Sungguh, ini bukanlah pemandangan asing bagi seorang Gibran Adiguna setelah mulai menjejaki dunia bisnis dan mengibarkan namanya dengan tinggi, membuat banyak orang yang berusaha dekat dan membuatnya terhubung dengan berbagai pesta besar dengan kedok berburu relasi.
Hall yang besar dengan dominan warna emas yang mewah, lampu gantung yang luar biasa cantik yang ada di tengah atap hall. Alunan musik klasik ataupun jazz. Dan hiruk pikuk obrolan seputar bisnis yang hampir membuat Gibran mual.
Gibran mengambil duduk di sebuah meja bundar yang masih kosong. Pipinya terasa kaku karena terlalu banyak memaksakan senyum, dan hatinya tercabik-cabik karena terus bertingkah dengan aturan diluar apa yang dia inginkan.
Ia melengos, menghela napas berat saat matanya melihat beberapa orang berjalan ke arahnya sambil melempar senyum. Tubuhnya ia tegakan, kembali memasang senyum bisnis yang sudah menjadi topengnya selama ini.
"Wah luar biasa! Saya pikir yang akan datang Septian, engga nyangka kalau Pak Gibran sendiri yang hadir!" seru seorang pria paruh baya yang datang dengan seorang wanita cantik yang menggandengnya.
Gibran mengangguk sopan, ekor matanya menatap ke arah wanita yang sedang bergelayut manja di lengan si pria. Sangat tipis, ia tersenyum miring. Siapapun orangnya pasti akan berpikir jika yang sedang menggandeng pria ini adalah anaknya jika dilihat dari perbedaan usia. Siapa yang akan menyangka jika wanita ini adalah istri muda yang berhasil berdiri di samping seorang Tama Winandar setelah berhasil menyingkirkan nyonya Winandar yang sebelumnya? Perempuan sejenis ini adalah perempuan yang satu tipe dengan Ellea.
"Septian sudah cukup sibuk, jadi saya engga mau membebani dia dengan urusan seperti ini," sahut Gibran. Tangannya ia lingkarkan pada gelas berisi jus jeruk di atas meja.
"Oh, benar-benar atasan yang bijak. Pantas saja banyak media massa dan online yang tertarik melakukan wawancara dengan Pak Gibran," puji Tama dengan tawa lebar.
Gibran hanya menanggapinya dengan senyum. Dari ekor matanya, bisa ia lihat bahwa saat ini si istri dari Tama terus saja memperhatikannya. Lihatlah! Bahkan di saat suaminya sedang menggandeng dirinya dengan mesra, mata sang istri masih sempat-sempatnya melirik pria lain.
"Saya cuma engga mau terlalu memanfaatkan jabatan saya. Septian adalah karyawan saya, dan dia hanya akan melakukan job desknya saja," ujarnya. Matanya melirik kecil ke arah wanita itu, membuat si wanita menunduk dan tersipu malu.
Gibran mendengus dalam hati, merasa tidak perduli sekalipun wanita itu berpikir diluar batas dari yang seharusnya. Jangan tertarik pada wanita itu, untuk mengetahui siapa namanya saja Gibran enggan.
"Kalau begitu selamat menikmati pestanya. Saya harap kita bisa memiliki waktu makan siang berdua lain waktu," ujar Tama dengan ramah.
Gibran mengangguk, tangannya terulur menjabat tangan Tama dengan hangat.
"Semoga kita punya kesempatan itu," jawabnya.
Barulah ia dapat menghela napas lega ketika dia orang itu pergi, lalu kembali menahan nafas saat sosok lain muncul dan berbasa-basi seperti apa yang dilakukan Tama.
Di depan sana, musik sudah berganti menjadi tembang lawas. Membuat kepala Gibran semakin pening dibuatnya. Dirinya bahkan tidak menyentuh alkohol sama sekali namun kepalanya terasa pusing karena harus berhadapan dengan banyaknya orang yang beramah tamah padanya.
Bukan maksud Gibran bertindak kurang ajar, hanya saja dirinya tahu jika orang-orang itu hanya ada di dekatnya karena dirinya adalah seorang Direktur Utama GA travel. Jika saja saat ini dirinya hanya pengusaha mie ayam, mungkin tidak akan banyak yang tertarik tentangnya.
"Oh, aku pikir salah orang. Ternyata memang benar kamu!"
Rasanya bulu kuduk Gibran meremang ketika mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Ia bahkan tidak punya niat sama sekali untuk menoleh, sekedar memastikan.
Namun karena banyak orang di sekitarnya yang mungkin saja memperhatikan, mau tidak mau Gibran akhirnya menoleh juga.
Ia langsung menahan dirinya untuk tidak mendengus keras-keras saat melihat Ellea berdiri dengan gaun terlampau pendek berwarna biru tua. Belahan dadanya membuat Gibran merasa perutnya melilit dan juga sepatu hak tinggi yang dikenakan gadis itu, yang membuat Gibran dengan gila membayangkan bagaimana rasa sakit yang akan Ellea rasakan jika terjatuh dengan sepatu itu.
"Harusnya gue tanya dulu sama asisten gue tentang acara ini, gue bahkan engga nyangka bisa ketemu lo disini," ujarnya tidak semangat.
Namun reaksi yang berbeda malah ditunjukan oleh Ellea. Gadis itu tersenyum sangat lebar sambil berjalan mendekat ke arah Gibran yang justru reflek memundurkan langkahnya.
"Bukankah ini kebetulan yang menarik? Kita baru ketemu kemarin dan sekarang kita bertemu secara engga sengaja disini. How cute destiny," ujar Ellea senang.
Gibran melengos, tangannya mengangkat gelas minumannya dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk.
"Ini kebetulan seratus persen. Kalau itu tentang lo, engga ada yang namanya takdir," balasnya kejam.
Matanya yang sedang berpura-pura menikmati nyanyian dari arah panggung, mencuri lihat saat gadis yang duduk di depannya itu tampak mengubah ekspresinya. Bukan lagi senyum lebar yang tampak bodoh, melainkan wajah datar yeng mengkhawatirkan.
Gibran tidak perduli. Dulu sikapnya tidak sekeras ini terhadap Ellea karena baginya tidak akan ada ruang dimana dia dan Ellea akan menjalin hubungan jenis apapun di masa depan. Hanya saja ketika dia mengetahui bahwa Ellea sempat mendekati Tian bahkan nyaris memisahkan Tian dengan Teresa dulu, simpati jenis apapun yang dia miliki untuk Ellea, hilang sudah.
"Gue harus pergi, seenggaknya gue udah bertahan di sini selama satu jam lebih," ujar Gibran.
Ia berdiri dari duduknya, tangannya mengancing jas abu-abu yang dikenakannya kemudian tersenyum formal menatap Ellea yang hanya duduk diam.
"Selamat tinggal," katanya kemudian berjalan pergi.
°°
Harusnya mungkin dia sudah berada di rumahnya dan mendekam dalam kamarnya sambil melupakan pertemuan yang dihadirinya itu.
Namun sayangnya, karena satu dan lain hal, Gibran masih tertahan di dalam sebuah toilet khusus pria dan tamu VIP.
Dan satu dan lain hal itu adalah karena saat dirinya sudah beranjak untuk meninggalkan hall, tepat setelah dirinya mengucapkan selama tinggal pada Ellea, seorang wanita mabuk tiba-tiba menabraknya.
Juga bukan hanya itu karena setelahnya wanita itu serta merta langsung memuntahkan segala isi perutnya di hadapan Gibran. Meskipun begitu, dirinya masih bisa bersyukur karena muntahan itu hanya mengenai sedikit sepatunya tidak dengan bajunya.
Maka disinilah dirinya sekarang, membersihkan sisa kekacauan di sepatunya dengan air dari toilet. Walaupun sesungguhnya Gibran sangat ingin melepas sepatu miliknya sekarang juga.
Gibran mengibaskan tangannya ke asah kemeja, membersihkan pakaian dari debu jenis apapun yang sekiranya menempel tanpa dia tahu. Kemudian langkahnya berjalan keluar dari toilet dan kemudian tertahan saat seorang menyodorkan sapu tangan berwarna hijau tosca padanya.
Pandangannya terangkat, alisnya bertaut saat menyadari itu adalah wanita yang merupakan istri dari Tama.
"Saya tadi sempat lihat perempuan itu muntah di depan kamu," kata wanita itu masih dengan tangan yang menggantung memegang sapu tangan. "Dia kekasih dari anak pemilik Gio-tech, dari kalangan yang kurang terpelajar sehingga tingkahnya agak tidak terkendali." lanjutnya.
Gibran memanjangkan kepalanya, memastikan jika dirinya saat ini tidak berada di situasi yang akan membuat salah paham. Matanya melirik sekilas ke arah sapu tangan yang sedari tadi masih menggantung di hadapannya, tidak berniat dia terima dengan alasan apapun.
"Benar, tapi itu engga terlalu menganggu saya. Dan lagi, saya engga mau sapu tangan Ibu kotor karena saya," ujar Gibran dengan senyum ramah. Sekali lagi dirinya mengibaskan jas yang ia kenakan kemudian membuka satu kakinya melebar ke arah kanan, mencari celah untuk bisa lepas dari wanita di hadapannya.
"Terimakasih untuk niat baiknya, tapi saya harus pergi sekarang. Permisi," katanya kemudian melanjutkan langkah meninggalkan tempat itu.
Gibran tersenyum kecil ketika langkahnya mencapai pintu masuk hotel. Ia berdiri, menunggu palet service untuk membawakan kembali mobil miliknya.
Hotel masih sangat ramai karena sepertinya masih banyak tamu yang bahkan baru datang atau sudah akan pulang seperti dirinya.
Ketika mobil miliknya berhenti tepat di depan wajahnya, Gibran kemudian mengambil alih mobil itu dan melaju keluar dari area hotel.
Baru beberapa meter saja, ponselnya berdering hingga membuat Gibran harus meminggirkan mobilnya lebih dulu demi bisa menyambungkan earphones portable miliknya untuk lebih mudah terhubung tanpa kehilangan fokus pada kemudi.
Pelaku yang membuatnya harus menerima panggilan di tengah kemudi adalah asistennya tercinta yang sibuk menanyakan bagaimana pertemuan yang baru saja dihadiri oleh Gibran.
Gibran hanya berkata jika dirinya sudah akan jalan pulang yang kemudian membuat Tian memeluk cukup kencang dan mengatakan jika seharusnya Gibran lebih lama di sana.
Hal yang hanya dianggap angin lalu oleh Gibran karena dirinya sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Yang dirinya lakukan hanya terus mendengarkan segala omelan pria yang sudah bersahabat dengannya semenjak di bangku SMP itu, hingga Tian akhirnya menyerah dan hanya berkata jika dirinya tidak ingin melihat berita buruk tentang Gibran keesokan harinya.
Gibran tertawa, meyakinkan sahabatnya itu jika semua baik-baik saja.
Kemudian kejadiannya begitu cepat.
Jalanan yang cukup lengang membuat Gibran mengendara dengan kecepatan yang sedikit di atas rata-rata. Dirinya lengah, sibuk menertawakan kekhawatiran Tian hingga tidak menyadari jika sebuah mobil box melaju cukup kencang dari arah berlawanan.
Gibran tidak sempat beraksi apalagi menghindar. Dirinya bahkan tidak menyadari apa yang sedang terjadi padanya.
Yang terasa kemudian hanyalah kepalanya yang terhantam benda keras dan kemudian tubuhnya seperti terguling beberapa saat. Telinganya menangkap seruan panik dari Tian, suara yang masih bisa ia dengar dari earphones yang tertempel di telinganya. Seruan berganti teriakan, dan kemudian hanya seruan dengungan yang tidak jelas saat mata Gibran terasa berat dan sakit di kepalanya tidak tertahan lagi.
Di matanya yang hampir tertutup, Gibran mendapati beberapa orang yang berusaha menarik tubuhnya keluar.
Sakit. Sakit sekali.
Namun Gibran tidak dapat merasakan dengan benar dimana rasa sakitnya berada. Hingga kemudian, kepalanya berdenyut sangat keras membuatnya ingin berteriak namun tak ada suara keluar.
Dan di detik selanjutnya, Gibran merasa seakan ini adalah akhir hidupnya.
°°