Ziya mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang mungkin bisa membunuh kebosanannya. "Ponsel dan tas gue ada di ruang ganti, gue benar-benar kayak orang hilang di sini," gerutunya. Ziya menyesal karena harus terkurung di ruangan dokter Dias yang membosankan. Tidak ada sesuatu yang bisa membuatnya terhibur. "Dasar kaku!" Lagi-lagi gadis itu menghujat Dias.
"Gue beneran bosan!" Ziya berlari ke arah pintu yang terkunci. Mencoba menarik engselnya agar terbuka. Menghela napas berat, Ziya menyerah. Ia terduduk di lantai yang dingin sambil menatap lesu daun pintu. "Kapan terbukanya?" dokter Dias benar-benar membuat seorang Ziya menderita. Ini baru pertemuan kedua mereka, tapi kekesalan Ziya sudah mencapai ke ubun-ubun.
Bahu Ziya yang lemas terangkat saat mendengar suara engsel yang diputar. Disusul pintu yang terbuka lebar. "Kamu ngapain di lantai?" pertanyaan pun terdengar. Suara itu milik dokter Dias Pratama, pelaku yang mengurung Ziya di tempat ini.
Buru-buru Ziya berdiri. Sebisa mungkin gadis muda itu menghalangi emosi yang membara. "Akhirnya dokter Dias datang juga," cengiran ciri khas miliknya menjadi pelengkap kecantikan wajahnya. Membuat dokter Dias sedikit berpaling. Terganggu pada senyum manis yang pertama kali dirinya lihat itu.
"Aku diizinin pulang ya, Dok? Aku janji nggak akan nyusahin dokter Dias lagi," tentu saja Ziya belum puas hingga rayuannya termakan juga.
Jika tadi Ziya bergelayut di lengan Dias, kini ia berada tepat di depan Dias. Mendongakan kepala hingga jarak mereka tinggal sejengkal saja. "Jangan bilang Papa, ya dok," pintanya.
Sekali lagi Dias berpaling. Membuang wajah ke arah lain selain pada Arziya Windira. "Terserah! Ini pakaian dan tas kamu. Silakan ganti," katanya. Ziya ingin protes, tapi dirinya takut Dias curiga dan mengurungnya lagi di sini. "Baik." Hanya persetujuan yang sanggup ia ucapkan.
Ziya melepas baju pasien rsj, menggantinya dengan pakaiannya sendiri. Celana pendek, baju atasan dengan lengan yang hanya sebatas bahu itu melekat sempurna pada tubuhnya yang ramping. Tidak ketat, tapi masih tampak seksi di mata Dias kala ia kembali masuk ke ruangannya setelah tadi sempat keluar selama Ziya berganti pakaian.
Mengabaikan pemandangan di depan matanya, Dias mengulurkan tangan. "Mana baju pasiennya?" tanya Dias membuat Ziya mengembungkan mulutnya. Padahal dirinya sengaja menyembunyikan pakaian itu ke belakang tubuhnya agar besok ia bisa datang lagi tanpa perlu repot mencuri pakaian pasien.
Terpaksa Ziya memberikan baju itu. "Ambilah," katanya. Dias tersenyum sinis. Ziya boleh saja berpikir Dias telah terpedaya karena rayuannya, tapi sesungguhnya dia mengizinkan Ziya pulang hanya karena ia sibuk sampai sore nanti.
Tak ada waktu bagi Dias untuk mengurus Ziya. "Pergi kamu! Awas kalau balik lagi dan pura-pura gila di sini!" Ada ancaman tersirat dalam setiap kata yang dokter Dias ucapkan. Namun, Ziya tidak takut. Dirinya tidak akan pernah menyerah sampai bisa masuk ke ranah Mas dokter ganteng. Mulai sekarang, mengelabui dokter Dias Pratama sudah menjadi daftar pekerjaannya.
“Loh Mbak cantik mau ke mana?” Pertanyaan yang terdengar secara tiba-tiba itu membuat Ziya menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya yang tampak cemberut pun berganti menjadi senyum manis yang dapat dipastikan sanggup memikat dokter ganteng di depannya itu.
Ziya membaca papan nama yang tersemat pada jubbah kebanggan para dokter itu. “Hai dokter Rio,” sapanya tanpa menjawab pertanyaan dokter Rio.
Ziya merasa hari ini dirinya tak terlalu sial karena tanpa sengaja bertemu dengan dokter Rio. Salah satu dokter ganteng incarannya. Ziya pikir tak ada salahnya mulai mencari perhatian dari koter Rio.
Dokter Rio mengangguk singkat. Dirinya yang memang mengagumi kecantikan Ziya merasa bahagia mendengar keramahannya. “Ngomong-ngomong kamu belum jawab pertanyaanku. Mau ke mana?” tanyanya.
Dengan senang hati Ziya akan menjawabnya. Namun, belum juga Ziya membuka mulutnya, matanya sudah lebih dulu menangkap bayangan Dias yang sedang sibuk bersama gadis sinting yang kemarin menabraknya. Dias terlihat sangat lembut dan perhatian terhadap gadis itu. Terang saja membuat Ziya semakin membencinya. “Aku harus pulang. Sampai ketemu lagi dokter ganteng,” ucapnya.
Mood Ziya tiba-tiba saja menjadi lebih buruk dari yang terakhir kali. Ia tidak suka melihat dokter Dias bersikap lunak pada gadis gila yang menabraknya. Pada rayuan mautnya saja Dias tak juga luluh, tetapi hanya dengan rengekan sok manja dari gadis itu sudah membuat Dias selalu memperhatikannya. “Awas saja! Gue bakal bikin perhitungan sama lo, cewek sinting! Tunggu sampai gue bisa masuk ke tempat ini tanpa diketahui dokter nyebelin itu.” Ziya meninggalkan rumah sakit jiwa dalam keadaan hati yang kesal luar biasa.
.
.
To be continued.
Haiiii guys... Mulai sekarang Ziya akan update setiap hari yahhhh. Jangan lupa tap LOVE :-)