Apa ini?
Gibran mengerutkan keningnya dalam. Mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum sebuah sinar terang menyerangnya hingga dia mengerang.
Perlahan matanya terbuka. Di depan matanya, sebuah ruangan yang terasa familiar dengan lampu berwarna putih dan tirai biru muda menjadi hal pertama yang Gibran lihat setelah matanya terbuka.
Kemudian telinganya menangkap suara tangisan yang langsung membuatnya sesak. Dia menoleh ke sisi kanan, matanya membulat saat melihat ibunya yang menangis sambil memegangi tangannya.
Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut. Yang benar-benar membuat dirinya bahkan tidak bisa mengeluarkan ucapan apapun adalah karena di atas kasur pasien telah duduk sosok dirinya yang lain.
Itu benar-benar dirinya, namun Gibran sadar bahwa dirinya juga sedang berdiri di sisi lain ranjang, bukan duduk sambil menerima tangisan dari orang-orang yang ada di ruangan itu. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, memperhatikan siapa saja yang ada di sana.
Ada Mamanya, Papanya yang bahkan sedang ada di Jepang juga ada, kemudian ada Gilang yang berdiri di ujung ruang dengan mata merah terlihat sehabis menangis, dan lagi ada Tian yang juga berdiri di samping Gilang dengan kondisi yang sama. Mereka semua menangisi dirinya?
Belum sempat Gibran mengerti keadaan yang ada di depannya, kemudian semuanya menjadi begitu terang hingga membuta mata Gibran terpejam. Ketika dia kembali membuka matanya, keadaan di depannya sudah berubah.
Kini hanya ada dirinya dan juga Tian yang duduk di kursi tunggal yang ada di samping tempat tidurnya. Dirinya yang ada di atas kasur itu tengah menatap serius Tian yang sedari tadi menundukkan kepala.
"Maaf, harusnya gue engga maksa lo buat datang ke acara itu. Kalau aja gue engga nyuruh lo datang, lo engga akan ngalamin kejadian kayak gini."
Gibran menaikan sebelah alisnya. Sepanjang dirinya mengenal Tian, belum pernah sekalipun dia melihat ekspresi Tian yang seperti itu. Sahabatnya tampak sangat terpukul bahkan enggan mengangkat wajah untuk menatapnya.
Di depan sana, dirinya yang lain seperti hendak mengatakan sesuatu namun sinar terang kembali menyerang pandangan Gibran.
Kejadiannya seperti tadi, adegan di depan matanya sudah berubah. Kini dirinya berdiri di sisi rumah yang tidak ia kenal. Ketika matanya menjurus ke depan, ia melihat seorang anak kecil yang sedang membelakangi nya dan juga seorang wanita cantik dengan rambut coklat gelap sedang berteriak mengingatkan agar anak itu tidak berlari terlalu jauh dan tidak keluar dari pagar.
Gibran mematung. Di kepalanya, ia mencoba mengingat siapa dua orang yang ada di hadapannya itu. Tapi memorinya tidak menemukan apapun yang bisa ia jadikan sebagai petunjuk. Dan saat wanita di depannya menoleh ke arahnya dengan senyum cantik, Gibran tertegun. Hatinya merasa menyukai senyuman itu, dan keningnya berkerut dalam saat wanita itu tampak mengatakan sesuatu padanya namun ia tak bisa mendengar apapun.
Adegan berganti lagi. Ketika Gibran mengerjap, ia menyadari tubuhnya tengah terduduk di sebuah kursi kayu, masih di rumah yang sama.
Tapi kemudian dia terkejut saat wanita tadi kini sudah duduk di kursi sebelah tempatnya duduk. Gibran terdiam, matanya memandangi wajah cantik itu untuk waktu yang lama. Otaknya kembali memeras kotak memori, memaksa mencari momen apapun yang sekiranya menghubungkan dirinya dengan gadis ini. Namun tetap saja tidak ada yang bisa ia ingat.
Gibran kemudian hampir terjengkang saat wanita itu menoleh, kembali tersenyum dengan sangat cantik untuknya.
"Dia udah besar. Jadi mirip sama kamu, Mas."
Jantung Gibran terasa berdetak sangat cepat ketika wanita itu berujar padanya. Matanya menoleh ke depan, memperhatikan anak kecil yang dimaksud oleh perempuan yang duduk di sebelahnya. Mirip dengannya? Apa maksudnya?
"Ayah! Ayo main sama aku!"
Gibran terlonjak, matanya menoleh kembali ke arah perempuan yang kini sedang memiringkan kepala ke arahnya dengan lucu.
Ayah? Kenapa anak kecil itu memanggilnya Ayah? Kenapa wanita ini tersenyum setiap kali bertatapan dengannya?
"Pelita.."
Gibran semakin terkejut, saat bibirnya bergerak sendiri, menyebut satu nama yang kemudian disahuti oleh perempuan di depannya.
"Ya, Mas?"
Kemudian kepala Gibran terasa sakit tiba-tiba, ditambah sinar terang yang kembali menghantam matanya. Adegan terhenti, dan Gibran tidak tahu dimana dia berada saat ini.
°°
Gibran melenguh pelan, kepalanya terasa seperti ditusuk di bagian belakang, sakit dan pusing secara bersamaan. Kemudian tangannya teras begitu berat, hingga untuk mengangkatnya saja Gibran kesulitan.
Dengan setengah mata yang terbuka, plafon putih dengan tiang di sisi kanan yang terhubung dengan tirai menjadi pemandangan yang menyambut penglihatannya. Tidak lama setalah matanya terbuka dengan tangan yang memegangi kepalanya pelan, seruan seseorang yang terdengar panik masuk ke gendang telinganya.
Ini suara yang begitu akrab dengannya, terasa dikenalnya dengan sangat baik.
"Papa! Gilang! Gibran udah sadar!"
Ah, benar itu Mamanya. Walaupun Gibran Kesulitan untuk benar-benar melihat sosok Mamanya, namun dia cukup yakin bahwa yang tadi berteriak adalah Mamanya.
Setelahnya suara tapak kaki yang berisik, dengan diiringi suara yang bersahut panik membuat Gibran mengerutkan keningnya, menahan sakit kepala yang kian menguat.
Dari ekor matanya, ia melihat seorang pria tua berjas putih sedang memeriksanya menggunakan stetoskop juga tensi meter. Selanjutnya mata Gibran dilebarkan dan dialiri cahaya yang berasal dari senter kecil.
Barulah setelah itu Gibran bisa menangkap apa yang ada di depan matanya dengan baik.
Mamanya bergerak maju, memegangi tangannya. Sedangkan Papanya berdiri di sebelah Mamanya sambil mendengarkan ucapan dokter. Gilang ada di sisi lain dekat pintu, matanya memerah seperti habis nangis. Kemudian Gibran juga melihat ada Tian yang berdiri di samping Gilang dengan kondisi yang---
Tunggu!
Mata Gibran membelalak kaget. Keadaan ini, situasi ini, terasa pernah dia lihat. Seperti dejavu namun Gibran ingat betul kapan melihat kejadian yang sama persis dengan sekarang. Ini persis dengan mimpi yang dia alami. Atau bisakah Gibran menyebutnya benar-benar mimpi? Ini benar-benar sama, yang berbeda hanya posisinya yang sekasang berbaring, bukan sedang duduk seperti yang pernah dilihatnya.
"Gi... Gi..."
Gibran sedikit menurunkan pupil matanya, melihat ke arah Mamanya yang baru saja memanggil.
"Mana yang sakit, Gi? Dokter bilang kamu udah ngelewatin masa kritis, tapi kamu engga bangun-bangun, Mama jadi takut. Mama juga sampai minta Papa buat pulang."
Gibran mengerut samar, tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Mamanya. Dia ingin berkata bahwa sekujur tubuhnya sakit, namun mulutnya tidak bisa ia gerakan. Maka yang ia lakukan hanya mengangguk pelan, entah Mamanya akan mengerti atau tidak.
"Engga usah ngomong dulu. Engga apa-apa, kamu perlu waktu buat istirahat sebelum bisa pulih sepenuhnya. Gimanapun, kamu udah engga bangun selama dua belas hari."
Gibran terkejut mendengar ucapan Papanya.
Dua belas hari? Bagaimana mungkin itu bisa jadi dua belas hari di saat dirinya hanya merasa tertidur sebentar saja setelah kecelakaan itu.
Ah ya, dia mengingat dengan jelas kecelakaan yang dialaminya ketika pulang dari pertemuan itu. Itu bukan kecelakaan tunggal karena dia ingat ada sebuah mobil box yang berlawanan arah dan kemudian menabrak mobilnya. Lalu jika memang seperti itu, apakah ada kasus hukum yang terjadi karena kecelakaan yang dialaminya?
"Mau minum?"
Terlihat Mamanya bangkit berdiri, di tangannya sudah ada satu gelas air putih lengkap dengan sedotan.
Gibran mengangguk, rasa hausnya langsung terasa saat melihat air putih itu. Dengan bantuan Papa dan Mamanya, dia didudukan dengan bantuan tempat tidur yang sedikit di tegakan.
Tenggorakan yang terasa sangat kering itu, mulai melunak. Terasa segar bahkan rasanya tidak cukup hanya satu gelas yang dia minum. Jika mengingat seberapa lama dirinya tidak sadarkan diri, itu masuk akal jika dirinya mengalami rasa haus yang luar biasa.
"Ma..."
Gibran mendesah lega saat akhirnya suaranya mau keluar. Dia juga bisa melihat binar lega itu dari mata kedua orang tuanya.
"Ada apa, Gi? Kamu perlu sesuatu?" tanyanya Elsa.
Tapi Gilang menggeleng, karena dirinya memang tidak membutuhkan apapun.
Matanya kemudian melirik ke arah Gilang yang menatapnya dengan mata berkaca, terlihat lucu karena adiknya adalah tipe orang yang gengsi menunjukan perasaannya. Namun melihat Gilang yang menangis untuknya, bisa Gibran rasakan hatinya menjadi hangat.
Ia tersenyum, menggeleng pelan ke arah adiknya itu.
"Abang engga apa-apa," ujarnya dengan suara amat sangat pelan.
Dirinya sangsi suaranya akan terdengar ke tempat Gilang berdiri, namun melihat dari adiknya yang kembali menangis, sepertinya Gilang bisa mendengar suaranya.
"Gilang takut kamu engga bangun lagi, dia sampai udah bolos sekolah selama tiga hari karena mau nunggu sampai kamu sadar," beritahu Papanya.
Gibran tertawa kecil, kemudian dua meringis saat bagian dadanya terasa sakit hanya karena dirinya tertawa.
"Aku terharu," ujar Gibran pelan.
Ia rasanya ingin kembali tertawa saat melihat Gilang menunduk malu sambil mengusap air mata di wajahnya.
Dari ekor matanya, ia juga bisa melihat Tian yang mencuri pandang padanya sebelum kemudian mengalihkan tatap saat Gibran balik menatapnya.
"Soal mobil box itu.." Gibran sengaja tidak melanjutkan ucapannya. Memancing apakah orang tuanya mengetahui perihal kendaraan lain yang terlibat kecelakaan dengannya atau tidak.
Dan ketika Mamanya terlihat menghela napas berat, Gibran tahu jika memang apa yang diingatnya tentang kecelakaan itu adalah benar.
"Sopir mobil box itu meninggal saat mau dibawa ke rumah sakit," ujar Papanya.
Gibran mematung, tidak menyangka jika ada korban jiwa dalam kecelakaan yang melibatkan dirinya.
"Tadinya ini bisa membuat kamu jadi tersangka, tapi kemudian setelah otopsi jenasah, ketahuan kalau sopir itu dalam keadaan mabuk sampai akhirnya kalian mengalami kecelakaan," lanjut Elsa.
Helaan napas berat keluar dari mulut Gibran. Pantas saja kecelakaan itu sampai harus membuat nyawa sopir itu menghilang, karena sepertinya kecelakaannya benar-benar parah. Dirinya bahkan tidak sadarkan diri selama dua belas hari.
"Jadi begitu..." gumamnya.
Tangannya yang terletak di sisi tubuhnya menjadi hangat ketika Elsa menggenggamnya.
Mata Mamanya itu berbinar teduh, dengan sedikit berkaca-kaca.
"Kami semua bersyukur karena kamu akhirnya bangun. Kami sudah ketakutan saat Dokter mengabarkan kamu koma, kami engga bisa bayangin kalau sesuatu yang lebih buruk terjadi. Terimakasih karena sudah kembali, Gibran."
Gibran terenyuh, dengan susah payah dia mengangkat tangan Mamanya dan menciumnya pelan.
"Makasih karena kalian sudah berdoa buat Gibran," ucapnya tulus.
°°