EMPAT

2163 Words
Manado sedang memberikan cuaca terbaiknya di siang itu ketika Ellena tergopoh-gopoh menaiki anak tangga menuju ke lantai dua demi menemui Carissa. "I don't believe my eyes," ujar Ellena saat ia telah berada di ruangan Carissa. Sebuah kertas A0 terpasang pada meja gambar. Carissa sedang berkonsentrasi menggoreskan pensil mekanik 0,5 mm di atas kertas putih itu ketika sahabatnya tiba-tiba muncul. "Ada apa, Lena?" "Kamu tidak akan percaya ini!" "Ada apa sih? Bos kasih kenaikan gaji ya?" "Impossible." "Lalu?" "Gemma Zaydan Maramis. Pemuda yang kamu todongkan pistol air di wajahnya sedang duduk di ruang tunggu lantai satu." "Hah?!" "Ternyata langkahmu membeli pistol air dan menerobos kantornya itu tepat, Darling. Aku tidak percaya cara konyol itu berhasil mendatangkannya kemari." "Aku juga tidak percaya." Carissa meletakkan pensil mekanik dan mistar di atas meja. "Mau apa dia ke sini?" Ellena mengedikkan bahu, "But he is really hot. Jauh lebih cakep dari pada fotonya di facebook." "I know." Carissa beranjak dan turun ke lantai satu untuk menemuinya. Carissa tidak langsung masuk ke ruang tunggu. Ruangan itu biasanya digunakan untuk menjamu klien perusahaan atau tempat menandatangani kesepakatan kerjasama. Terdapat sebuah sofa minimalis di sana. Dindingnya dipenuhi dengan berbagai foto berpigura yang kebanyakan menampilkan foto model rumah yang didesain oleh perusahaan ini, foto interior yang apik, foto penghargaan yang pernah diterima dan beberapa foto karyawan bersama klien. Ada foto Carissa berpose bersama seorang client di depan sebuah rumah yang didesain olehnya. Gemma sedang memperhatikan foto itu. "Mau apa kau kemari?" "Hai. Ini benar kau yang mendesain?" Gemma tidak menjawab dan justru melemparkan pertanyaan sambil menunjuk foto Carissa. Sebuah rumah putih minimalis dengan banyak kaca ada di belakang Carissa pada foto itu. "Aku tanya mau apa kau kemari?" Carissa tidak menggubris pertanyaan Gemma. Gemma mengalihkan pandangannya dari foto ke wajah Carissa. Gemma memakai setelan kantor berupa kemeja hitam dan celana bahan berwarna khaki. Ada sesuatu yang mengusik Carissa dan itu ternyata karena Gemma memakai kacamata. Benda itu membuatnya terlihat semakin tampan. "Jadi, kau boleh menerobos ruang meeting di kantorku sementara aku tidak boleh datang ke kantormu? Yang benar saja!" Seru Gemma. Ekspresi wajahnya begitu dingin. Carissa tidak pernah melihatnya tersenyum bahkan dalam foto-foto di f*******:. Apakah makhluk ini diciptakan tanpa ekspresi? Mungkin ia tidak kebagian urat tertawa waktu Tuhan menciptakannya. "Tau darimana kantorku di sini?" "Cara yang sama yang kau gunakan untuk melacak kantorku." Carissa menghembuskan napas dengan keras karena menyadari setiap pertanyaan yang ia lontarkan dikembalikan kepadanya. Carissa memilih menghempaskan dirinya di sofa dan mempersilakan Gemma duduk. "Jadi, ada yang bisa dibantu Bapak Gemma Zaydan Maramis?" Gemma duduk di sofa yang bersebrangan dengan Carissa, "Aku kemari untuk mengajakmu pergi." "Wow! Mengajak calon istrimu ini kencan pertama?" Carissa tersenyum mengejek, "Aku sudah makan siang dan tidak berencana untuk kemana pun denganmu." "Mungkin kau akan pergi denganku kalau aku bilang aku berencana ke panti asuhan Assalam untuk membawakan sumbangan dari kantor." Carissa benar-benar terkejut dengan kalimat Gemma. Tahu dari mana dia soal panti asuhan Assalam? "Kau membuntutiku?" Carissa tidak percaya dengan kemungkinan itu. "Aku kan harus tau gadis seperti apa yang minta aku menikahinya," balas Gemma, "Jadi kau mau ikut atau tidak?" "Aku ikut." Carissa menjawab cepat. "Oke, bersiaplah. Aku tunggu di mobil." Gemma beranjak dan keluar dari kantor Carissa yang berupa ruko empat lantai. Carissa tidak menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan Ellena saat ia ke lantai dua untuk mengambil ponsel dan dompet. Ia segera keluar dari kantor menyusul Gemma. "Kamu berutang banyak cerita padaku, Ris!" Ellena berteriak dari lantai dua. "Silakan masuk." Gemma membukakan pintu mobilnya. "Buatlah dirimu senyaman mungkin." "Terimakasih," sahut Carissa. Ia benar-benar tidak percaya saat ini sedang berada di dalam mobil dengan Gemma duduk di kursi kemudi. Ia sama sekali tidak nyaman. "Aku tidak tau kau pakai kacamata." "Oh, ini," Gemma melepaskan kacamatanya. "Hanya kadang-kadang saja kalau kepalaku sakit. Pakai sabuk pengamanmu!" Carissa menuruti perkataan Gemma. Apa maksudnya kalau kepalanya sakit? Apakah menemui Carissa membuatnya sakit kepala? Mobil Gemma menelusuri kawasan Mega Smart yang terletak di sepanjang Pantai Boulevard. Kawasan Mega Smart bersebelahan dengan Mega Mas, salah satu pusat perbelanjaan dan hiburan di kota Manado. Bedanya, Mega Smart dipenuhi oleh perkantoran. "Jadi, kau benar-benar cucu dari Bapak Roni Kalalo?" Gemma membuka percakapan. "Kau memilih untuk tidak percaya kan?" "Aku hanya tidak percaya Bapak Roni Kalalo menuliskan sebuah surat wasiat yang ada namaku di dalamnya. Aku tidak tau dia mengenalku darimana. Soal warisan, itu seperti menemukan harta karun di pulau tak berpenghuni, tapi soal menikahimu, itu seperti malapetaka." "Oh, thank you so much!" Carissa kesal, "Aku juga berharap Opa menuliskan nama orang lain dan bukan kau di sana!" Gemma tersenyum sinis. Carissa terkejut mendapati segaris senyuman di wajah pemuda itu meskipun hanya sebuah senyum sinis yang mengintimidasi, "Harusnya kau bersyukur namaku yang ada di sana. Opamu tau bagaimana memilih menantu idaman." Sialan! Pemuda ini tampan dan dia menyadari bahwa dirinya tampan. Kombinasi sempurna untuk menciptakan keangkuhan. Setelah pembicaraan itu hanya keheningan yang memenuhi udara dalam mobil dan tanpa terasa mereka telah sampai di Panti Asuhan Assalam. "Nona Carissa." Seorang Ibu berjilbab yang kali lalu menyapa Gemma menghampir mereka, "Wah, Bapak Gemma kan?" Gemma tersenyum mengetahui dirinya masih diingat. Carissa melihat senyuman Gemma untuk yang kedua kalinya hari ini. Dan yang terakhir menciptakan desiran kecil di dadanya. "Bu Nurma." Carissa menghampiri dan mencium tangan wanita yang disapa Ibu Nurma itu. Gemma memperhatikan. "Saya datang ke sini membawa sumbangan dari kantor. Seperti yang pernah saya janjikan waktu itu," ujar Gemma. Ia membuka bagasi mobil dan menurunkan tiga buah dus tanggung dari sana. "Ini isinya bahan makanan dan s**u bayi." "Terimakasih banyak Bapak Gemma," ujar Nurma. "Semoga kantor Pak Gemma makin maju." "Amin." Gemma menyahut. "Ada juga sedikit uang tunai di dalamnya." "Terimakasih. Mari saya antar untuk melihat anak-anak." Nurma mengajak mereka memasuki gedung panti asuhan. "Yang paling besar umur berapa?" tanya Gemma. Mereka sedang berada di salah satu kamar tidur yang memiliki empat ranjang bertingkat. Satu kamar tidur dihuni oleh delapan orang anak. "Umur tujuh belas." Gemma terkejut karena Carissa yang menjawab. "Sekarang sepi karena sedang jam sekolah. Di sini semua anak disekolahkan hingga SMA. Setelah lulus mereka biasanya ada yang mencari kerja sendiri atau bantu-bantu panti. Ya, kan Bu?" "Iya. Nona Carissa yang paling tau tentang panti ini." Mereka beranjak dari ruangan dan berpindah ke ruangan lain.  "Ini ruangan untuk anak-anak balita. Ada satu pedamping di setiap ruangan." Carissa menjelaskan. Gemma melemparkan pandangannya menelusuri tiap sudut ruangan. Ada lima ranjang kecil tidak bertingkat dan satu ranjang kayu berukuran single. Satu kamar ditempati oleh lima balita dan satu orang penjaga. "Kak Ica!" Seorang anak laki-laki yang ditaksir Gemma berusia sekitar tiga tahun antusias ketika mendapati Carissa memasuki kamarnya. "Halo, Arif." Carissa memeluk dan menggendonya. "Arif lagi apa?" "Aduh, Nona Carissa. Arifnya lagi pup itu. Mau saya ganti pampersnya. Pampersnya ful. Jangan digendong. Nanti baju Nona Carissa kotor." Seorang perempuan berkerudung menghampiri Carissa sambil membawa diaper. "Tidak apa-apa Mbak Ita. Nanti kalau baju Kak Ica kotor bisa ganti lagi. Ya, kan Rif." Carissa menelusupkan kepalanya di d**a kecil Arif dan anak itu tertawa terbaha-bahak memperlihatkan giginya yang ompong. "Eh, ayo kasih salam. Ini Om Gemma." Gemma terkejut ketika ada tangan kecil yang menggapainya. Ia buru-buru menyalami tangan kecil Arif. Anak itu meletakkan tangan Gemma di keningnya. Ia meraih kepala Arif dan menciumnya lama. "Gem, ini Mbak Ita. Yang jaga kamar ini. Total kamar balita ada sekitar lima ya, Bu Nurma." Ibu Nurma mengangguk. Carissa menyerahkan Arif ke gendongan Ita. "Ayo Arif ganti pampers dulu baru main lagi. Yang lain lagi bobo siang ya, Mbak?" "Iya, Nona." Ita meraih Arif dan beranjak menuju kamar mandi.  "Baju Nona Carissa jadi kotor." Nurma memperhatikan noda yang ditinggalkan Arif di blus Carissa. "Nanti saya ganti baju di kantor. Saya selalu bawa baju cadangan, Bu." Carissa tersenyum. "Ayo Gem, kita ke kamar bayi." Gemma mengikuti langkah Carissa dan Nurma. Carissa menggamit lengan Bu Nurma dan seperti enggan melepaskannya. Terlihat seperti seorang anak yang menggamit lengan ibunya. Gemma dihantam oleh sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Panti asuhan, anak-anak yatim piatu, Carissa. Semuanya adalah hal baru bagi Gemma. Dan herannya Gemma rasanya ingin berlama-lama berada di sini. Kali ini mereka sedang berdiri di tengah-tengah ruangan. Ada setidaknya sepuluh boks bayi di sana. Beberapa bayi sedang tidur, yang lainnya sedang diberi s**u oleh beberapa wanita. "Setiap pengasuh menjaga dua orang bayi." Carissa menjelaskan. "Ada yang baru masuk kemarin, Nona," ujar Nurma. Ia menghampiri salah satu boks bayi, "Kata dokter baru umur dua hari. didapat sama warga di tempat sampah di daerah Tuminting. Di kantor polisi sehari tapi tidak ada yang datang mencari, makanya dibawa ke sini. Polisi tetap mencari siapa yang buang." Carissa telah berada di sisi lain box bayi itu dan memperhatikan bayi itu sedang terlelap. "Perempuan ya, Bu?" "Iya." "Kita kasih nama Aisya?" "Nama yang bagus." Carissa meneyentuh tangan mungil bayi itu. Ada perasaan yang tidak bisa dia jelaskan setiap kali menerima laporan dari Nurma anggota panti asuhannya bertambah satu. Carissa merasa senasib dengan anak-anak yang dibawa kemari karena ditinggal mati atau merantau oleh orang tua mereka, tapi Carissa tidak pernah habis pikir dengan anak-anak yang dibuang oleh orang tua mereka. Air mata Carissa menetes. "Nona Carissa, saya tinggal sebentar ya. Sepertinya ada tamu yang datang membawakan sumbangan. "Nurma beranjak tanpa menunggu persetujuan Carissa. Gemma menghampiri Carissa dan merangkul pundaknya. Ia tidak tahu kenapa ia melakukan itu, tapi hal itu terasa benar. "Tumbuh dewasa tidak membuat luka di hati anak-anak yatim piatu ini sembuh," ujar Carissa. Tangannya masih menggenggam jemari mungil bayi Aisya. "Yang bisa menyembuhkan hanya kehadiran orang tua. Sayangnya, sebagian besar dari kami tidak akan pernah bisa sembuh." Gemma terkejut karena Carissa menggunakan kata 'kami' alih-alih 'mereka'. Apakah Carissa sedang mencoba menceritakan kesedihannya juga? Sementara air mata Carissa semakin deras membanjiri pipinya. "Sori Gem, aku...."Carissa mencoba menjelaskan namun Gemma tidak butuh penjelasan. Dia telah menyandarkan kepala Carissa di dadanya. Menenangkannya. "Ayo, aku antar kau kembali ke kantor. Kita bisa kemari lagi nanti." Gemma berbisik dan disambut dengan anggukan oleh Carissa. Gemma membukakan pintu mobil bagi Carissa setelah mereka pamit pulang kepada Nurma. "Kau menginginkan harta warisan untuk menghidupi panti asuhan ini?" tanya Gemma sambil mengendarai mobilnya menuju kantor Carissa. Carissa terkejut mendapati Gemma mengetahui isi pikirannya, "Sebagian besar dana untuk membiayai panti asuhan ini berasal dari hasil usaha Opa. Kalau usaha dan kekayaannya diserahkan ke badan amal, aku khawatir terhadap keberlangsungan panti ini. Gajiku hanya cukup untuk membiayai hidupku saja." Sisa dari perjalanan itu mereka habiskan dalam kesunyian. "Aku akan menjemputmu untuk makan malam di rumahku lusa," ujar Gemma ketika mereka tiba di depan kantor Carissa. "Makan malam?" Carissa tidak mengerti. "Aku harus memperkenalkan gadis yang akan kunikahi kepada keluargaku, kan?" Gemma menjawab datar. "Turunlah! Aku harus segera kembali ke kantor." Badai El Nina seolah menghantam hati Carissa saat Gemma mengatakan hal itu. Carissa menginginkan pernikahan ini murni untuk menjamin keberlangsungan panti asuhan, namun kenapa sekarang dadanya penuh debaran yang tidak dimengertinya?   ***   "Omong kosong apa yang sedang kamu bicarakan ini, Ris?" Abian meletakkan gelas kertas berisi kopi dari salah satu restoran cepat saji di kawasan Mega Mas. Malam masih muda saat dia datang memenuhi ajakan Carissa. Bunyi deburan ombak yang diempaskan dari Samudra Pasifik terdengar penuh harmoni saat memecah pada batu di pinggiran kawasan hasil reklamasi. "Isi surat wasiatnya seperti itu, Abi. Mengertilah." Carissa menggigit dengan enggan kentang goreng dari piringnya. "Aku akan menikahimu meski pun kamu tidak mendapatkan sepeser pun dari warisan Opa. Jadi kamu tidak perlu menikahi laki-laki yang bahkan kamu tidak kenal, Sayang." "Itulah masalahnya. Opa tidak merestui kita. Kamu masih ingat kan waktu aku bawa kamu ke rumah?" "Opa hanya belum kenal aku!" Abian menyela. "Oke, jadi mau kita kemanakan setahun hubungan ini? Kamu tidak mencintaiku lagi?" "Tentu saja masih." Carissa jujur dengan perkataannya. Tidak sulit mencintai Abian. Humoris, good looking, ramah. Ada perasaan hangat tiap kali Carissa bersamanya. "Tapi ini bukan tentang aku mendapatkan warisan Opa. Ini tentang bagaimana panti asuhan itu tetap berjalan sepeninggalan Opa. Gajiku tidak cukup membiayai kebutuhan anak panti. Gajimu tidak juga kan?" Abian memegang kepalanya dengan kedua tangan. Ia sangat mencintai Carissa namun ia juga tahu bahwa panti asuhan itu adalah segalanya bagi gadis tersebut. "Andaikan nyawa bisa kuberikan padamu agar panti asuhanmu tetap terjamin." Carissa meraih jemari Abian dan menggenggamnya, "Don't say that. Jangan buat ini tambah rumit." "Bagaimana dengan kita kalau kamu harus menikahi pemuda bernama Gemma itu?" "Hanya enam bulan, Abi. Ini akan segera berakhir tanpa kamu menyadarinya." "Tidak ada yang tau apa yang terjadi dalam enam bulan itu kan?" "Tidak ada yang akan terjadi." "Kamu akan menikahiku setelah bercerai dari dia?" Carissa tertawa mendengar pertanyaan Abian, "Ya, tentu saja. Itu juga kalau kamu bersedia menerima perempuan berstatus janda." "Janda cantik. Why not?" balas Abian. Carissa kembali tertawa. Semudah itu masalah rumit bisa terselesaikan dengan Abian. Itulah yang membuat Carissa sangat nyaman berada di dekatnya. "Saat telah menikah nanti apakah aku tetap bisa menemuimu?" tanya Abian. Angin pantai memainkan rambutnya yang sedikit bergelombang. "Tentu saja." "Aku tidak yakin suamimu nanti akan mengizinkan." "Aku tidak peduli tentang dia." "I love you, Ris." "I love you more." []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD