Gibran mengerang pelan, tangannya bergerak tidak teratur. Mencari letak ponsel yang ia lupa menaruhnya dimana semalam.
Seiring dengan dering ponsel yang semakin berbunyi keras, Gibran gagal menemukan ponselnya tanpa mengubah posisinya yang masih berbaring.
Dia menyerah, merutuki siapapun yang begitu gigih menghubunginya berkali-kali. Tubuhnya ia paksa bangkit dari rebahan yang luar biasa nyaman, dan kemudian menemukan ponselnya yang justru terletak jauh di atas meja kopi yang ada di dalam kamarnya.
Gibran mendesah berat, menyibak selimut yang menutupi tubuh telanjang dadanya dan berjalan gontai. Kemudian mendengus saat berhasil melihat siapa orang yang sudah mengganggu waktu pagi harinya yang berharga.
"Kenapa? Lo janji buat engga ganggu gue di akhir pekan," sergah Gibran langsung.
Tangannya mengusak rambutnya yang berantakan dan membuatnya menjadi semakin berantakan.
"Iya gue udah janji soal itu, tapi gue cuma mau ngingetin nanti malam acara gathering-nya. Jadi jangan sampai lupa," ujar Tian di seberang sana.
Mata Gibran yang tadi masih setengah terbuka, kini benar-benar terbuka lebar. Ia mendengus lebih keras dan siap mengumpati Tian dengan segala jenis ucapan kasar saat dengan tidak tahu dirinya, asistennya itu memutus sambungan.
Tangan Gibran terangkat tinggi, sudah hendak melempar ponsel miliknya saat tiba-tiba teringat jika ponsel yang saat ini digunakannya adalah ponsel yang dua hari lalu ia beli, karena ponsel yang sebelumnya hancur karena terlindas truk besar ketika Gibran mengunjungi salah satu cafe di waktu istirahatnya.
Maka yang ia lakukan selanjutnya hanyalah menarik nafas pelan, kemudian berbalik badan dan kembali melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Satu tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya dan berusaha kembali tertidur.
Namun sialnya, ketika dia hendak benar-benar mencoba untuk tertidur yang terjadi justru otaknya mengingatkan jika dia bahkan belum sempat menyiapkan pakaian yang harus dia pakai nanti malam.
Dirinya sungguh tidak perduli, entah itu pertemuan sejenis apapun sekalipun Tian menyebutnya sebagai ladang relasi, dirinya benar-benar tidak perduli. Yang membuatnya tiba-tiba mementingkan tentang pakaian apa yang harus dia kenakan nanti malam hanya karena Gibran akan sangat terganggu kalau sampai kemunculannya di surat kabar keesokan harinya tidak menampilkan foto terbaik dari dirinya. Itu akan sangat mempengaruhi moodnya, sungguh.
Ia kembali mengerang, bangkit dari tidurnya dan membuka lemari pakaian selebar-lebarnya. Matanya memindai seisi lemari, mencari tahu adalah setelan yang pas dia pakai untuk acara nanti malam. Namun ketidakpuasan menghantui dirinya, nyaris semua setelan yang dia punya sudah pernah ia gunakan ke berbagai acara. Terlebih banyak dari setelan itu hanya memiliki warna yang membosankan seperti navy, atau hitam. Dan hanya ada beberapa setel yang memiliki warna lebih hidup seperti putih atau biru muda. Tapi tentu saja Gibran tidak menginginkan mereka.
Maka yang ia lakukan selanjutnya adalah bergegas ke kamar mandi, menyalakan shower untuk membasuh tubuhnya sekaligus mengenyahkan kantuk yang masih terasa mengganggu. Kemudian sebuah handuk ia lilitkan ke pinggang, berjalan membuka kembali lemari miliknya dan mengeluarkan satu kaos warna hijau, dengan celana pendek dan pakaian dalam.
Hanya kurang dari sepuluh menit sebelum kemudian dia bergerak keluar. Matanya memindai ruangan keluarga yang lengang, situasi yang tidak biasa karena seharusnya Gilang sedang duduk dengan santai dan menghabiskan kue kering buatan ibunya.
"Kemana Gilang, Ma?" tanya Gibran ketika berhasil menemukan Mamanya berada di dapur.
Elsa menoleh, mengibaskan tangannya di atas apron.
"Pergi dari pagi, katanya jogging sekaligus mau latihan basket," jawabnya.
Gibran mendesah pelan, "Padahal aku mau minta antar ke mall buat beli baju," keluhnya. Ia bergerak ke kursi yang terletak di depan meja dapur berbentuk bar. Mengambil satu gelas bersih dan mengisinya dengan air putih. "Gibran ada acara nanti malam, Ma. Gilang lama engga ya pulangnya?"
Elsa kembali menoleh, kali ini dia berdiri tepat di depan anak sulungnya itu.
"Kayaknya lama, dia bawa tas basketnya yang besar itu soalnya," katanya. Kemudian sebelah alisnya terangkat, "Kenapa kamu engga coba minta anter Tian? Bukannya dia bisa lebih dipercaya buat milih setelan yang cocok buat kamu?"
Gibran bergidik ngeri, di telinganya, kalimat yang baru ibunya katakan itu terasa ambigu.
"Mama ngomong itu seakan-akan Tian pacar aku, nyeremin," protesnya.
Elsa tertawa, badannya berbalik menuju kompor lagi dengan tangan yang mengibas pelan.
"Kalau aja Tian cewek, udah dari lama Mama jodohin dia sama kamu. Habisnya Mama takjub, bisa-bisanya dia hapal banget apa yang engga kamu suka dan apa yang kamu suka, bahkan kemampuannya yang satu itu lebih baik dari Mama," cetusnya.
Gibran mendengus pelan, bulu kuduk nya bahkan merinding membayangkan dirinya dan Tian menjadi sepasang kekasih sekalipun dalam bayangannya Tian menjelma sebagai seorang wanita. Jika memang seperti itu, mungkin nama Tian bukan lagi Septian melainkan Septina?
°°
Dan Septina yang tadi berada dalam bayangan horor Gibran itu, kini sudah berdiri di depannya dengan wajah malas luar biasa.
Tapi Gibran memilih abai, dia hanya terus berjalan menyusuri satu toko ke toko yang lain untuk menemukan jas yang akan cocok dengannya.
"Sumpah gue harus bikin keponakan gue nangis cuma buat nemenin lo beli baju. Lo jahat banget, Gi," protes pria itu.
Gibran menoleh demi bisa melihat ekspresi apa yang kali ini ditunjukan oleh asistennya itu. Namun kemudian dia mendesah berat begitu menyadari harapannya terlalu tinggi karena sudah membayangkan wajah Tian yang merengut sebal padanya. Karena pada kenyataannya, hanya wajah itu itu saja yang ia dapati dari Tian.
"Gue engga bermaksud minta tolong sama lo, karena rencananya gue mau minta anter Gilang. Sayangnya Gilang lagi pergi dan engga bisa antar gue, sedangkan gue udah engga punya setelan yang bisa gue pakai buat nanti malam. Jadi gue terpaksa minta tolong lo karena kalau sampai gue berpikir buat engga datang ke acara nanti malam, gue jamin lo akan lebih sengsara dari ini, iya kan?" Gibran berujar panjang lebar tanpa menoleh ke lawan bicaranya.
Tangannya sibuk merasakan tekstur kain dari beberapa jas yang sedang dipegangnya.
"Yang ini ada warna lain, Mbak? Ukurannya yang L," tanyanya pada pramuniaga yang sedari tadi mengekori dirinya dan juga Tian.
Ketika si mbak mbak itu berkata akan mencari di stok, tubuh Gibran berbalik menatap Tian yang berdiri bersandar di tiang yang terletak di tengah ruangan.
Keningnya mengerut, kemudian bibir nya tertarik di satu sisi.
"Udah kayak penari striptis lo, senderan di tiang begitu," ujarnya mencemooh.
Gibran terbahak saat Tian dengan segera membenahi posisinya menjadi berdiri tegak, wajahnya kali ini tampak kesal menatap Gibran yang sibuk menertawakannya.
"Lagian lo pengusaha terkenal, kenapa engga pesan di desainer aja sih? Kan ukurannya lebih masuk juga ke lo, bisa request warna sesuai keinginan lo juga," tanya Tian heran.
Gibran mengibaskan tangannya, sedangkan tangan yang lain ia gunakan untuk mencoba jas yang lain yang ia temukan.
"Engga ada waktu dong, lagian gue lebih suka beli yang udah jadi begini. Lebih murah, bahannya juga engga kalah kok," sanggahnya.
Tian mendesah pelan. Gibran bukanlah orang kaya yang pelit, hanya saja temannya itu terlalu realistis. Dan Gibran merupakan penganut 'Engga semua yang mahal itu bagus dan engga semua yang murah itu jelek'. Sehingga jika dia bisa mendapatkan barang yang kualitasnya mendekati barang buatan desainer dengan harga yang lebih murah, kenapa dirinya harus repot-repot membayar mahal?
"Kebetulan tinggal satu, Pak. Bapak bisa coba dulu."
Pramuniaga yang tadi pergi untuk mengecek stok, kembali dengan sebuah setelan jas yang terbungkus plastik dengan rapi.
Gibran mengangguk, ia memberi kode pada Tian untuk menunggu dirinya yang akan pergi mencoba jas itu.
Di dalam kamar pas, ia mengenakan setelan berwarna abu-abu terang itu. Mengancingkan semua kancing yang ada di jasnya sebelum keluar dari dalam sana.
Tian tampak sedang memeriksa sesuatu di ponselnya saat Gibran menarik paksa atensi pria itu, meminta pendapat dari Tian tentang apa yang sedang ia kenakan sekarang.
"Bagus." Hanya itu, namun Gibran langsung mengangguk. Melepas kembali setelan itu dan meminta pramuniaga yang tadi untuk membungkusnya.
Dia percaya dengan apa yang Tian katakan. Asistennya itu akan bilang jelek jika itu memang jelek, maka walaupun hanya satu kata yang tadi diucapkan oleh Tian ketika ia meminta pendapat, itu sudah setara dengan komentar desainer terkenal yang biasanya diundang sebagai juri di salah satu ajang pencarian bakat.
"Mau kemana lagi?" tanya Tian. Tangannya memasukan kembali ponsel miliknya ke dalam saku dan mengikuti langkah Gibran yang berhenti di depan kasir.
Pria itu mengeluarkan kartu miliknya ke arah kasir, kemudian menekan sandi yang diperlukan.
"Udah siang nih, kita makan siang dulu di lantai atas, habis itu lanjutin nyari sepatu," katanya.
Tian melengos, dirinya hanya ingin pulang namun juga tidak bisa menolak permintaan Gibran karena dirinya lah yang menginginkan Gibran untuk datang ke acara nanti malam walaupun itu demi kebaikan perusahaan Gibran sendiri.
"Oke," setujunya.
Tian bergerak lebih dulu keluar dari toko itu, beberapa saat kemudian dia mendengar tapak kaki yang mengikutinya. Menyadari jika Gibran sudah selesai dengan urusan membayar belanjaannya, Tian melirik sekilas.
"Acaranya engga akan membosankan. Katanya banyak pebisnis muda yang juga diundang, jadi lo akan punya banyak teman bicara selama acara berlangsung," beritahu Tian tiba-tiba.
Gibran tampak menaikan sebelah alisnya sebelum kemudian mengangguk.
"Ya apapun itu, gue cuma perlu bertahan sampai acaranya selesai kan?" tanyanya tak semangat.
Tian mengangguk. Matanya melirik ragu ke arah Gibran yang kini sudah berjalan di sampingnya. Ada satu hal yang sebenarnya ingin dia katakan pada Gibran, namun menilik dari bagaimana Gibran tidak menyukai ide untuk datang ke pesta itu, rasanya apa yang akan dia katakan hanya akan membuat bosnya itu semakin menolak untuk datang.
Maka kemudian Tian memilih untuk diam, membiarkan Gibran mengetahuinya sendiri nanti malam.
°°